Setiap insan berakal pasti mengimani bahwa bentang tanpa batas alam semesta adalah tebaran hikmah. Ayat-ayat ilahi yang menantang akal budi untuk takjub di atas kemampuan penyingkapan. Menjadi binar ilmu pengetahuan.
Rahmat kasih sayangNya yang bagai dian penerang jalan kepada pengenalan kebenaran. Mungkin itulah sebabnya mengapa firman pertama yang diterima Rasul Muhammad SAW berbunyi: Bacalah. Kemampuan membaca, memahami dan memaknai gejala, fakta dan peristiwa adalah ukuran kecakapan yang menentukan jarak akal budi kepada kebenaran. Dengan kata lain, ketidakcukupan pengetahuan dapat menjadi sebab gagap dan gagal paham seseorang atau suatu kaum atas persoalan.
Persoalan limbah misalnya. Terdefinisi dan dimaknai sebagai sesuatu yang tidak bernilai karena ketidakcukupan piranti pengetahuan dan kuasa berinovasi untuk menghadirkan manfaat darinya. Namun keadaan tidak akan selamanya demikian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika singkapan pengetahuan bertambah, maka cara pandang pun berubah. Ide dan kemampuan untuk memanen emas dari limbah chip piranti elektronik adalah sekedar contoh pergeseran makna limbah menjadi sumber daya. Hal tersebut mengisyaratkan setidaknya dua hal pasti. Pertama, Tuhan tidak pernah menciptakan limbah.
Kedua, singkapan kebenaran memiliki time line-nya sendiri untuk membentuk perubahan peradaban. Keadaan seperti itu tentu dapat memunculkan pertanyaan di batang nalar siapa pun. Jika memang benar bahwa pemaknaan limbah itu berkorelasi dengan ketidakcukupan kemampuan akal budi dan daya kreasi, lantas apakah kebohongan juga berada pada posisi yang sama? Bukankah Tuhan Yang Maha Esa juga tidak pernah menciptakan dusta?
Derau Yang Nyata
Kebohongan itu seperti derau. Noise yang menyaru dan menyatu di dalam sinyal. Menghadirkan tampilan berbeda, memiliki daya sesat namun tak sepenuhnya mampu menyembunyikan jati dirinya sendiri. Itu sebabnya pengetahuan modern mampu mendeteksinya dalam kongsi waktu. Beragam algoritma dan sensor bioritmik canggih telah berkembang yang kemudian menjadi tulang punggung teknologi digital forensik pendeteksi kebohongan.
Pertanyaan esensialnya tentu saja soal mengapa seseorang memilih berbohong? Apa pemantiknya? Sebuah artikel lama yang ditulis oleh Yudhijit Bhattacharjee di National Geographic edisi Juni 2017 mengupasnya dengan baik. Analisisnya masih relevan dengan hiruk pikuk beragam peristiwa dewasa ini. Tulisan berjudul Why we lie: The science behind our deceptive ways itu masih dapat dilacak pada laman web NatGeo.
Salah satu hal yang menarik dari tulisan itu adalah sebuah video eksperimen psikologi yang menguji dorongan berbohong pada diri seorang siswa. Saya tidak dalam posisi untuk mengupas isi sajian di National Geographic itu secara detil, namun ingin menegaskan suatu keadaan seperti yang diungkap dalam video di laman itu. Bahwa terdapat relasi kekuatan pengetahuan dan daya nalar dengan setiap ragam tindak tipu daya dan kebohongan.
Peter Schwardmann dan Joel van der Weele menulis sebuah penyataan yang menegaskan hal itu. Dalam artikel yang mereka terbitkan di Nature Human Behaviour tahun 2019 disebutkan bahwa sebagian orang terkadang berada pada keadaan nan terlampau percaya diri dengan kuasa atau kemampuan bernalar mereka. Itu membuat mereka menyangka dapat mempersuasi dan memperdaya orang lain dengan penuh keyakinan demi melindungi kepentingan dan keuntungan sepihak mereka sendiri.
Keyakinan berlebih pada kemampuan merekayasa kisah itu memang selalu terjadi. Namun tak jarang berbalik menjadi bumerang yang justru menguak kebusukan yang lebih memalukan. Kala kuasa nalar yang semula diyakini mumpuni itu rontok oleh singkapan kebenaran fakta, pada umumnya pelaku itu mengaku khilaf dan lalu meminta maaf. Pada beberapa peristiwa keadaan seperti itu bahkan menghantarkan pelakunya pada pilihan mati bunuh diri atau menjadi sebab ia dijatuhi hukuman mati.
Lantas bagaimana dengan tipu daya dan kebohongan yang tidak terungkap? Apakah itu terjadi karena pelakunya memiliki kuasa pengetahuan yang melampaui daya kritis masyarakat? Jawabannya sudah pasti tidak. Kemampuan mengindera kebohongan dengan kuasa menumpas tipu daya adalah dua hal berbeda.
Kebenaran itu bersifat ilahiah dan diciptakan Tuhan Yang Maha Esa sebagai sifat semesta. Adapun kebohongan itu selalu artificial. Selamanya menjadi derau dalam benderang kebenaran. Esensinya selalu demikian meski diskursus dibangun dengan rekayasa sehebat apa pun. Ia tercipta dari keterbatasan kodrati kemampuan bernalar manusia. Bukan untuk menyingkap tingkat kebenaran yang lebih tinggi seperti cara bernalar sains di kalangan para cendekia. Justru hadirnya sengaja dihajatkan membawa peran sebagai selubung pengingkar kebenaran.
Sifatnya laksana virus menular yang meninggalkan jejak luka bernanah pada siapa pun yang tersentuh olehnya. Liar tidak bertuan. Tak akan sepenuhnya terkendalikan meski dikerangkeng sekuat apa pun. Kebohongan selalu meninggalkan jejak dan menyimpan kisahnya sendiri.
Perbedaan esensial itu dapat dijelaskan dengan meminjam analogi dari perspektif teori perambatan gelombang elektromagnetik. Relasi antara medan magnet dan medan listrik menyebabkan rambatan energi di dalam material alami selalu bergerak dalam arah yang sama dengan vektor gelombang. Adapun rambatan energi pada material tak alami arahnya direkayasa berlawanan dengan vektor gelombang.
Dampak dari perbedaan itu, material hasil rekayasa memiliki daya selaras dan resonansi spesifik yang berbeda dengan ciri material alami. Resonansi tak lazim itulah yang kemudian akan terpahami sebagai usikan dalam insteraksi sosial masyarakat.
Menimbulkan ketidaknyamanan, mendistorsi kepatutan nalar dan melawan adab yang berlaku. Lantas bagaimana kebohongan itu menyimpan kisahnya sendiri? Dalam kaidah iman Islam terdapat keyakinan bahwa kelak pasca kematian setiap manusia akan mengalami keadaan dimana mulut terkunci dan tak kuasa berbicara (Q.S 36/65). Pada saat itu tangan dan kaki akan memberi persaksian dan mengurai semua kisah kehidupan. Mengupas rahasia hingga tanpa bersisa.
Keadaan bersaksinya tangan dan kaki itu dapat dibedah dengan pisau pengtahuan. Tubuh manusia dipenuhi karbon, silikon dan beragam unsur tanah yang merupakan elemen utama untuk pembuatan piranti penyimpanan data. Dengan kata lain bahwa tubuh manusia itu sejatinya merupakan storage device canggih berkapasitas besar tiada tara. Hal itu menjelaskan mengapa ilmuwan modern masa kini mampu menduga sebab kematian seseorang yang hidup ribuan tahun silam hanya dengan berbekal analisis terhadap sampel bagian dari fosil atau mumi.
Hidup memang fana bersama kematian. Namun tidak dengan jejak akal budi. Karbon, silicon dan unsur-unsur tanah di badan kembali ke titik asalnya di bentang semesta. Membawa serta segenap kisah kehidupan dan catatan peristiwa yang tersimpan rapih bersamanya. Hening dalam kongsi waktu hingga saat Tuhan memintanya bercerita.
Tipu daya itu sejatinya memang limbah berjelaga. Buah yang nyata dari angkuhnya keyakinan diri dengan kuasa nalar bukan tanpa batas. Selamanya tak akan pernah mampu menutup jati diri. Semesta selalu memiliki cara untuk menangkap jejaknya sebagai derau yang nyata berkawal kebodohan. Kusam dalam benderang. Selalu demikian karena Tuhan tidak pernah menciptakan dusta. Wallahualam.
Iwan Yahya. Dosen dan peneliti The Iwany Acoustics Research Group (iARG) Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Simak juga '4 Teknologi yang Mencoba "Melawan" Kuasa Tuhan':