Daya tarik utama dari pariwisata Labuan Bajo adalah Taman Nasional Komodo (TNK). Pemerintah mencanangkannya sebagai destinasi "pariwisata eksklusif", dengan menaikkan harga tiket masuk dari Rp 150.000/orang menjadi Rp 3.750.000/orang, dan membatasi kuota kunjungan menjadi 200.000 orang per tahun.
Kebijakan itu dimaksudkan sebagai upaya konservasi kawasan TNK, menekan arus pariwisata massal dengan pertimbangan daya tampung (carrying capacity), sehingga aspek keberlanjutan ekosistem di dalamnya menjadi hal utama yang diperhatikan. Aturan yang dikeluarkan tersebut menuai protes publik khususnya dari pelaku pariwisata.
Industri turisme masih dalam bayang-bayang pandemi Covid-19, segmen dan target pasar wisatawan juga masih belum jelas. Kenaikan tiket jelas membawa dampak buruk terhadap sektor pariwisata. Soal gelombang protes publik akhir-akhir ini menunjukkan elemen pariwisata mempunyai kepedulian yang sama akan keberlangsungan industri pariwisata setempat.
Masuk pada klaim pemerintah secara terbatas dapat diterjemahkan sebagai perwujudan implementasi pengembangan pariwisata berkelanjutan. Menurut Atabuy (2021) pariwisata berkelanjutan secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pariwisata yang memperhitungkan penuh dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk jangka panjang dengan memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan, dan masyarakat setempat.
Dimensi pariwisata berkelanjutan mencakup aspek lingkungan, yakni memanfaatkan secara optimal sumber daya lingkungan yang merupakan proses ekologi dan turut andil dalam melestarikan warisan alam dan keanekaragaman destinasi di suatu destinasi wisata.
Aspek ekonomi, memastikan kegiatan ekonomi jangka panjang yang layak, memberikan manfaat sosial ekonomi kepada semua stakeholder dengan adil, seperti pekerjaan tetap, kesempatan mendapatkan penghasilan (membuka usaha), dan pelayanan sosial kepada masyarakat lokal, serta membantu mengurangi kemiskinan.
Aspek sosial budaya, menghormati keaslian sosial budaya masyarakat setempat, melestarikan nilai-nilai warisan budaya dan adat yang mereka bangun, dan berkontribusi untuk meningkatkan rasa toleransi serta pemahaman antarbudaya (Atabuy, 2021).
Dalam rumusan fase-fase pengembangan destinasi pariwisata, memang ada ruang untuk sengaja memperlambat laju pertumbuhannya. Secara teoritis ini dipahami, apa yang disebut sebagai fase consolidation. Menurut Richard Butler (1978) fase ini mencakup dua hal.
Pertama, perlambatan ini disengaja karena pengelola destinasi ingin membatasi kunjungan dengan memberlakukan carrying capacity untuk menekan dampak negatif bagi destinasi. Selain itu juga bisa jadi pengelola ingin mengubah segmen pasar menjadi lebih eksklusif. Kedua, perlambatan tersebut tidak disengaja dikarenakan kejenuhan pasar dan kurangnya inovasi produk.
Gagasan ala Butler dapat memberi pemahaman akan realitas dan pengelolaan pariwisata Labuan Bajo. Klaim pemerintah dan gagasan (epistemologi) menekankan aspek keberlanjutan pariwisata. Lalu, mengapa pada ranah aksi (baca: kebijakan) justru mendapat penolakan dari publik?
Menjawab pertanyaan tersebut saya coba mengutarakan pokok pikiran "penolakan sementara". Dalam konteks sikap yang masih abu-abu ini, pertimbangannya; pertama, melihat kesiapan destinasi alternatif di luar kawasan TNK dan Flores --makanya menolak. Kedua, paradoks destinasi superprioritas. Ketiga, respons dan tinjauan pengembangan pariwisata, konteks pertimbangan aspek keberlanjutan pariwisata --makanya didukung.
Bukan menjadi rahasia lagi bahwa kesiapan destinasi alternatif di luar kawasan TNK dan Flores masih menjadi kendala dan merupakan beberapa potret yang tidak bisa dibantah. Aksesibilitas yang jauh, kondisi infrastruktur yang tidak memadai, sarana dan prasarana pariwisata juga belum lengkap, hingga masalah dari segi sumber daya manusia (SDM)
Travel Tourism Competitiveness Index (TTCI) membuat indikator persiapan destinasi di Flores. Indikatornya mencakupi empat hal. Pertama, produk pariwisata; kualitas produk dan keterlibatan masyarakat. Kedua, infrastruktur; kualitas dan akses bandara, kualitas jalan dan pelabuhan, kualitas layanan wisata. Ketiga, regulasi; prioritas pariwisata, keterbukaan, persaingan harga, keberlanjutan lingkungan. Keempat, pendukung pariwisata; lingkungan usaha, keamanan, kualitas SDM, ICT, dan kesehatan.
Rentang nilai yang dibuat TTCI adalah, nilai 0-1 tahap belum berkembang, nilai 1-2 tahap berkembang, nilai 2-3 tahap penyempurnaan. Terdapat 8 Kabupaten yang ada di wilayah Pulau Flores, dan mendapatkan nilai yang beragam --Manggarai Barat (2,1), Manggarai (1,9), Manggarai Timur (1,9), Ngada (1,8), Nagekeo (1,75), Ende (1,9), Sikka (2,0) dan Flores Timur (1,9). Kesiapan destinasi di Flores masih dalam tahap berkembang.
Terminologi Superprioritas
Destinasi prioritas di Indonesia, yaitu Mandalika, Morotai, Tanjung Kelayang, Danau Toba, Wakatobi, Borobudur, Kepulauan Seribu, Tanjung Lesung, Bromo, dan Labuan Bajo secara kolektif kerap disebut "10 Bali Baru". Dan, dipangkas menjadi empat skala superprioritas, yakni Mandalika, Danau Toba, Borobudur, dan Labuan Bajo (NTT).
Superprioritas yang disematkan untuk Labuan Bajo, dari segi terminologi dapat dipahami; pertama, fokus proyek dan skala prioritas pembangunan di NTT oleh pemerintah pusat. Dan, pariwisata sebagai instrumen mengejar ketertinggalan di bumi Flobamora. Kedua, soal destinasi; Labuan Bajo bukan sebagai destinasi superprioritas atau pilihan utama di mata wisatawan yang hendak berkunjung. Artinya, dalam ruang geraknya di level nasional ataupun internasional, masih menjadi destinasi alternatif.
Harapan yang Sama
Dalam seminar "Kepariwisataan NTT Menuju Kelas Dunia" (22 Desember 2020), Kepala Dinas Pariwisata NTT Wayan Darmawa merinci hambatan dan tantangan pengembangan pariwisata NTT. Pertama, kurangnya konektivitas, pelayanan dasar, dan infrastruktur untuk melayani wisatawan. Kedua, kebersihan dan kesehatan.
Diskusi menunjukkan harapan yang sama, pentahelix pariwisata perlu bergandengan tangan untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Mulai dari penerapan secara konsisten pariwisata berkesinambungan berbasis masyarakat, membuka akses langsung pada lokasi yang memiliki potensi wisata siap dijual untuk menjamin percepatan industri pariwisata. Pembangunan perlu memperhatikan aspek lingkungan, kultur dan budaya setempat.
Pariwisata memiliki dukungan ekonomi untuk pembangunan nasional dan daerah. Atas dasar itu perlu dukungan pembangunan yang memadai pada daerah-daerah yang memiliki banyak potensi wisata unggulan. Terbaru, Presiden Jokowi meresmikan proyek-proyek pendukung Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang ada di Labuan Bajo, seperti Waterfront City, penataan kawasan Pulau Rinca, perluasan Bandara Komodo.
Sampai pada titik ini, perlu juga diapresiasi program-program yang ditujukan kepada pengembangan pariwisata untuk daerah ini. Terkait sikap pro-kontra dengan rupa-rupa argumentasi adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Bahwasanya tidak semua bentuk proyek dan kebijakan yang dibuat dapat memenuhi kemauan publik.
Daripada buru-buru menetapkan TNK (baca: Pulau Komodo, Pulau Padar, Pink Beach) sebagai destinasi pariwisata eksklusif, alangkah baiknya, top issues pariwisata di luar kawasan TNK dan Flores dibenahi terlebih dahulu. Dengan upaya tersebut, bukan tidak mungkin masyarakat yang bertumpu pada sektor pariwisata bisa menerima keputusan yang diambil.
Sekiranya pemerintah masih ngotot menerapkan tiket masuk yang supermahal dan mengabaikan peningkatan kapasitas destinasi alternatif, maka Labuan Bajo dan Flores umumnya berpotensi kehilangan banyak wisatawan.
Yohanes Budiono mahasiswa Fakultas Pariwisata Universitas Triatma Mulya Bali, asal Flores