Baru-baru ini, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari menyampaikan bahwa peserta pemilu boleh melakukan kampanye di kampus. Menurutnya, undang-undang tidak melarang melakukan kampanye di kampus; yang dilarang adalah menggunakan fasilitas pendidikan untuk berkampanye, bukan aktivitas kampanyenya.
Tapi saat bersamaan, mengacu rujukan undang-undang yang sama, Bawaslu justru memandang sebaliknya, berkampanye tidak boleh dilakukan di kampus. Bahkan Bawaslu mengancam pidana. Mencermati perbedaan diametral tersebut, KPU dan Bawaslu selaku lembaga penyelenggara perlu mencari titik temu kesepahaman bersama agar ada kepastian hukum bagi peserta.
Menurut saya, apa yang disampaikan oleh Ketua KPU yang membolehkan peserta pemilu berkampanye di kampus sangat logis. Pasal 280 ayat (h) UU No.7 tahun 2017 tidak melarang berkampanye, tapi melarang pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Pada penjelasan undang-undang pun sangat jelas dan tegas. Penjelasan Pasal 280 ayat (h) menegaskan bahwa fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika Peserta Pemilu hadir tanpa atribut Kampanye Pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Yang dimaksud dengan "tempat pendidikan" adalah gedung dan/atau halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi.
Namun terlepas dari hal tersebut, menurut saya gagasan kampanye di kampus menarik untuk ditakar dan dikaji bersama. Bagaimana letak dan posisi strategis kampus untuk dijadikan sebagai ruang berkampanye bagi peserta Pemilu 2024 mendatang? Apa dasar epistem yang kuat sehingga perguruan tinggi sangat patut untuk dijadikan oleh calon presiden/wakil presiden atau calon legislatif untuk berkampanye?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara genealogis, sejarah politik Indonesia adalah sejarah anak muda terdidik. Bangsa ini tidak bisa dipisahkan dari peran besar intelektual muda perguruan tinggi. Sejak tahun 1908, para mahasiswa sudah terlibat dalam memprakarsai kemerdekaan Indonesia.
Tahun 1922, M. Hatta dan para mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda mendirikan Indische Vereeniging untuk perjuangan kemerdekaan. Proklamasi kemerdekaan Indonesia hingga Reformasi 1998 pun, anak muda dan mahasiswa memainkan peran besar dalam terjadinya peristiwa tersebut.
Perubahan-perubahan mendasar arah dan sistem politik sebuah negara acap bermula dari peran dan gerakan kaum muda mahasiswa (Badrun, 2016:84). Sejujurnya, pergeseran perubahan sistem ketatanegaraan dan sistem pemilu saat ini merupakan buah karya tidak langsung dari gerakan mahasiswa yang mampu menggeser kekuatan rezim tahun 1998.
Kontrak Politik
Kampanye sebagai kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu dapat menjadi momen strategis bagi civitas perguruan tinggi khususnya mahasiswa. Momen kampanye dapat dijadikan sebagai ruang untuk menggali dan mengkaji rasionalitas visi-misi calon presiden/wakil presiden, partai politik, atau calon legislatif. Selain itu, dapat juga dijadikan sebagai momen kontrak politik antara calon pemimpin dengan mahasiswa sebagai pemilih.
Momen pertama dapat menempatkan perguruan tinggi atau kampus sebagai laboratorium ilmiah untuk menguji kualitas visi-misi dan rencana program calon pemimpin. Tentu ini selaras dengan spirit tri dharma perguruan tinggi. Sedangkan kontrak politik dapat menjadi ruang pengikat mahasiswa sebagai elemen rakyat dan pemilih dengan calon pemimpin. Kontrak politik tersebut dapat menjadi dasar mahasiswa untuk mengontrol pemimpin yang terpilih nantinya. Ini bisa menutup residu gerakan mahasiswa yang senantiasa dianggap sporadis dalam melakukan gerakan.
Pada zaman pemerintahan Orde Baru, Menteri Pendidikan pernah mengeluarkan Surat Keputusan No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus dan Surat Keputusan No. 037/U/1979. Kebijakan tersebut menempatkan politik negara berjarak jauh dengan kehidupan mahasiswa. Tapi kebijakan itu kini sudah tidak ada. Karenanya, kampanya masuk kampus setidaknya dapat menghidupkan kembali dinamika kritisisme konstruktif civitas kampus terhadap isu politik kebangsaan.
Prevensi dan Regulasi
Namun demikian, memberikan ruang kampanye di kampus harus dibarengi dengan berbagai langkah preventif dan pengaturan secara rigid. Misalnya isu imparsialitas perguruan tinggi. Kampus harus memastikan netralitas mereka. Perguruan tinggi negeri misalnya, harus memastikan tidak berpihak dan tidak dapat diintervensi ketika calon yang berkampanye adalah dari petahana. Ini tidak mudah. Begitu pun perguruan tinggi swasta juga harus memastikan netralitasnya ketika calon memiliki afiliasi dengan yayasan kampus atau semisalnya.
Polarisasi pemilu masuk kampus juga dapat menjadi ancaman jika kampanye masuk kampus. Keterlibatan para akademisi kampus dalam narasi-narasi polaristik politik dalam beberapa tahun terakhir tidak hanya mengganggu imparsialitas perguruan tinggi, tapi juga dapat memperkeruh polarisasi di internal perguruan tinggi. Hal ini berpotensi terjadi jika perguruan tinggi tidak siap membangun kultur politik rasional di dalam budaya di kampusnya.
Oleh karena itulah, membuka ruang kampanye masuk kampus harus diperkuat dengan regulasi atau aturan yang ketat dan rigid. Di antaranya misalkan, perlu peraturan teknis regulatif untuk menjamin dan memastikan kampus pengundang calon tidak terafiliasi dengan partai politik maupun calon manapun. Misalnya juga, pengurus yayasan dan/atau pejabat/dosen perguruan tinggi tidak menjadi anggota partai politik atau tim sukses calon. Kampus benar-benar harus dipastikan steril dari keberpihakan. Ini harus diatur secara rigid.
Pada akhirnya, dalam menakar kampanye masuk kampus kita berharap kampanye peserta pemilu, baik itu calon presiden/wakil presiden, partai politik, maupun calon legislatif dapat menjadi ruang perjumpaan gagasan dan ide untuk membangun bangsa kita ke depan. Kampus atau perguruan tinggi diharapkan dapat menjadi laboratorium pengujian gagasan itu. Ruang inilah yang harus dan perlu kita perkuat untuk mewujudkan Pemilu dan demokrasi yang lebih berkualitas untuk kemajuan bangsa dan negara.
Agus Hilman Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Politik, Partisipasi Masyarakat dan SDM KPU Provinsi NTB
Simak juga 'KPU, Bawaslu & DKPP Tinjau Proses Verifikasi Administrasi Partai':