Belum lama ini saya menonton sebuah film dokumenter berjudul The Great Hack yang pertama kali tayang di Netflix pada 2019. Film yang disutradarai oleh Karim Amer dan Jehane Noujaim tersebut menceritakan perjalanan seorang asisten profesor Amerika bernama David Carroll yang menggugat Cambridge Analytica (CA), sebuah firma konsultan politik, atas penyalahgunaan data media sosial. CA disebut menggunakan puluhan juta data Facebook untuk menganalisis perilaku politik pemilih di Amerika dan beberapa negara lain.
Carroll mengawalinya dengan pertanyaan sederhana, "Can I see the data you have on me?" Sebagai pengguna media sosial, Carroll merasa berhak untuk mengetahui apa saja informasi yang didapat dari akunnya. Ia menggugat CA ke pengadilan tinggi Inggris menggunakan Undang-Undang Perlindungan Data yang berlaku di negara tersebut.
Dalam film tersebut ditunjukkan bagaimana CA menggunakan data sekecil apapun sebagai bahan analisisnya. Mereka mengambil informasi dari foto yang diunggah, jejaring pertemanan, hobi, pasangan, likes, dan data-data lain yang mungkin bagi sebagian besar orang tidak penting-penting amat. CA mengklaim memiliki 5000 titik data dari setiap pengguna media sosial. Ternyata data-data itu bisa dibaca dan dianalisis untuk menggambarkan situasi masyarakat. Analisis tersebut kemudian digunakan sebagai bahan untuk merancang sebuah kampanye politik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasilnya Donald Trump, cameo pilpres di Amerika, bisa mengungguli Hillary Clinton, seorang politisi ulung yang digadang-gadang menjadi presiden perempuan pertama di Negeri Paman Sam. Hillary dikalahkan melalui kampanye Trump yang sangat ugal-ugalan. Mereka mengekspose sosok Hillary Clinton dengan informasi yang belum tentu benar, menakut-nakuti pemilih Amerika dengan isu serbuan imigran dari Meksiko dan Timur Tengah, dan menyebut Hillary Clinton sebagai ancaman bagi Amerika. Karenanya, Trump adalah sosok yang tepat untuk membuat Amerika kembali digdaya. Mereka membuat jargon make Amerika great again.
Kampanye Donald Trump memproduksi 5.9 juta visual ads. Hal ini jauh mengungguli kampanye Hillary yang hanya 66 ribu saja. Oleh pengamat politik, strategi kampanye Trump disebut sebagai firehouse of falsehood, sebuah teknik propaganda dalam jumlah besar secara cepat, berulang-ulang, dan tanpa henti di berbagai media tanpa mempedulikan kebenaran atau kepastiannya. Ternyata, berhasil!
Selain Pilpres Amerika (2016), CA merupakan konsultan dalam kampanye pro-Brexit di Inggris (2016), kampanye 'Do So!' di Trinidad dan Tobago yang membangkitkan apatisme politik anak muda (2010), dan berbagai dugaan lainnya, termasuk dalam Pilpres Indonesia.
Menonton film tersebut membuat saya semakin menyadari bahwa data atau informasi merupakan aset yang sangat berharga saat ini. Di era digital, nilai dari sebuah data bahkan lebih besar dari minyak. Itu yang menyebabkan mengapa perusahaan terkaya di dunia saat ini didominasi oleh perusahaan yang bergerak di teknologi informasi dan komunikasi.
Hak Asasi
Skandal CA menyeret Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, ke sidang kongres Amerika Serikat. Ia dimintai keterangan mengenai dugaan penjualan data pengguna ke pihak ketiga. Seorang whistleblower menyebut bahwa Facebook memiliki andil dalam kebocoran data itu. Sebagai penyedia layanan, semestinya Facebook menjaga keamanan dan privasi para penggunanya, bukan justru memperdagangkan.
Kenakalan perusahaan semacam Facebook butuh disikapi secara serius, baik di level individu atau pun negara. Sebagai individu, setiap warga perlu melek digital agar akunnya tidak disalahgunakan. Sementara negara perlu mendorong agar Facebook dan penyedia sistem elektronik lain berkomitmen melindungi data penggunanya. Negara harus memiliki regulasi yang bertujuan melindungi segenap warga negaranya dari berbagai bentuk penyalahgunaan digital.
Pemerintah Indonesia sebenarnya memiliki kiat yang baik menyikapi persoalan yang terjadi di ranah digital. Kementerian Komunikasi dan Informatika membuat berbagai program seperti literasi digital untuk mengedukasi warga dan mengeluarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat. Peraturan itu menuntut penyelenggara sistem elektronik (PSE) untuk mendaftarkan diri ke kementerian.
Kominfo memberi tenggat kepada setiap PSE untuk mendaftar maksimal akhir Juli 2022. Jika tidak, layanan itu akan diblokir oleh pemerintah. Tetapi, hingga waktu yang ditentukan, beberapa PSE tidak juga mendaftar. Kominfo kemudian memblokir berbagai situs seperti Steam dan PayPal. Hal yang kemudian menuai protes dari kalangan kreatif dan melambungkan hashtag "BlokirKominfo". Pasalnya, jutaan warga Indonesia mengais rezeki dari kedua platform tersebut. Tindakan pemblokiran oleh pemerintah tentu sangat merugikan warga.
Apalagi Permenkominfo itu sebenarnya problematik dan perlu dikaji ulang. Banyak pasal karet yang berpotensi menjadi sumber masalah di kemudian hari. Misalnya isi Pasal 9 ayat 3 dan ayat 4 yang memastikan agar pemilik platform tidak menampilkan informasi yang meresahkan dan mengganggu ketertiban umum. Kata 'meresahkan' dan 'mengganggu ketertiban umum' merupakan kata yang multi-tafsir dan rentan disalahgunakan.
Saya yakin, para pengambil kebijakan sebenarnya memiliki niat baik. Namun niat baik saja tidak cukup karena harus diiringi langkah yang tepat. Di ranah digital, kebijakan tentang dunia digital membutuhkan pemahaman dan cara pandang digital. Hal yang juga mendasar, pemerintah perlu belajar melakukan mitigasi dalam setiap pengambilan keputusan agar kepentingan masyarakat tidak dikalahkan oleh kepentingan apapun. Digital rights is human rights.
Jangan sampai negara yang bertugas melindungi justru menjadi the great hacker bagi warganya. Karena tugas negara itu melindungi rakyat, bukan malah mengorbankannya.
Sarjoko S pegiat media jaringan Gusdurian