Meninggalnya seorang anak di Tasikmalaya yang diduga terjadi akibat depresi setelah mendapatkan perundungan (bullying) dari sejumlah temannya baru-baru ini menegaskan bahwa perundungan menjadi salah satu problem serius yang mengancam anak-anak kita pada saat sekarang ini. Sejumlah upaya perlu dilakukan agar virus perundungan tidak semakin banyak menulari generasi muda kita. Jangan sampai para generasi penerus bangsa ini tumbuh dengan perilaku agresif yang bukan hanya akan merugikan orang lain, tetapi juga akan merugikan diri mereka sendiri.
Secara sederhana, perundungan didefinisikan tindak pelecehan emosional atau fisik yang dilakukan secara sengaja, berulang-ulang yang ditunjukkan seseorang atau sekelompok orang kepada seseorang lainnya atau sekelompok orang lainnya yang lebih lemah (Donelly et al, 2011). Survei Kementerian Sosial yang dilakukan beberapa waktu lalu menyebut sebanyak 84 persen anak usia 12-17 tahun di negeri ini pernah menjadi korban perundungan. Beberapa di antaranya bahkan ada yang sampai meninggal dunia.
Perundungan dapat terjadi di mana saja, termasuk di lingkungan yang semestinya hal ini tidak boleh terjadi, seperti di lingkungan sekolah. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah menerima sekurangnya 37.381 laporan perundungan dalam kurun waktu 2011 hingga 2019. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2.473 kasus disinyalir terjadi di dunia pendidikan. Sementara itu, Organisation of Economic Co-operation and Development (OECD), dalam riset Programme for International Students Assessment (PISA) pada 2018 mengungkapkan bahwa sebanyak 41,1 persen siswa di Indonesia mengaku pernah mengalami perundungan. Jumlah tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara ke-5 dari 78 negara dengan siswa yang mengalami perundungan paling banyak.
Secara garis besar, terdapat lima bentuk perundungan yang dapat menimpa kepada anak. Pertama, perundungan fisik. Ini bentuk perundungan yang paling mudah dikenali. Pelaku memakai cara-cara fisik untuk mem-bully korbannya, seperti menampar, menendang, menjambak, menyikut, dan sebagainya. Kedua, perundungan verbal. Pelaku menggunakan kata-kata tertentu untuk membentak, menghardik, meneriaki, memaki, menghina, mempermalukan, menolak, mencela, merendahkan, serta mengejek korbannya.
Ketiga, perundungan psikologis. Contohnya memandang sinis, memelototi, mencemooh. Keempat, perundungan relasional. Misalnya, mengabaikan, mengecualikan, menyebarkan desas-desus, berbohong, menyuruh orang lain menyakiti seseorang. Kelima, perundungan virtual. Antara lain mengirim atau mem-posting teks, gambar atau video yang menyakiti, memalukan, atau mengancam dengan menggunakan fasilitas internet, ponsel, atau perangkat komunikasi digital lainnya.
Apapun bentuknya, perundungan tidak boleh dibiarkan lantaran dampaknya terhadap masa depan korban dan pelaku bisa sangat serius. Kajian yang pernah dilakukan oleh Centers for Disease Control and Prevention, Amerika Serikat menyebutkan, di samping membuat diri si korban mengalami depresi, gelisah, rendah diri serta mengalami gangguan perilaku, aksi perundungan juga membuat pelaku perundungan cenderung menghadapi risiko lebih tinggi untuk menjadi pengguna obat-obatan dan zat terlarang serta melakukan aksi-aksi kekerasan di fase kehidupan mereka di masa depan.
Harus Bebas
Sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini, institusi pendidikan, dari level yang paling rendah hingga level yang paling tinggi harus bebas dari aksi-aksi perundungan. Lingkungan sekolah seyogianya menjadi lingkungan yang nyaman, aman, dan menyenangkan bagi semua warganya. Aturan dan etika harus senantiasa mampu ditegakkan guna menjamin terciptanya lingkungan sekolah dan perguruan tinggi yang nyaman, aman, dan menyenangkan.
Lingkungan sekolah mesti menjadi tempat pula bagi segenap warganya untuk belajar dan memahami bahwa perundungan adalah perilaku yang tidak dapat diterima. Setiap pelaku perundungan harus ditindak tegas. Pengelola sekolah sama sekali tidak boleh bersikap permisif terhadap bentuk-bentuk perundungan yang terjadi di lingkungan sekolah, sekecil apapun bentuknya. Jangan sampai aksi-aksi perundungan akhirnya dianggap hal lumrah alias biasa.
Pihak pengelola sekolah perlu mendorong setiap warganya agar berani melaporkan setiap tindakan perundungan yang dialami atau jika melihat terjadinya perundungan. Selain senantiasa memberi teladan nyata dalam bersikap maupun bertindak, dengan tidak melakukan bentuk-bentuk perundungan selama proses kegiatan pembelajaran, guru diharapkan pula sadar, paham, serta berkomitmen untuk senantiasa mencegah terjadinya bentuk-bentuk perundungan di lingkungan institusi mereka.
Tidak kalah krusial, jangan ada bahan/materi ajar, metode pembelajaran serta aktivitas belajar, baik itu intrakurikuler maupun ekstrakurikuler di lingkungan sekolah yang mengandung muatan-muatan perundungan. Pesan-pesan anti-perundungan sebaiknya pula diperkenalkan melalui materi ajar pendidikan bahasa, seni, sains, sejarah maupun materi ajar lainnya.
Di pihak lain, institusi keluarga berperan penting dalam ikut menangkal terjadinya aksi-aksi perundungan di kalangan generasi muda kita. Seperti juga guru, para orangtua adalah role model bagi anak-anaknya. Benih-benih perundungan bisa saja diperoleh sang anak dari interaksi di lingkungan keluarga mereka dan kemudian dibawa ke lingkungan sekolah tempat anak-anak menuntut ilmu. Bagaimanapun, anak akan meniru apa yang ditunjukkan dan dicontohkan para orangtuanya. Karenanya, tunjukkanlah selalu hal-hal positif buat mereka sejak dini.
Kita menaruh harap virus perundungan tidak semakin banyak menulari generasi muda kita. Kita sama sekali tidak ingin mereka tumbuh dengan perilaku agresif yang bukan hanya akan merugikan orang lain, tetapi juga akan merugikan diri mereka sendiri. Kita semua wajib melindungi anak-anak kita dari penularan virus perundungan dan dari segala bentuk aksi perundungan.
Irma Suryani pemerhati pendidikan anak dan keluarga, alumni STAI Sukabumi
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini