Pendidikan tinggi merupakan ruang yang terang. Para putra-putri bangsa yang kemudian disebut mahasiswa-mahasiswi di dalamnya diterangi dengan cahaya ilmu pengetahuan. Bukan hanya diterangi ilmu pengetahuan, tetapi juga pancaran akhlak mulia seperti yang telah dirumuskan dalam tujuan pendidikan tinggi kita yaitu berkembangnya potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.
Namun, dalam ruang terang pendidikan tinggi kita itu, ada sudut gelap. Cahaya ilmu pengetahuan dan akhlak mulia yang menerangi ruang pendidikan tinggi kita, tidak sampai di sudut gelap itu. Entah tidak sampai karena pancaran cahayanya kurang jauh atau mungkin memang ada dinding penghalang yang menghalangi. Atau, bisa jadi sengaja dibuatkan sudut gelap, ditutup-tutupi lalu dinikmati sebagai hal yang lumrah dan biasa. Lalu apa sudut gelap itu? Sudut gelap itu adalah pelecehan atau kekerasan seksual yang dialami mahasiswi oleh dosen.
Berdasarkan data Komnas Perempuan, sepanjang 2015-2021, kekerasan seksual di dunia pendidikan paling banyak terjadi di perguruan tinggi. Tercatat ada sebanyak 35 laporan kekerasan seksual di perguruan tinggi yang masuk di Komnas Perempuan. Ingat, ini berdasarkan laporan yang masuk di Komnas Perempuan. Bisa jadi, ada lebih banyak kasus yang tidak masuk laporannya di Komnas Perempuan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Menteri Nadim Makarim juga menyampaikan hasil survei mandiri Kemenristekdikti pada 2020 mengenai kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi. Tercatat ada 77 persen dosen yang disurvei mengakui tindak kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Ini yang disurvei dosen, bukan mahasiswa. Bagaimana kalau mahasiswa yang disurvei, bisa jadi lebih dari itu.
Regulasi Pencegahan dan Penanganan
Upaya pemerintah dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual di ruang pendidikan tinggi sebenarnya sudah dilakukan, salah satunya dengan menerbitkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan ini juga ditindaklanjuti oleh beberapa perguruan tinggi dengan mengeluarkan Peraturan Rektor atau Surat Keputusan Rektor di internal kampus masing-masing.
Dengan demikian, secara regulasi, pencegahan dan penanganan kekerasan seksual terhadap mahasiswi oleh dosen telah dilakukan. Namun, secara regulasi saja tidak cukup, karena pelecehan dan kekerasan seksual yang dialami mahasiswi oleh dosen masih saja berulang terjadi yang membuat sudut gelap di ruang pendidikan tinggi kita.
Terbaru dan terhangat, kita mendengar kabar seorang mahasiswi Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari melaporkan seorang oknum dosen bergelar profesor yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadapnya. Menurut pengakuan mahasiswi tersebut, ia mendapat perlakukan tidak senonoh (pelecehan seksual) pada 18 Juli 2022 di kediaman oknum dosen tersebut. Kasus ini sementara ditangani pihak kepolisian Polres Kendari. Karena laporan kasusnya masih bergulir, tentu kita mengedepankan asas praduga tak bersalah sampai ada keputusan hukum yang mengikat.
Sebelumnya, kita juga mendengar kabar tiga orang mahasiswi Universitas Sriwijaya (Unsri) melaporkan oknum dosennya yang diduga melakukan pelecehan seksual secara verbal melalui pesan singkat dari aplikasi pesan terhadap mereka. Dalam kasus ini, oknum dosen tersebut telah divonis 8 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang pada 31 Mei 2022.
Beda halnya dengan kasus dugaan pelecehan seksual yang dialami oleh seorang mahasiswi Universitas Riau (Unri) saat melakukan bimbingan proposal skripsi oleh seorang oknum dosen yang memiliki jabatan sebagai dekan. Dalam kasus ini oknum dosen tersebut telah divonis bebas oleh Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru pada 30 Maret 2022. Hal ini membuat mahasiswi yang menjadi korban merasa kecewa dan menemui Mas Menteri Nadim Makarim untuk meminta keadilan serta menagih implementasi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS di lingkungan Perguruan Tinggi.
Tidak Cukup
Kasus-kasus di atas hanyalah beberapa contoh kasus dari sederet kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap mahasiswi oleh dosen di pendidikan tinggi kita. Berbagai data dan fakta ini telah menunjukkan bahwa ada sudut gelap di pendidikan tinggi kita, di mana mahasiswi menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual oleh oknum dosen. Dirumuskan dan dilahirkannya berbagai regulasi dalam pencegahan dan penangan kekerasan seksual terhadap mahasiswi tidak begitu cukup untuk menerangi sudut gelap pendidikan tinggi kita ini.
Menurut hemat saya, butuh kesadaran kolektif berbagai civitas akademik perguruan tinggi, khususnya para dosen yang notabene memiliki otoritas di perguruan tinggi. Dosen yang memiliki integritas dan moralitas tidak akan memanfaatkan otoritasnya untuk mengelabui mahasiswanya yang berjuang pada pelecehan dan kekerasan seksual. Membangun kesadaran kolektif ini bukan lah perkara yang mudah, tetapi mesti dilakukan dengan berbagai upaya yang berkesinambungan misalnya melalui kampanye, sosialisasi dan pendidikan anti kekerasan seksual terhadap perempuan.
Selain merumuskan regulasi dan membangun kesadaran kolektif, dibutuhkan juga pemahaman terkait keadilan dan kesetaraan gender atau feminisme yang bisa ditanamkan sejak dini kepada mahasiswa. Ini menjadi penting agar generasi ke depan tidak menganggap perempuan hanya sebagai makhluk sosial yang lemah atau warga kelas dua sehingga bisa mencegah tumbuh kembangnya budaya patriarki khususnya di lingkup perguruan tinggi dan secara umum di masyarakat.
Budaya patriarki inilah menjadi salah satu penyebab mudahnya terjadi pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Salah satu upaya penanaman pemahaman ini bisa dilakukan pendidikan tinggi kita dengan mengadakan mata kuliah umum tentang kesetaraan gender yang diberikan kepada seluruh mahasiswa semester awal.
Seluruh upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual terhadap mahasiswi oleh dosen untuk menerangi sudut gelap pendidikan tinggi kita mesti melibatkan dukungan dan peran seluruh komponen bangsa, baik itu pemerintah, civitas akademik perguruan tinggi maupun masyarakat secara umum. Kita berharap, ke depan sudut gelap pendidikan tinggi kita itu bisa kembali terang, sehingga generasi bangsa yang dilahirkan pendidikan tinggi mampu menatap luas masa depan dan melahirkan peradaban bangsa Indonesia yang maju.
Falihin Barakati mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ)