Subsidi energi bengkak ke angka yang fantastis Rp 502 triliun. Ini setara dengan 16 persen dari total belanja APBN-P 2022. Sebagai negara produsen komoditas primer, Indonesia ikut mendapat windfall dari kenaikan harga komoditas global. Tambahan pendapatan negara diperkirakan mencapai Rp 420 triliun. Namun, jika dikalkulasi secara kasar, surplus pendapatan itu habis tersedot untuk subsidi energi.
Subsidi adalah instrumen fiskal untuk meredam gejolak pasar. Hampir semua negara, termasuk penganut laissez-faire, menerapkan subsidi. Namun, setiap negara punya pola bervariasi. Subsidi biasanya diberikan dengan dua mekanisme.
Pertama, subsidi kepada orang. Negara menetapkan daftar penerima subsidi. Mereka adalah para mustahik dari lapis golongan bawah. Model ini dinamakan dengan subsidi tertutup. Dengan model ini, subsidi seharusnya tepat sasaran. Hanya golongan tertentu yang terdaftar yang berhak mendapat subsidi. Subsidi dapat diberikan dalam bentuk tunai atau natura. Pertama, dengan cash transfer (BLT) sehingga rakyat miskin dapat menjangkau harga produk.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, dengan produk tertentu yang hanya boleh dibeli rakyat miskin. Negara liberal umumnya menempuh kebijakan ini. Harga barang dilepas ke mekanisme pasar. Pemerintah tidak mengintervensi harga, tetapi memberikan subsidi langsung ke penerima manfaat.
Model kedua subsidi atas barang. Pemerintah mengontrol harga barang agar terjangkau untuk semua lapisan. Ini disebut dengan subsidi terbuka. Biasanya terkait dengan sektor komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak. Problem utama sistem ini adalah ketepatan sasaran. Karena komoditas terbuka bagi semua orang, subsidi seringkali dinikmati --bahkan dengan porsi lebih banyak-- oleh mereka yang tidak berhak. Ini bertentangan dengan tujuan subsidi sebagai instrumen proteksi negara kepada golongan paling rentan.
Dilema
Indonesia menghadapi dilema terkait pemberlakuan subsidi tepat sasaran. Subsidi akan lebih tepat sasaran dengan sistem tertutup alias subsidi kepada orang, bukan sistem terbuka alias subsidi atas barang.
Dilema pertama terkait konstitusi. Konstitusi Indonesia bernafas welfare-state. Negara bukan sekadar wasit atau penjaga malam (nachtwachterstaat), tetapi pelaku aktif pembangunan yang mengemban fungsi alokasi, redistribusi, regulasi, dan proteksi. Putusan MK terhadap Pasal 28 ayat 2 UU Migas No. 22 Tahun 2001 menjadi dasar pemberlakuan sistem subsidi terbuka.
Harga BBM dan BBG tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Pengendalian negara harus diutamakan dalam cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Karena konstitusi mengafirmasi subsidi atas barang, Pemerintah melalui Pertamina menyiasatinya dengan mengeluarkan jenis-jenis produk. Ketentuan ini diatur dalam Perpres 191/2014 yang membedakan tiga jenis produk BBM, yaitu JBT (Jenis BBM Tertentu), JBKP (Jenis BBM Khusus Penugasan), dan JBU (Jenis BBM Umum).
JBT adalah BBM subsidi, terdiri dari minyak tanah dan solar. JBKP adalah BBM non-subsidi yang harus didistribusikan di wilayah penugasan, yaitu BBM jenis Premium beroktan 88. JBU adalah adalah BBM non-subsidi, terdiri dari Pertalite, Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertadex. Ini adalah taktik komersial untuk menengahi aspek keekonomian dan keadilan. Formula harga keekonomian berkeadilan menjelma dalam produk-produk BBM yang bervariasi.
Dilema kedua terkait kesiapan database. Jika opsinya adalah subsidi kepada orang, data penerimanya harus solid agar tepat sasaran. Indonesia belum punya pangkalan data terpadu terkait siapa mustahik penerima subsidi.
Pemerintah punya banyak sekali program-program perlindungan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Bantuan Sosial Pangan (BSP), Program Beras Untuk Keluarga Sejahtera (Rastra), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), Bantuan Subsidi Upah (BSU), subsidi listrik dan elpiji, dan lain-lain. Tetapi, karena database-nya tidak solid, banyak keraguan betulkah subsidi diterima oleh mereka yang berhak?
Data yang dirujuk biasanya adalah DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) yang diterbitkan Pusdatin Kesos Kemensos RI. PLN punya data pelanggan, berbasis daya listrik. Total pelanggan PLN ada 79 juta jiwa, dengan 37 juta di antaranya menikmati subsidi. Mereka adalah pelanggan daya 450 VA (24.3 juta) dan 900 VA (8.2 juta). Sisanya adalah pelanggan sosial yang mencakup rumah ibadah, sekolah, dan Rumah Sakit. Kelompok bisnis (B) dan industri (I) tarif B1, I1, dan I2 juga mendapat subsidi.
Masalahnya, data PLN belum sinkron dengan DTKS. Dari 24.3 juta pelanggan daya 450 VA, 14.5 juta (59.6%) tidak terdaftar di DTKS. Dari 8.2 juta pelanggan daya 900, hanya 4.1 juta yang dianggap layak mendapat subsidi. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyebut lebih dari separo (55.7%) penikmat subsidi listrik adalah golongan mampu.
Jika PLN, yang konsumennya berbasis pelanggan saja tidak tepat sasaran, apalagi Pertamina yang menjual bebas produk-produk BBM dan Elpiji. Solar subsidi dikonsumsi oleh golongan yang tidak berhak. Premium (sekarang Pertalite) masih dijual bebas. Dengan revisi Perpres 191/2014, status Pertalite adalah JBKP pengganti Premium. Elpiji 3 Kg dikonsumsi oleh bukan mustahik. Tanpa skenario pembatasan, dan subsidi dan kompensasi berpotensi tidak terkendali.
Dilema ketiga terkait willingness to pay (kesediaan membayar). Harga barang ditetapkan oleh produsen, berdasarkan mekanisme pasar. Ini disebut sebagai harga keekonomian. Namun, tanpa kesanggupan konsumen untuk membayar, harga barang tidak terjangkau. Dampaknya adalah inflasi. Inflasi adalah penyakit kronis ekonomi.
Untuk mencegah ini terjadi, pemerintah melakukan intervensi. Instrumennya adalah subsidi. Tujuannya memastikan harga barang terjangkau (affordable price). Karena BBM adalah komoditas penyumbang inflasi, Pemerintah-melalui Pertamina-tidak pernah sepenuhnya melepas harga BBM ke mekanisme pasar. Jenis BBM Umum, yang semestinya non-subsidi, masih dijual di bawah harga keekonomian. Pertamina, misalnya, menjual Pertamax di harga Rp12.500 per liter. Padahal, harga keekonomiannya mencapai Rp 17.950 per liter. Karena dia JBU, selisihnya tidak ditanggung oleh APBN, tetapi 'subsidi terselubung' oleh Pertamina.
Jika model subsidi tertutup ditempuh, harga dilepas ke pasar. Masyarakat rentan disubsidi dengan bantuan langsung untuk menaikkan kemampuan bayarnya. Masalahnya, jika dilepas ke pasar, kemampuan penduduk Indonesia-berdasarkan PDB per kapita-belum sanggup membayar harga keekonomian BBM di level harga minyak mentah USD 100 per barel ke atas. Jika dipaksakan, terjadi inflasi. Inflasi adalah 'hantu' ekonomi.
Reformasi Total
Untuk memastikan subsidi tepat sasaran, sistem subsidi harus dirombak total. Berdasarkan konstitusi, subsidi adalah hak rakyat. Namun, konstitusi (Pasal 33 ayat 4) juga menganut prinsip efisiensi berkeadilan. Subsidi tidak boleh diberikan kepada kelas menengah atas. Hanya mereka yang berhak yang boleh mengambil subsidi negara.
Inovasi Pertamina untuk membatasi konsumen Pertalite melalui aplikasi MyPertamina patut diapresiasi, meski merupakan langkah parsial. Yang dibutuhkan adalah reformasi total. Ini tugas negara, bukan korporasi. Langkahnya harus dimulai dengan reformasi Single Identity Number (SIN). Ini adalah big data yang memuat profil kependudukan lengkap, yang berisi NIK (Nomor Induk Kependudukan) sekaligus NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), identitas pribadi (nama, akta lahir, agama, pekerjaan, status pernikahan, dan keluarga), data biometrik (fingerprint, retina recorder, dan digital signature), nomor jamkes dan jamsos, dan nomor pelanggan listrik.
Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), yang berisi daftar mustahik program perlindungan sosial pemerintah, termuat di dalam satu kartu. Pemerintah tidak perlu merilis satu kartu untuk setiap program perlindungan sosial. Dengan big data kependudukan, pemerintah bisa langsung ke target penerima manfaat. Siapa saja yang boleh membeli BBM subsidi, membeli tabung Elpiji 3 Kg, dan menerima tarif subsidi listrik terekam dengan baik dalam satu NIK.
Mereka yang tidak berhak, terutama korporasi, harus dibiasakan membeli dengan harga keekonomian. Tentu saja dengan mempertimbangkan kemampuan daya beli dan inflasi. Dengan cara ini, subsidi energi akan tepat sasaran dan tidak akan sebengkak sekarang.
M Kholid Syeirazi Direktur Eksekutif Center for Energy Policy
(mmu/mmu)