Terhitung pada 2022 ini atau hampir 114 tahun setelah Balai Pustaka berdiri --72 tahun Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) eksis-- hanya ada dua kampus yang memiliki program studi Penerbitan di Indonesia, yakni D3 Penerbitan Politeknik Negeri Media Kreatif (Polimedia) dan D3 Penerbitan Politeknik Negeri Jakarta (PNJ). Kedua Prodi Penerbitan yang masih eksis itu punya kaitan erat dengan Pusat Grafika Indonesia yang dulu berada di bawah Kemendikbud dan pernah beberapa tahun berada di bawah Departemen Penerangan.
D3 Penerbitan PNJ awalnya merupakan Poltek UI yang dibangun oleh Pusgrafin pada 1990. Poltek UI yang sudah eksis sejak 1982 kemudian berubah menjadi PNJ pada 1998. Sedangkan D3 Penerbitan Polimedia adalah lanjutan dari proses alih fungsi Pusgrafin sebagai Balai Pelatihan menjadi Politeknik pada 2008.
Kemunculan Penerbitan sebagai bagian dari keilmuan di perguruan tinggi menurut Sosiolog Prancis Sophie Noel merupakan bagian dari desakan knowledge market di daratan Eropa pada 1980-an ketika perguruan tinggi mengalami pengurangan dana riset dari negara/publik dan harus menghasilkan useful research sekaligus beriringan permintaan menyiapkan lulusan untuk labour market. Penerbitan hadir pada saat itu sebagai program vocational diploma untuk cultural industries.
Politeknik Oxford (sekarang berubah menjadi Oxford Brookes University) merupakan perguruan tinggi pertama yang membuka program S1 Penerbitan di UK (1982). Surat kabar Observer kala itu memuji kehadiran program ini dengan kata-kata optimistis sekaligus bertanya-bertanya, "England will be producing her first full-qualified publishers?" Dalam artian, Inggris melakukan transformasi radikal dengan mengubah pola rekrutmen untuk industri penerbitannya dengan SDM yang memiliki ijazah khusus penerbitan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
D3 Penerbitan di PNJ yang merupakan program studi Penerbitan tertua di Indonesia kemudian melakukan berbagai perubahan kurikulum sehingga mengarah kepada Jurnalistik. Sekarang, tinggallah D3 Penerbitan Polimedia yang tetap menjaga ruhnya pada core utama pendidikan vokasional khusus penerbitan buku.
Beberapa tahun terakhir, jumlah kelas yang tersedia pada D3 Penerbitan Polimedia adalah 4 kelas atau setara 120 kuota mahasiswa baru. Sebuah angka yang menjanjikan untuk sebuah program studi "langka" di Indonesia. Sebagian besar mahasiswa yang masuk prodi ini adalah yang berasal dari Jabodetabek. Cuma satu dua mahasiswa yang berasal dari Jawa Tengah atau Jawa Timur dan Sumatera. Artinya memang dari segi jangkauan informasi, masih banyak orangtua ataupun calon mahasiswa yang tidak mengetahui keberadaan program studi ini.
Namun, sebuah berita yang membuat saya terenyuh adalah informasi terkait kuota mahasiswa baru D3 Penerbitan di Polimedia yang baru terisi 2 kelas (60 orang). Meskipun masih ada kesempatan menambah mahasiswa pada Ujian Masuk Perguruan Tinggi skema Seleksi Mandiri, fakta terakhir itu tentu membuat saya sebagai salah satu dari 2 orang Indonesia yang punya degree MA Publishing Studies menjadi sedih.
Betapa tidak? Yang saya saksikan di UK dalam beberapa dekade terakhir adalah semakin bertambahnya kampus yang membuka Prodi Penerbitan untuk level S1 sampai S3. Bahkan belakangan muncul program-program unik dan sangat spesialis seperti MA Children Book's Illustrator di Anglia Ruskin University Cambridge. Saat saya kuliah S2 Publishing Media di Oxford Brookes University (Oxford Polytechnic) anak-anak muda dari hampir seluruh benua datang ke Oxford untuk belajar ilmu penerbitan. Dua orang di antaranya menggenggam ijazah Bachelor dari Cambridge University dan satu orang dari Oxford University. Ketika saya tanya, kenapa mereka ambil S2 Penerbitan, mereka menjawab "ingin bekerja di penerbitan."
Selama 32 tahun semenjak kehadiran D3 Penerbitan di Poltek UI (PNJ) tidak ada perkembangan yang berarti dan keinginan dari berbagai kampus di Indonesia --pun untuk membuka prodi ini juga tidak tampak. Beberapa bulan yang lalu terdengar niatan dari Universitas Negeri Malang untuk membuka S2 Manajemen Publikasi Ilmiah. Beberapa dosen di Malang melihat bahwa geliat yang kuat dunia perjurnalan di Indonesia membutuhkan SDM yang khusus dilatih untuk mengelola jurnal ilmiah.
Kesadaran berbagai perguruan tinggi Indonesia untuk mengurus jurnal dengan baik sudah lumayan bagus. Karena memang kualitas dan kuantitas jurnal menjadi parameter penting untuk meningkatkan rangking dan reputasi kampus. Namun program S2 ini masih dalam bentuk tawaran policy yang dipublikasikan di sebuah jurnal internasional. Belum terdengar apakah konsep itu sudah naik pada level implementasi di tataran petinggi Universitas Negeri Malang.
Saya juga agak pesimistis izin prodi S2 keren ini bisa keluar dikarenakan dari segi kesiapan SDM pun dipertanyakan. Karena sampai sekarang di Indonesia belum ada orang yg menyandang titel Doktor Publishing Studies. Keberadaan dosen yang punya keahlian manajemen publikasi ilmiah masih abu-abu. Sementara untuk mendirikan sebuah program S2 di Indonesia harus memiliki minimal 5 dosen dengan kualifikasi doktor yang memiliki latar belakang keilmuan yang sesuai dengan program S2 yang akan diajukan izinnya.
Lambatnya perkembangan keilmuan penerbitan di Indonesia juga disebabkan tidak adanya langkah-langkah strategis yang dilakukan oleh tokoh-tokoh penerbitan Indonesia yang suaranya sebenarnya bisa menggerakkan pemerintah ataupun swasta untuk mendirikan prodi penerbitan. Tokoh-tokoh penerbitan yang memiliki koneksi ke stakeholders potensial dan policy maker tidak melakukan upaya kongkret untuk memperbanyak kampus yang mau membuka prodi penerbitan.
Bahkan ketika Gramedia Group mendirikan Universitas Multimedia Nusantara, juga luput dan alpa untuk mengikutkan Prodi Penerbitan sebagai bagian dari program kuliah yang mereka tawarkan kepada publik. Padahal Gramedia adalah pemilik penerbit terbesar di Indonesia.
Kebutuhan pasar kerja terhadap skill penerbitan sebenarnya sangat besar. Di situs IKAPI tercatat 1300-an penerbit yang berada di berbagai provinsi di Indonesia dengan sebaran terbesar di Pulau Jawa. Potensi pasar buku Indonesia pada 2015 diprediksi mencapai Rp 8,5 triliiun. Selain itu, di LIPI/BRIN teregistrasi 8000-an jurnal ilmiah. Belum lagi keberadaan Divisi Publikasi dan Penerbitan di berbagai kampus, instansi pemerintah, BUMN, dan perusahaan swasta.
Sayangnya kebutuhan pasar yang melimpah tersebut masih bisa dimasuki oleh lulusan dari semua prodi atau secara spesifik alumni Sastra, Humaniora, dan Komunikasi. Hal ini bisa jadi akibat pengetahuan dan pemahaman para pemilik divisi publikasi di berbagai instansi itu tentang profil prodi dan lulusan Penerbitan masih sangat minim.
Penerbit-penerbit di UK sudah terpapar informasi terkait Ilmu Penerbitan sejak 1980-an. Sehingga cukup mudah untuk menemukan lowongan kerja yang menerakan "Dibutuhkan Lulusan Ilmu Penerbitan" . Teman-teman saya lulusan S2 Publishing di Oxford Brookes University bertebaran di penerbit-penerbit kelas dunia seperti Elsevier, Wiley, Blackwell, Oxford University Press, Taylor & Francis, dan lain-lain. Termasuk adik-adik kelas saya dari kampus yang sama yang mengambil S1 Publishing.
Untuk konteks UK, saya perhatikan jalinan komunikasi antara pengelola prodi dengan industri penerbitan sangat dekat. Setiap minggu didatangkan petinggi-petinggi selevel manajer penerbitan besar dunia baik itu sebagai guest lecturer atau sengaja diundang untuk seminar mingguan. Ketika ada event pameran buku internasional, dosen dan mahasiswa terlibat aktif. Dari Bologna Book Fair di bulan Maret, London Book Fair di bulan Juni, Beijing Book Fair di bulan Agustus sampai Frankfurt Book Fair pada Oktober.
Saat London Book Fair, hampir sebagian mahasiswa penerbitan dilibatkan sebagai panitia. Selain itu, para pengajar yang sebagian besar merupakan mantan/masih aktif sebagai manajer/petinggi di penerbit-penerbit besar dunia tetap berkomunikasi aktif dalam mempromosikan alumni untuk bekerja di penerbit-penerbit tersebut.
Kembali pada situasi yang terjadi di Indonesia, saya menduga kurangnya promosi dan silaturahmi kepada pemilik kebijakan seperti bos-bos penerbitan dan pengambil kebijakan formasi CPNS menjadi penyebab tidak terpublikasikan/munculnya lowongan kerja untuk formasi "lulusan Ilmu Penerbitan". Paradigma berpikir bahwa kebutuhan industri dan dunia penerbitan bisa diambil dari alumni jurusan mana pun juga memperburuk progres keberadaan prodi Penerbitan dan tidak begitu progresifnya kampus membuka prodi ini.
Di tataran global berbagai dosen-dosen yang mengajar mata kuliah penerbitan di berbagai kampus dunia sedang aktif mendiskusikan posisi dan format Publishing Studies di pohon keilmuan termasuk mencari basis epistemologis dan praksisnya. Publishing Studies menjadi kajian yang seksi yang diperbincangkan oleh banyak ilmuwan. Dari Lund di Swedia sampai ke Melbourne di Australia. Dari Wits di Afrika Selatan sampai ke Simon Fraser di Kanada.
University of Edinburg memiliki The Centre for History of the Book sejak 1995. Harvard, Yale dan Brown University mengadakan konferensi tahunan bertajuk Conference in Book History. Di berbagai penjuru dunia hadir program S1-S3 Penerbitan dan Pusat-Pusat Kajian Perbukuan.
Publishing Studies bergerak dari keilmuan berbasis kompetensi teknis (vokasional) yang mengajarkan bagaimana menerbitkan, membuat, menyunting, memasarkan, dan mengelola penerbitan menjadi sebuah kajian serius dengan cakupan yang luas dari history, media studies, sociology, cultural studies, dan economy. Mengkaji bagaimana buku dan jurnal mengubah struktur sosial, pengetahuan, dan kebijakan. Topik yang menggairahkan secara intelektual.
Sayang hingga detik ini di Indonesia, semangat akademik terhadap Publishing Studies ini belum tumbuh dengan baik. Salah satu akibatnya adalah level literasi kita masih bermasalah.
Anggun Gunawan dosen D3 Penerbitan Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta, alumni S2 Publishing Media Oxford Brookes University