Pasal Penghinaan Penguasa dalam RKUHP, Mengapa Khawatir?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pasal Penghinaan Penguasa dalam RKUHP, Mengapa Khawatir?

Selasa, 02 Agu 2022 15:00 WIB
Sahel Muzzammil
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Demonstrasi mahasiswa menolak RKUHP di depan DPR (Rizky-detikcom)
Demonstrasi mahasiswa menolak RKUHP di depan Gedung DPR (Rizky-detikcom)
Jakarta -

Dalam beberapa pekan terakhir, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kembali menjadi buah bibir di tengah masyarakat. Rancangan yang telah berpuluh tahun tak kunjung mencapai garis finis ini diributkan kembali lantaran rumusan sejumlah pasal tentang penghinaan terhadap penguasa yang dapat berujung pidana (Pasal 218, 240, 241, 353, dan 354 RKUHP). Pasal-pasal ini dikhawatirkan dapat digunakan untuk membungkam kritik dan lambat laun akan memberangus suasana kehidupan yang demokratis.

Kekhawatiran ini sebenarnya wajar saja, mengingat tren kemunduran demokrasi dan penyempitan ruang kebebasan sipil memang tengah terjadi di Indonesia (Thomas Power dan Eve Warburton, 2021). Penjelasan bahwa beberapa pasal penghinaan terhadap penguasa di RUKHP merupakan delik aduan dan delik materiil (menjadi delik hanya jika mengakibatkan keonaran) tidak berhasil meredakan kekhawatiran publik. Alasannya kondisi Indonesia saat ini masih diliputi korupsi yang mengindikasikan kerentanan pelanggaran terhadap kebebasan sipil.

Pada saat bersamaan, masifnya korupsi juga menggerogoti kepercayaan publik terhadap figur negara, sehingga selunak apa pun aturan yang dicanangkan membatasi kebebasan masyarakat dan melindungi kekuasaan pasti akan menuai reaksi penolakan. Narasi yang dibawakan Transparency International Indonesia dalam rilis Corruption Perception Index (CPI) 2021 menunjukkan dengan jelas akar masalahnya, yakni negara-negara dengan tingkat korupsi tinggi (CPI rendah) cenderung melakukan pelanggaran kebebasan sipil.

Sementara itu pada 2021 Indonesia hanya berhasil meraih skor CPI sebesar 38 poin (skala 0-100), yang mendudukkan Indonesia di peringkat ke-96 dari 180 negara. Meski naik satu angka di banding tahun sebelumnya, skor ini masih lebih rendah dibandingkan rata-rata global dan Asia Pasifik yang masing-masing berada di angka 43 dan 45. Lebih parahnya lagi, sejumlah indikator terkait penegakan hukum dan demokrasi justru mengalami stagnasi dan penurunan. Jelas, ini bukanlah pencapaian yang dapat membuat publik merasa aman.

Jika Indonesia berada pada kondisi sebaliknya, dengan skor CPI bukan 38 melainkan 83 --mendekati Denmark yang sering menjadi contoh negara dengan delik penghinaan terhadap penguasa misalnya-- tentu adanya pasal penghinaan terhadap penguasa dalam RKUHP tidak akan menimbulkan kekhawatiran yang berarti. Publik dengan sendirinya akan percaya bahwa sebagaimana diungkapkan Bernardus Maria Taverne (seorang ahli hukum kenamaan Belanda), hakim, jaksa, dan polisi yang baik (yang jauh dari korupsi) akan menegakkan keadilan walau dengan hukum/undang-undang yang buruk sekalipun.

Tetapi Indonesia nyatanya masih jauh dari kondisi itu, sehingga kekhawatiran publik menjadi amat beralasan.

In Dubio Pro Democratia

Kategorisasi pasal-pasal penghinaan terhadap penguasa ke dalam delik aduan dan/atau delik materiil sama sekali tidak menjawab kekhawatiran publik. Sama tidak menjawabnya dengan itu adalah intensi pembentuk undang-undang, bahwa pasal-pasal penghinaan terhadap penguasa tidak dimaksudkan untuk mengkriminalisasi kritik. Seperti diketahui, selalu terdapat ruang interpretasi atas sebuah norma, dan interpretasi penguasa saat ini bukan jaminan interpretasi penguasa di kemudian hari. Menyadari hal ini, pembentuk undang-undang semestinya mengambil sikap berhati-hati dengan mengedepankan prinsip in dubio pro democratia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Istilah in dubio pro democratia berangkat dari asas in dubio pro reo dalam ilmu hukum pidana, yang dalam terjemahan bebas berarti bahwa dalam keadaan tidak pasti (ragu-ragu), diputus yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Asas in dubio pro reo menunjukkan betapa pidana harus dijatuhkan dengan amat berhati-hati, sejalan dengan pikiran bahwa sanksi pidana merupakan ultimum remedium (obat terakhir).

Dalam interpretasi yang ekstrem, asas in dubio pro reo juga sering dinyatakan dalam ungkapan "lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah, daripada harus menghukum 1 orang tidak bersalah." Dengan logika yang sama, menjadi janggal ketika ancaman pidana justru dengan mudahnya dilekatkan pada kualifikasi perbuatan yang ambigu, seperti rumusan pasal penghinaan penguasa dalam RKUHP.

Ambiguitas pasal-pasal tersebut berisiko membuka ruang kriminalisasi atas perwujudan sikap kritis yang sebenarnya penting bagi kelangsungan demokrasi. Karena itu, keberadaan pasal-pasal penghinaan terhadap penguasa di RKUHP merupakan mudarat yang seharusnya ditiadakan. Ini dapat disebut sebagai perwujudan prinsip in dubio pro democratia; dengan suasana atau akibat yang tidak pasti, keberpihakan seharusnya diberikan pada agenda perlindungan demokrasi.

Filosofi Pengayoman

Dari kacamata kondisi objektif, delik penghinaan terhadap penguasa jelas menciptakan kerentanan dalam agenda demokratisasi Indonesia. Sementara itu dari kacamata ideal, delik penghinaan terhadap penguasa --yang kali pertama diperkenalkan pada bangsa Indonesia sebagai pelindung martabat ratu-- pada dasarnya juga tidaklah relevan. Bukan saja karena Indonesia telah menjadi republik menggantikan Hindia Belanda yang monarki, melainkan juga karena filosofi hukum Indonesia telah berubah sepenuhnya. Filosofi hukum Indonesia, sebagaimana diperjuangkan puluhan tahun lalu oleh Dr. Sahardjo, adalah pengayoman.

ADVERTISEMENT

Pengayoman menurut Sahardjo adalah kebalikan dari penghukuman, yang berarti bahwa hukum harus mampu memberikan perlindungan dan kesejukan. Pengayoman juga harus menjadi ukuran atau batu uji setiap peraturan perundang-undangan, bahkan setiap hukum yang berlaku di Indonesia (Ktut Sudiri Panyarikan, 1983).

Sejujurnya, RKUHP dengan pasal-pasal penghinaan terhadap penguasa yang dimuatnya bukanlah pertama kali dan satu-satunya agenda legislasi yang telah "bergeser" --untuk tidak menyebutnya menyimpang-- dari filosofi pengayoman. Rentetan undang-undang, mulai dari revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, UU IKN, dan revisi UU P3 misalnya, juga dapat dianggap mewakili tren yang sama. Alih-alih berangkat dari filosofi pengayoman, semuanya lebih mendekati apa yang disebut autocratic legalism; legislasi digunakan untuk kepentingan agenda yang tidak liberal (Kim Lane Scheppele, 2018).

Tak heran, dalam beberapa tahun terakhir hampir setiap agenda legislasi di Indonesia selalu diikuti demonstrasi berjilid-jilid, yang kadang kala juga memakan korban.

Kesimpulan

RKUHP sebagai pergumulan pikiran yang telah berlangsung selama puluhan tahun hendaknya menjadi sebuah produk hukum yang sempurna, yang sejalan dengan cita Indonesia sebagai sebuah negara hukum yang demokratis dan berkedaulatan rakyat. Jejak atau nuansa otoritarianisme tidak boleh ada dalam RKUHP, sehingga pasal-pasal penghinaan terhadap penguasa --dan pasal-pasal lainnya yang membawa mudarat bagi demokrasi-- harus ditiadakan.

Dalam demokrasi, penting untuk selalu diingat bahwa penguasa sejatinya adalah pemegang mandat publik. Privilese diberikan pada penguasa jelas bukan untuk menyerang balik sang pemberi mandat, melainkan untuk memastikan bahwa setiap kepentingan publik dapat terejawantah dalam suatu kebijakan. Tentu pribadi-pribadi di balik berbagai fungsi publik itu memiliki martabat sebagaimana kita pada umumnya. Tetapi melindunginya dengan delik khusus merupakan bias yang justru mendiskriminasi khalayak lebih luas, yaitu pihak di luar kekuasaan.

Sahel Muzzammil peneliti Transparency Internasional Indonesia

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads