Lebih kurang dua tahun lagi Pemilu 2024 akan dihelat. Salah satu gejala rutin menjelang pemilu adalah kehadiran partai politik (parpol) baru. Di tengah hegemoni partai status quo, partai-partai anyar itu mulai menunjukkan taringnya agar dianggap pilihan alternatif.
Ada beberapa parpol anyar yang tengah sibuk mempersiapkan diri jelang hajatan demokrasi lima tahunan. Di antaranya Partai Gelora Indonesia, Partai Masyumi, Partai Ummat, Partai Rakyat Adil Makmur, Partai Kebangkitan Nusantara, Partai Buruh, dan Partai Pelita.
Namun, palagan elektoral yang kian kompetitif merupakan tantangan berat bagi partai anyar. Sebelum bertanding di arena, persyaratan untuk jadi pemain sangatlah ketat. Partai baru (termasuk parpol non-parlemen) wajib melewati dua tahapan untuk menjadi kontestan Pemilu 2024, yaitu verifikasi administrasi dan verifikasi faktual di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Liku-Liku Persyaratan
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, ada beberapa poin persyaratan yang wajib dipenuhi. Pada poin mengenai parpol harus menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat; mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar parpol; menyertakan nomor rekening dana kampanye pemilu atas nama parpol --ini bisa dikatakan sulit, tapi berstadium ringan.
Situasi akan berbeda bila parpol diharuskan mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada semua tingkatan sampai tahapan terakhir pemilu. Bagi parpol baru yang kaya, perkara kantor bukan persoalan krusial. Lain halnya dengan partai yang terbatas secara finansial, bahkan ada partai anyar menyulap rumah jadi kantor partai, khususnya di daerah-daerah.
Persyaratan lain pun tak kalah sulitnya, berstadium berat. Yaitu parpol harus memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; memiliki kepengurusan di 75 persen kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; memiliki kepengurusan di 50 persen kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan; memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1000 dari jumlah penduduk di kabupaten/kota yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota.
Semua infrastruktur partai, mulai dari pusat sampai kecamatan, tentu membutuhkan dana yang besar, jaringan yang luas, dan anggota yang menyebar di semua tingkatan. Jika parpol baru telah memenuhi persyaratan sebagai kontestan, maka jalan terjal berikutnya berkaitan dengan kans untuk menaklukkan ambang batas parlemen (PT) 4 persen.
Kalau kita mencermati hasil Pemilu 2019, semua parpol baru gagal memperoleh kursi DPR RI, seperti Partai Perindo, Partai Berkarya, PSI, dan Partai Garuda. Bahkan parpol lawas seperti Partai Hanura tersingkir dari Senayan. Pahit getir pun dirasakan PBB sejak Pemilu 2009 hingga 2019. Nasib senada dialami PKPI.
Mungkin saja kemunculan parpol baru dianggap sebelah mata, tapi peluangnya tak bisa diabaikan. Beberapa contoh yang relevan terkait kesuksesan parpol baru pada pemilu-pemilu sebelumnya layak direnungkan. Pemilu pertama pasca-Orde Baru 1999, terdapat tiga parpol baru yang mencolok, yakni PDIP (33,74 persen), PKB (12,61 persen), dan PAN (7,12 persen).
Partai Demokrat tercatat sukses mendulang 7,4 persen suara pada Pemilu 2004. Partai Gerindra berhasil mendapatkan 4,5 persen suara pada Pemilu 2009. Partai Nasdem meraih 6,7 persen suara pada Pemilu 2014. Keberhasilan Partai Hanura pada Pemilu 2009 juga patut dicatat, kendati gagal mempertahankan kursi Senayan pada Pemilu 2019.
Rumus 9M
Ikhtiar parpol anyar menyongsong kontestasi elektoral 2024, kalau mengikuti Richard L Daft (2003), Philip Kotler, dan Kevin Lane Keller (2006), setidaknya ada enam modal utama yang bisa diringkas dengan rumus enam M, yakni Man, Machine, Money, Method, Materials, Market. Rumus itu merupakan ilmu manajemen yang diadaptasikan dan diterjemahkan secara kontekstual di ranah praksis politik. Formula itu tersambung dengan postulat Pierre Bourdieu (1986), terkait modal ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik.
Gabungan berbagai modal (capital) itu mesti saling berkait-kelindan. Kepincangan salah satu modal akan mempengaruhi bangunan sebuah institusi partai. Pada dasarnya modal itu dapat diperluas dan dimodifikasi lebih banyak lagi, tergantung kondisi objektif organisasi, kebutuhan, dan tren konsumen politik.
Dalam sejarah kemenangan sejumlah parpol baru, tergambar variabel kehebatan tokoh ikon partainya. Sebut saja great man. Itulah penjelasan tentang Partai Demokrat yang melejit kala itu, lantaran daya pengaruh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ihwal serupa juga terjadi pada Gerindra yang identik dengan Prabowo Subianto, termasuk Hanura yang bertumpu pada Wiranto.
Meskipun demikian, tak sedikit purnawirawan jenderal yang jadi ketua umum parpol, tapi partainya masih gurem, bahkan lenyap. Sebut saja PKPI, ketuanya mulai dari Edy Sudrajat, Sutiyoso, AM Hendropriyono, hingga Yussuf Solichien saat ini. Ada juga PKPB besutan R Hartono. Artinya, di level modal yang lain mengalami defisit.
Perihal Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDI-P), Gus Dur (pendiri PKB), dan Amien Rais (pendiri PAN), bisa dikatakan kombinasi antara modal sosial, kultural, dan simbolik. Walhasil, partai yang dibidani oleh tokoh deklarasi Ciganjur itu meraih simpati publik. Kekuatannya terletak pada karisma personal, mesin (machine) organisasi kemasyarakatan dan basis massa (mass) tradisional yang dikonversi menjadi modal sosial-politik.
Megawati yang dijuluki strong woman mendapat dukungan dari konstituen nasionalis, terlebih bersimbol trah Sukarno. Adapun PKB kala itu punya figur great man Gus Dur, beserta mitra strategis gerakan, ormas Nahdlatul Ulama (NU). Sementara PAN ditopang oleh ormas Muhammadiyah dengan citra Amien Rais sebagai tokoh reformis terkemuka waktu itu.
Dalam konteks modal ekonomi atau uang (money), biasanya diasosiasikan dengan parpol yang dibidani para pengusaha. Prabowo juga termasuk dalam tipologi partai ini, lalu Surya Paloh (ketua umum Partai Nasdem), dengan modal plus 1M lagi: media. Kondisi kasuistik justru berbeda dengan Hary Tanoesoedibjo, pengusaha media, tapi Partai Perindo besutannya belum lolos PT di Pemilu 2019.
Meskipun logistiknya besar, tapi posisi partainya masih marginal terjadi juga pada Partai Berkarya asuhan Tommy Soeharto, dan Oesman Sapta Odang (Ketua Umum Hanura). Artinya, modal-modal yang lain perlu dipadatkan lagi. Uang yang besar untuk mengelola parpol sangat penting, tapi di titik tertentu, rupanya tidak menjamin terdongkraknya suara partai.
Di level praktis-operasional, parpol baru yang kompetitif lazimnya mampu menampilkan diferensiasi platform, kebijakan, dan branding (partai) untuk memikat massa. Kuncinya terpantul pada pembauran metode (method), bahan baku (materials), pasar (market). Di sini menyangkut strategi-taktik, mengolah bahan baku berupa ide dan program, kemudian pemasaran politik.
Kalau semua modal itu melekat erat di tubuh parpol teranyar, maka bukan mustahil lubang jarum PT 4 persen bisa ditaklukkan. Sungguh berat, tapi patut dicoba. Ceruk elektoral yang dapat dirangkul juga adalah generasi milenial, sebagai pemilih dominan pada Pemilu 2024 nanti. Kalau dirangkum, modal itu jadi 9: Man, Machine, Money, Method, Materials, Market, Media, Mass, Millennial.
Mawardin Sidik Direktur Eksekutif Semar Political Institute (SPIN)
Simak Video 'Partai Kebangkitan Nusantara Bakal Merapat ke KPU Siang Ini':