Hati-Hati Menyikapi Inflasi

ADVERTISEMENT

Kolom

Hati-Hati Menyikapi Inflasi

Ronny P Sasmita - detikNews
Senin, 01 Agu 2022 08:41 WIB
Jakarta -

Pada 1979, dua tahun setelah menjabat sebagai presiden, Jimmy Carter masih mendapati situasi ekonomi Amerika dalam keadaan pahit. Inflasi masih menggila, bahkan sebagian ekonom Amerika menyebut era itu dengan sebutan "Great Inflation," karena untuk barang-barang tertentu kenaikannya sangat tinggi, jauh di atas core inflation yang tercatat sampai 20-an persen.

Memang, situasi ekonomi dunia ketika itu sedang memanas, terutama setelah aksi sepihak Amerika (Richard Nixon) melepaskan kaitan (convertability) dollar terhadap emas pada 1971, lalu pat gulipat harga minyak oleh OPEC sebagai reaksi atas perang Yon Kippur pada 1973, invasi Soviet atas Angola (bersama dengan pasukan Cuba), berlanjut ke krisis Iran setelah revolusi mullah, dan seterusnya.

Atas perkembangan itu, Jimmy Carter memutuskan mengganti Gubernur The Fed, William Milner, dengan Paul Volker, yang sebelumnya sempat menjadi Gubernur The Fed New York. Dalam beberapa minggu setelah mengambil alih kepemimpinan The Fed, Volcker berkesimpulan bahwa aksi moneter tegas (bold monetary policy) sangat diperlukan. Untuk itu, Federal Reserve memutuskan menaikkan suku bunga jangka pendek dari sekitar 10 persen menjadi 15 persen, lalu naik lagi ke level 19 persenan, menyesuaikan dengan tingkat inflasi kala itu (Taylor's Law). Suku bunga acuan jangka pendek itu bertahan sampai tahun 1982.

Walhasil, inflasi akhirnya bisa ditekan menjadi 4 persen, dengan pengorbanan yang cukup menyakitkan. Output manufaktur dan pendapatan masyarakat tertekan rata-rata sebesar 10 persen, pengangguran naik hingga hampir 11 persen. Namun demikian, angka inflasi 4 persen bertahan sampai 20 tahun kemudian, sampai memasuki era yang disebut para ekonom Amerika dengan era Great Moderation, sebelum dihantam krisis finansial pada 2008 dan Great Recession pada 2009.

Ada trade off yang harus dialami ketika memilih menghadapi stagflasi dengan pendekatan moneter. Stagflasi adalah anomali Keynesian, yang kemudian menenggelamkan Keynesianisme pada tahun 1980-an di Amerika. Menurut Keynes, niscaya inflasi terjadi berbarengan dengan pengangguran yang tinggi karena inflasi adalah gambaran dari membaiknya aggregate demand dan melebarnya lapangan pekerjaan.

Sementara menurut kubu moneterist yang direpresentasikan oleh Milton Friedman, inflasi adalah soal "kelebihan uang beredar. " Formula tersebut tersederhanakan oleh ungkapan terkenal Milton Friedman kala itu, inflation is always and everywhere a monetary phenomenon. Sehingga cara menghadapinya adalah dengan mengurangi jumlah uang beredar alias menaikkan suku bunga. Dan itulah yang dilakukan oleh Paul Volker ketika itu

Langkah Volker tersebut akhirnya menjadi pintu masuk bagi proses finansialisasi ekonomi Amerika pada dekade-dekade selanjutnya. Suku bunga yang tinggi membuat produk jasa keuangan berkembang pesat, dana berbondong-bondong masuk ke sistem keuangan Amerika, melahirkan berbagai jenis produk investasi, terutama produk keuangan derivative.

Amerika ketiban miliaran dollar dari Jepang yang mengantongi surplus dagang besar sejak tahun 1970-an untuk menjaga yen tetap lemah. Lalu di awal tahun 1990-an, semakin besar dana mengalir, terutama dana-dana pelarian dari reruntuhan Uni Soviet. Dan di sejak tahun 2000-an, dana dari China melengkapinya untuk menjaga yuan tetap undervalued.

Kelebihan likuiditas tersebut, sering disebut dengan istilah Glut Fund, kemudian meledak di krisis Long Term Capital Management (LTCM) di akhir tahun 1990-an, lalu meledak lagi di krisis dot com awal tahun 2000-an. Karena sektor riil bergerak tidak secepat pergerakan modal, dana-dana akhirnya mengalir ke model bisnis baru yang berbasiskan transaksi online.

Perkembangan itu kemudian disikapi oleh Gubernur The Fed yang baru ketika itu, Alan Greenspan, dengan semakin melandaikan suku bunga The Fed, yang memicu dana semakin banyak mengalir ke aset-aset keuangan berbasiskan kredit sektor perumahan berisiko tinggi (supreme mortgage) seperti Mortgage Backed Securities (MBS) , Collateralized Dept Obligation (CDO), dan Credit Dept Swap (CDS). Setelah pecah gelembung LTCM, lalu gelembung dotcom, kemudian pada 2008 gelembung aset sampah berbasis kredit perumahan berisiko tinggi itu pun ikut pecah.

Bukan hanya Amerika yang dibuat sakit perut, dunia pun terbawa mual-mual. Para moneterist menyalahkan Alan Greenspan yang menurunkan suku bunga sangat rendah. Alan dituduh terlalu berpihak kepada inovasi produk-produk keuangan, mulai dari yang berbasiskan teknologi sampai pada produk keuangan dengan leverage berlapis (derivative), yang menyebabkan gelembung berbahaya. Namun menurut para New Keynesian, kebijakan suku bunga rendah Alan Greenspan sangat bisa dipahami mengingat aggregate demand yang rendah sehingga the Fed terus melonggarkan kredit agar sektor riil mendapat kelimpahan dana.

Dan kini, Amerika kembali pada era 1970-an akhir dan 1980-an awal. Perekonomian Amerika, setelah dibuat lunglai oleh pandemi, kini diterpa inflasi tinggi dan pengangguran yang juga tinggi (stagflasi) . The Fed terlihat bimbang. Berbulan-bulan sejak pertengahan tahun lalu The Fed mengulur-ngulur waktu kenaikan suku bunga dan penghentian kebijakan Quantitative Easing. Pasalnya, kondisi overheated kali ini bukan karena peningkatan aggregate demand, tapi karena kenaikan harga komoditas dunia dan kelangkaan supply akibat perang dagang dan perang Ukraina di satu sisi serta terlalu banyak uang yang beredar di sisi lain akibat kebijakan QE di masa lalu dan menggelembungnya utang pemerintahan Paman Sam pascapandemi.

The Fed sangat tidak mungkin mengambil langkah agresif dengan menaikkan nominal suku bunga yang tinggi, karena akan menekan kesempatan kerja di satu sisi dan memperburuk performa ekonomi global di sisi lain, yang akan merugikan ekspor dan investasi luar negeri perusahaan-perusahaan Amerika. Namun membiarkan ekonomi overheated akan merusak fondasi ekonomi dan industri negeri Paman Sam. Daya beli kelas menengah dan kelas bawah akan hancur di satu sisi dan daya saing industri dalam negeri akan berantakan dihantam produk-produk impor di sisi lain.

Kehati-hatian tersebut sangat bisa dipahami mengingat dual mandate yang diemban oleh The Fed, yakni pengendalian inflasi dan peningkatan lapangan pekerjaan. Agak berbeda dengan Bank Indonesia yang sejak beberapa tahun belakangan lebih fokus pada pendekatan Inflation Targeting Framework. Namun demikian, berkaca pada pengalaman Amerika di era Great Inflation dan kehati-hatian The Fed hari ini, sangat wajar jika BI juga berhati-hati dalam mereaksi tingkat inflasi di satu sisi dan menyikapi kebijakan The Fed baru-baru ini di sisi lain.

Inflasi Indonesia secara komparatif tidaklah tinggi, namun angka pengangguran masih mengkhawatirkan. Menaikkan suku bunga hanya karena mereaksi The Fed rasanya menjadi kebijakan yang kurang fair untuk ekonomi nasional, terutama jika dikaitkan misi pelebaran tenaga kerja dan penjagaan pertumbuhan ekonomi nasional yang dengan segala sedang diupayakan pemerintah.

Selain kasus Amerika di tahun 1970 - 80-an, pengalaman China setelah Peristiwa Tiananmen Square layak dijadikan pelajaran. Inflasi China kala itu sampai 28 persen akibat peningkatan tajam aggregate demand yang dipicu oleh kebijakan pintu terbuka Deng Xiaping. Secara politik, setelah peristiwa Tiananmen, pemerintahan Jiang menerapkan martial law. Dan secara ekonomi, pemerintah mencekik likuiditas.

Walhasil, pertumbuhan ekonomi China "nyungsep" dari 11, 2 persen pada 1988 menjadi 4,2 persen pada 1989, lalu turun lagi menjadi 3,9 pada 1990. Pertumbuhan ekonomi China baru kembali ke jalur awal setelah kembali kepada kebijakan liberalisasi ekonomi pasca southern tour Deng Xiaping pada 1992. Tahun itu, ekonomi China kembali tumbuh dua digit, 14,2 persen, pada 1993 tumbuh 13,9 persen, pada 1994 tumbuh 13 persen, dan pada 1995 tumbuh 11 persen.

Ronny P Sasmita analis senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT