Meningkatkan Kompetensi Calon ABK

Kolom

Meningkatkan Kompetensi Calon ABK

Uli Zahro Irsyadiah, Annisa Zulfalia Az Zahra, Nurul Hasfi - detikNews
Jumat, 29 Jul 2022 13:00 WIB
Tamrin Nurrohman (36), ABK kapal asing Taiwan (Foto: dok pribadi)
Jakarta -
Setelah 7 bulan menganggur tidak bekerja, Tamrin Nurrohman (36) akhirnya mendapat kesempatan untuk berlayar di kapal lokal. Sebelum bekerja di kapal lokal, ia bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) dari beberapa kapal asing yang berasal dari Taiwan. Alasan Tamrin memutuskan untuk tidak melanjutkan mengadu nasib di kapal asing, yaitu karena perlakuan tidak adil dan tidak layak yang kerap ia terima dari kapten, perusahaan kapal asing, dan juga manning agency.

Mimpi buruknya bahkan sudah dimulai sejak pertama kali ia naik ke atas kapal. Semua berawal dari kurangnya pengetahuan yang ia miliki terkait bahasa asing.

"Sebelum berangkat di kapal, saya benar-benar tidak bisa berbahasa China. Karena memang untuk calon ABK yang akan berlayar, tidak ada ketentuan harus menguasai bahasa asing dari negara kapal yang akan dituju. Setelah di kapal saya baru mempelajari bahasa asing dari senior saya di atas kapal, itu pun masih sering terjadi kesalahan penafsiran ketika diperintah oleh kapten," ujar Tamrin.

Tamrin juga mengatakan bahwa pelatihan sertifikasi ABK hanya berlangsung 3 – 7 hari. Durasi ini merupakan standar yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dalam melakukan pelatihan sertifikasi. Akibat dari durasi pelatihan yang singkat dan tidak adanya standar kompetensi bahasa asing yang harus dikuasai, Tamrin sering mendapatkan teguran amarah dari sang kapten, bahkan beberapa kali ia pernah mendapat pukulan fisik karena kurang paham akan perintah yang diberikan.

Ia berujar hal ini seringkali terjadi disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena pengetahuannya terkait cara kerja kapal yang masih kurang. Kedua, karena seringkali terjadinya salah tafsir bahasa antara Tamrin dan sang kapten.

Kisah serupa juga dialami oleh Zulham Afandi (23). Pada 2019, Zulham muda ingin mencari pengalaman merantau dari Medan ke Pemalang. Ia ingin mencoba peruntungan untuk bekerja ke luar negeri, dan akhirnya memutuskan untuk berangkat menjadi ABK. Zulham sama sekali belum memiliki pengalaman di atas kapal; satu-satunya bekal yang ia miliki hanya dasar-dasar perkapalan yang didapatkan dari pelatihan selama satu minggu.

Sayangnya realita tidak selalu seindah ekspektasi; siapa sangka berlayar di atas kapal akan menjadi mimpi buruk yang tidak akan pernah ia lupakan. Zulham yang tidak mengerti apapun langsung diminta untuk bekerja dengan bahasa yang belum ia kuasai. Zulham mencoba untuk beradaptasi dengan belajar bahasa bersama seniornya yang sudah bekerja lebih dahulu, namun jika berbuat kesalahan, maka Zulham akan langsung mendapatkan teguran dari sang mandor.

Tak hanya Zulham, ABK lain yang sama-sama berada dalam kebingungan harus menerima amarah dari sang mandor karena tidak dapat memahami perintah yang diberikan dengan baik.

"Ya gimana bisa mengerti, bahasanya saja kami tidak tahu," ungkap Zulham ketika diminta menceritakan kembali kisahnya.

Zulham bahkan pernah melihat temannya dipukul karena lambat dalam menerima perintah dari sang mandor. Terkadang perkelahian juga tidak dapat terhindarkan jika ada ABK asing yang berasal dari China merasa kesal dengan ABK Indonesia yang sulit mengerti bahasa mereka. Perasaan kebingungan, tertekan, dan suasana yang tidak kondusif nyatanya membuat Zulham dan beberapa ABK lainnya merasa depresi.

Seringkali muncul kerinduan akan rumah, perasaan tertekan, dan ingin pulang terus menerus menerpa Zulham. Sudah dua kali Zulham menyampaikan isi hatinya pada sang kapten, namun ia harus menelan keinginan itu dalam-dalam. Seakan terpenjara, Zulham dan ABK lainnya mencoba mengesampingkan semua perasaan yang mereka miliki; mereka tidak memiliki pilihan selain bertahan.

"Kalau diingat lagi sih, inginnya dulu waktu pelatihan juga diajari dan diberi pemahaman bagaimana kira-kira pekerjaan di atas kapal ya biar ada gambaran. Paling enggak diajarin cara memasang pancing sama tali-temali jadi setidaknya tahu dasarnya biar nggak terlalu sering dimarahi," ujar Zulham.

Peraturan yang Berlaku

Peraturan Presiden No 18 tahun 2019 yang berisi tentang pelatihan keselamatan tingkat dasar bagi seluruh awak kapal penangkap ikan menyatakan bahwa ABK yang ingin berlayar hanya memerlukan beberapa sertifikat dasar saja, seperti BST (Basic Safety Training ), dan buku pelaut. Padahal berdasarkan cerita dari beberapa ABK yang sudah diwawancara, dibutuhkan beberapa pelatihan lanjutan yang lebih spesifik.

Tidak hanya berupa pelatihan dasar keselamatan kerja, namun juga terkait bagaimana cara bekerja di atas kapal. Misalnya, berupa latihan tali-temali, cara memasang pancing, dan juga pelatihan kemampuan bahasa asing untuk bahasa pengantar sehari-hari. Hal yang sebetulnya esensial seperti ini justru tidak dilaksanakan pada masa pelatihan ABK dalam mendapatkan sertifikat untuk berlayar.

Pemerintah sebenarnya sudah menetapkan beberapa undang-undang dan peraturan terkait kewajiban pemerintah untuk menyediakan lembaga pelatihan yang sudah terakreditasi bagi para ABK. Seperti yang tercantum pada UU No 18 tahun 2017 pasal 34 A yang berbunyi: Peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan kerja melalui standardisasi kompetensi pelatihan kerja.

Sama halnya yang tercantum di UU yang sama pada Pasal 39 O yang berbunyi: Pemerintah wajib menyediakan dan memfasilitasi pelatihan calon pekerja migran Indonesia melalui pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan.

Sayangnya pada peraturan-peraturan di atas tidak ada ayat tambahan maupun butir lebih lanjut terkait standar kompetensi secara jelas yang harus dimiliki ABK baik itu berupa pengetahuan atau keterampilan. Peraturan legal yang memperbolehkan calon ABK untuk berlayar hanya sekadar sertifikat BST dan juga buku pelaut. Kompetensi lain seperti bahasa dan keterampilan (skill) bekerja, secara penuh baru dipelajari ABK ketika mereka sudah berada di atas kapal.

Salah satu manning agency, PT Lumbung Artha Segara yang sempat kami wawancarai membenarkan bahwa sertifikat yang harus dimiliki ABK hanyalah sertifikat BST. Andi Lala, selaku perwakilan dari PT Lumbung Artha Segara, menjelaskan bahwa terdapat dua jenis ABK yang dikirim yaitu ABK berpengalaman dan ABK tanpa berpengalaman sesuai permintaan dari agen perekrutan.

ABK yang berpengalaman harus memiliki pengalaman minimal dua tahun di atas kapal, sedangkan untuk ABK tanpa pengalaman harus mengantongi surat-surat yang didalamnya mencakup sertifikat BST dan buku pelaut. Andi menyebutkan bahwa ketika kapal meminta ABK tanpa pengalaman, maka kapal tersebut harus menanggung risiko dan memiliki kewajiban untuk mengajari para ABK tersebut sehingga kompetensi ABK akan bertambah seiring dengan pengalaman yang juga bertambah termasuk dalam hal dasar-dasar pekerjaan di atas kapal serta kompetensi bahasa untuk berkomunikasi.

Hal tersebut cukup kontradiktif dengan kenyataan di atas kapal bahwa ABK tanpa kompetensi justru seringkali mendapatkan amarah bahkan mendapat kekerasan terkait kurangnya pengetahuan. Padahal seharusnya sudah ada kesadaran dari kapten atau mandor terkait kurangnya pengetahuan dari ABK tersebut, mengingat terdapat dua klasifikasi ABK berdasarkan kemampuan yang dimiliki seperti yang sudah ditetapkan oleh manning agency.

Pemikiran yang sering terjadi tentang ABK harus belajar secara langsung di atas kapal nyatanya menjadi bumerang untuk ABK itu sendiri. Bahkan tak sedikit ABK yang merasakan trauma akibat perlakuan yang didapat dalam proses pembelajaran. Sudah sepatutnya ABK diberikan pengetahuan dan pembelajaran sejak berada di darat untuk mengetahui gambaran akan bagaimana sekiranya pekerjaan yang akan mereka lakukan.

Akibat Kurangnya Kompetensi

International Labour Organization (ILO) telah menerbitkan 11 indikator kerja paksa; poin satu dari indikator tersebut adalah 'penyalahgunaan kerentanan'. Arti kerentanan yang dimaksud yaitu ketidaktahuan atas bahasa, pekerjaan yang dilakukan, pengetahuan hukum, dan aturan yang berlaku atau bisa disimpulkan bahwa kerentanan timbul akibat kurangnya kompetensi dan pengetahuan.

ILO memaparkan bahwa ketidaktahuan ini akan dengan mudah dimanfaatkan oleh pihak dominan dan memunculkan adanya poin-poin berikutnya dalam indikator kerja paksa, seperti kekerasan fisik, intimidasi atau ancaman, jam kerja berlebih, bahkan hingga pemotongan upah.

ABK tanpa kompetensi yang dipaksa harus beradaptasi dan belajar langsung di atas kapal akan memiliki kerentanan tinggi sehingga sangat rawan mendapatkan kekerasan dan intimidasi seperti yang dialami oleh Tamrin dan Zulham. Hal-hal seperti memaksakan jam kerja yang berlebih dengan dalih belajar atau memarahi dengan dalih mengajari merupakan bentuk kerja paksa yang bisa terjadi di atas kapal.

Bagaimana ABK tanpa kompetensi seringkali merasa depresi ketika naik ke atas kapal menunjukkan ada yang salah dan semua merupakan akibat dari ketidaktahuan. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kurangnya kompetensi merupakan awal dari perampasan hak-hak ABK di atas kapal.

Pada 2020 Kementerian Luar Negeri mencatat sebanyak 1.451 pengaduan terkait kasus ABK yang berlayar di kapal perikanan asing, angka ini meningkat dari dua tahun terakhir, yaitu 1.095 kasus pada 2019 dan 1.079 kasus pada 2018. Angka-angka tersebut merupakan kasus yang diadukan dan tidak menutup kemungkinan bahwa masih banyak kasus-kasus lain yang tidak terungkap.

Salah satu upaya yang harus dilakukan untuk mengurangi angka tersebut adalah dengan berfokus pada kompetensi ABK itu sendiri. Pemberian bekal berupa pengetahuan dan keterampilan sebagai dasar kompetensi ABK tentu menjauhkan mereka dari kemungkinan adanya perampasan hak atau bahkan kekerasaan. ABK perlu untuk mengetahui apa saja yang menjadi hak mereka dan apa saja yang tidak seharusnya mereka dapatkan.

Kompetensi dan pengetahuan yang mumpuni dari ABK juga akan memudahkan kerja pemerintah dalam melacak adanya kapal-kapal yang tidak memenuhi standar atau kapten yang melakukan pelanggaran dan lain sebagainya. ABK yang kompeten dan berpengetahuan seperti ini akan memiliki kesadaran untuk melaporkan apa dialami jika menemui hal yang tidak semestinya terjadi.

ABK yang tidak rentan tentunya tidak mudah dimanfaatkan oleh pihak dominan karena mereka bisa melawan sehingga kapten atau mandor tidak bisa memperlakukan mereka dengan semena-mena. Ketika berada di kapal, pemerintah tidak bisa mengawasi ABK selama 24 jam. Belum lagi ABK memiliki ruang gerak yang terbatas karena berada di tengah laut dan tidak terdapat sinyal komunikasi.

Apalagi jika mereka tidak memiliki pengetahuan untuk melapor ke pihak mana, maka ABK tidak bisa mendapatkan perlindungan. Namun, akan berbeda jika ABK memiliki pengetahuan dan kompetensi yang mumpuni maka ABK tidak akan merasa takut dan sudah tahu harus meminta bantuan kemana jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Sudah sepatutnya pemerintah untuk memberikan fasilitas pada ABK untuk memperdalam kompetensi dan pengetahuan, serta sudah semestinya pemerintah wajib melakukan pengecekan terkait kompetensi yang dimiliki ABK sebelum secara resmi memberangkatkan mereka untuk berlayar.

Mengkaji Ulang Standar Kompetensi

Kasus yang dialami oleh Tamrin dan Zulham timbul akibat kurangnya bekal kompetensi yang mereka miliki sebelum berangkat berlayar di kapal asing. Hal ini terjadi karena standar yang ditetapkan pemerintah dalam mengatur keberangkatan ABK di kapal asing masih terkesan hanya formalitas belaka. Begitu pula kelengkapan dokumen yang harus dilampirkan seperti sertifikat berlayar, masih terkesan bisa didapatkan secara cuma-cuma tanpa perlu kompetensi yang memadai.

Untuk meminimalkan adanya kekerasan di atas kapal akibat kurangnya kompetensi, sudah sepatutnya pemerintah untuk mengkaji kembali peraturan yang mengatur tentang kompetensi yang harus dimiliki ABK. Beberapa peraturan yang ada lebih banyak mengatur kompetensi terkait posisi tinggi di atas kapal saja, padahal ABK juga perlu untuk memiliki kualifikasi kompetensi-kompetensi tertentu supaya dapat diperlakukan dengan layak.

Peningkatan kualitas ABK melalui pelatihan keterampilan yang berkualitas merupakan salah satu strategi perlindungan dan pencegahan kekerasan yang terjadi pada sektor perikanan Indonesia di luar negeri. Ke depannya, ABK sektor perikanan wajib melalui uji kompetensi yang sama dan memadai dengan kondisi kerja yang akan dilakukan di negara tujuan. Dengan demikian, potensi terjadinya kekerasan akibat kurangnya pengetahuan dapat diminimalisasi, karena tidak ada lagi proses pelatihan dan standar kelengkapan dokumen yang terkesan hanya formalitas belaka.

Standar kompetensi yang harus dimiliki ABK sebelum berlayar di atas kapal perlu untuk dinaikkan lagi. Pelatihan yang dilakukan juga harus lebih spesifik untuk memberi gambaran jelas bagaimana pekerjaan di atas kapal. Sudah sewajarnya bagi ABK perikanan untuk tahu lebih detail bagaimana cara menangkap ikan, memasang kail, cara tali-temali, cara berbicara bahasa asing di negara kapal tujuan, dan sebagainya --bukan tentang dasar-dasar keselamatan saja.

Selain standar kompetensi dalam pelatihan yang harus dinaikkan, durasi selama pelatihan untuk mendapat sertifikat juga harus ditambah. Standar yang berlaku dalam masa pelatihan hanya berlangsung selama 3 - 7 hari saja; durasi tersebut terasa sangat kurang mengingat pelatihan ini merupakan bekal utama dari ABK sebelum mereka melakukan pelayaran dalam jangka waktu yang lama.

Pemerintah diharapkan untuk melakukan pengkajian serius mengenai isu ini karena peraturan terkait kompetensi ABK yang sudah berlaku masih sangat dangkal. Kurangnya kompetensi bisa menjadi awal dari kasus-kasus lain terkait perampasan hak yang seharusnya dimiliki ABK selama di atas kapal. Dua kasus di atas hanyalah sedikit dari ribuan atau bahkan puluhan ribu kasus serupa baik yang sudah terungkap maupun yang belum terungkap.

Kesejahteraan buruh migran terutama ABK sudah sepatutnya menjadi tanggung jawab pemerintah, sehingga tuntutan untuk memberikan fasilitas guna menaikkan standar kompetensi ABK merupakan hal yang sangat wajar karena masalah kompetensi ABK bukanlah hal sepele.

Annisa Zulfalia Az Zahra, Uli Zahro Irsyadiah mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Undip dan Dr. Nurul Hasfi dosen Ilmu Komunikasi FISIP Undip; tulisan ini hasil kunjungan lapangan yang difasilitasi oleh program ILO, 8.7 Accelerator Lab

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads