Baru-baru ini publik ramai membahas tentang salah satu lembaga yang bergerak di bidang penghimpunan dan penyaluran dana sosial keagamaan, ACT (Aksi Cepat Tanggap). Isu paling hangat yang dibicarakan masyarakat adalah kompensasi yang diterima para petinggi ACT sangat fantastis, berbeda jauh dengan lembaga sejenis seperti Rumah Zakat dan Dompet Dhuafa. Selain itu, biaya operasional ACT dengan jumlah 13,7% dari penerimaan dianggap melebihi beberapa ketentuan.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1980 menyatakan bahwa maksimal potongan dari donasi sosial sebesar 10%, dan jika merujuk pada fatwa MUI untuk lembaga zakat, bagian amil/pengelola maksimal 12,5%. Kendati demikian, opini audit laporan keuangan ACT pada 2019 dan 2020 dinyatakan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Menanggapi hal tersebut, tulisan ini akan difokuskan pada bagaimana pengelolaan dan pengawasan yang sebaiknya dilakukan pada lembaga filantropi Islam.
Good Governance
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terdapat lima komponen good governance (pengelolaan yang baik) yang dapat diterapkan oleh organisasi publik, yaitu transparan, akuntabel, pertanggungjawaban, kemandirian, dan kewajaran.
Transparan dapat diimplementasikan dalam segala hal, seperti proses pengambilan keputusan dan menyampaikan informasi yang memadai untuk kepentingan publik.
Organisasi dengan akuntabilitas yang baik adalah ketika memiliki kejelasan fungsi dan struktur organisasi. Hak dan kewajiban di setiap jabatan dalam organisasi telah diatur dengan jelas, sehingga mudah untuk menentukan berapa penghasilan yang layak diterima sesuai dengan tuntutan pekerjaan yang harus dilaksanakan.
Komponen ketiga yaitu pertanggungjawaban, bisa dilihat dari kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. Jika ACT berbadan hukum yayasan, maka salah satu bentuk pertanggungjawabannya adalah menyusun laporan keuangan berdasarkan Standar Akuntansi (PSAK 45 tentang Organisasi Nirlaba). Juga diaudit oleh Kantor Akuntan Publik sesuai amanah UU Nomor 28 tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 16 tahun 2001 tentang Yayasan.
Berikutnya adalah mengenai kemandirian atau independency. Yaitu bebas dari tekanan atau intervensi pihak-pihak tertentu yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam menetapkan keputusan, berapa biaya operasional, berapa gaji yang diterima manajemen, sebaiknya tidak terpengaruh oleh kepentingan segelintir orang.
Tata kelola yang baik ditandai juga oleh adanya prinsip kewajaran (fairness). Kewajaran seolah menjadi subjektif tergantung siapa penilainya. Penghasilan Rp 250 juta per bulan dengan berbagai fasilitas di atas standar bisa dianggap wajar jika sebanding dengan kinerja yang dicapai, misalnya dengan keberhasilan menghimpun dana besar dan menjangkau global. Namun di sisi lain, penghasilan sebesar itu bagi lembaga sosial bisa dianggap tidak wajar, mengingat tugas utamanya adalah mengurangi gap antara si kaya dan si miskin.
Pengawasan dan Pemeriksaan
Pemeriksaan atau audit bukan ditujukan untuk mencari kesalahan, melainkan sebagai sarana tabayyun atau konfirmasi atas informasi yang disajikan dan diungkapkan. Berdasarkan UU Nomor 28 tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 16 tahun 2001 tentang Yayasan, audit wajib dilakukan oleh organisasi nirlaba yang berbadan hukum yayasan.
Audit yang dimaksud adalah audit keuangan, yaitu menilai kewajaran untuk semua hal yang material atas laporan keuangan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku. Mendapatkan opini WTP berarti tidak terdapat salah saji yang material dalam penyajian dan pengungkapan laporan keuangan. Istilah "kewajaran", bukan "kebenaran", digunakan karena dalam proses audit menggunakan sampel dalam pengujian substantif atas transaksi.
Tidak semua transaksi diperiksa, hanya transaksi yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan secara signifikan dan pada akun-akun yang dianggap memiliki risiko kecurangan. Jika seluruh prosedur audit berdasarkan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) telah dilaksanakan dengan baik, maka proses audit telah benar. Dengan demikian, jika di kemudian hari terdapat kasus pelanggaran atau kecurangan yang dilakukan manajemen, tidak serta merta terdapat kesalahan dalam proses audit. Kondisi ini disebut juga dengan risiko audit.
Selain audit keuangan, untuk organisasi yang menjalankan transaksi berbasis syariah diperlukan audit syariah. Audit syariah bertujuan menilai kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah. Saat ini, fungsi audit syariah dilaksanakan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang telah ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI).
DSN-MUI telah menetapkan peraturan No. PER-01/DSN-MUI/X/2017 yang menyebutkan bahwa Lembaga Keuangan Syariah (LKS), Lembaga Bisnis Syariah (LBS), dan Lembaga Perekonomian Syariah (LPS) harus memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) minimal 3 orang, dan jika lingkup kelolaannya kecil, maka sedikitnya terdapat 2 orang DPS.
Konsep audit syariah atau penilaian kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah mulai dikembangkan tidak hanya pada tiga lembaga yang dimaksud, tetapi dapat diterapkan pada organisasi-organisasi lain (profit dan non-profit), yaitu ketika terdapat transaksi dengan akad syariah. Contohnya sukuk (obligasi syariah) yang bisa diterbitkan oleh perusahaan publik. Audit syariah tidak hanya melihat apakah produk telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, namun dalam prosedur yang dijalankan dan tata kelola juga perlu menjadi perhatian.
Fokus pada apa yang terjadi di ACT, perlu dilakukan audit syariah selain audit laporan keuangan yang telah dilakukan. Lingkup audit syariah termasuk hal-hal non keuangan, seperti tata kelola organisasi, sistem informasi, dan pengelolaan sumber daya manusia. Objek tata kelola organisasi sebagaimana telah disebutkan di awal tulisan ini. Sistem informasi yang diharapkan adalah yang dapat mengakomodasi pencatatan dan pelaporan transaksi serta dapat meminimalisasi potensi terjadinya kecurangan.
Sedangkan, dalam hal pengelolaan SDM, aspek pemberian gaji dan tunjangan berdasarkan penilaian kinerja yang objektif adalah hal penting yang juga harus diperiksa.
Yayu Putri Senjani dosen Akuntansi Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, penulis buku 'Audit Syariah'
Simak juga 'Kasus ACT: Ahyudin-Ibnu Khajar Jadi Tersangka, Terancam 20 Tahun Penjara':