Tidak dapat kita bantah fakta bahwa peradaban manusia saat ini adalah era di mana segala sesuatu perubahan didasari atas informasi dan data. Dalam menjalani kehidupan, masyarakat saat ini bisa mendapatkan jutaan informasi yang tidak terbatas.
Sisi yang lain memperlihatkan bahwa pandangan tentang data semakin bernilai ekonomis dan sangat berpengaruh dalam penentuan kebijakan publik masyarakat. Hal ini dapat kita lihat pada implementasi pemerintah dalam menangani Covid-19. Melalui Gugus Tugas Covid-19, sejak awal pandemi pemerintah terus mengumumkan data pasien positif, pasien dalam pengawasan, hingga pasien sembuh dan meninggal.
Data tersebut digunakan pemerintah untuk menentukan langkah kebijakan masyarakat terutama masalah perihal PSBB. Meskipun banyak yang meragukan akurasi data tersebut, tetapi pada esensinya sebuah data memiliki nilai strategis. Fakta bahwa saat ini data memiliki peran dan nilai yang sedemikian besar dan penting.
Data tidak terlepas dari teknologi yang tumbuh secara eksponensial dan lekat dengan dunia internet. Internet yang semakin berkembang maju sejalan dengan teknologi data membuat data semakin fundamental dalam dunia digital. Keberadaan media digital yang bercorak intensif sekaligus eksesif menjadi sebuah kendaraan praktis untuk mewujudkan agenda perubahan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa semakin maju teknologi data, semakin minimal peran manusia dilibatkan. Celakanya, data dan produk turunan data itu sekarang tiba-tiba menjadi faktor penentu segala urusan peradaban manusia, mulai dari ekonomi, politik, sosial, hingga perihal kemanusiaan. Hal ini dapat kita lihat dalam kasus Pertalite dan MyPertamina baru-baru ini.
Makin Dianggap Sempurna
Seiring dengan deterministiknya kebebasan manusia dalam mengatur peradabannya, manusia seringkali lalai dan terbuai akan tujuan hidupnya. Hakikatnya yang khas dari data adalah sifatnya yang kausal, sebab-akibat, sedangkan manusia bersifat final dan berorientasi pada tujuan.
Paradoksnya, teknologi data semakin dianggap sempurna manakala setiap problem yang muncul semakin berhasil dipecahkan. Padahal, dalam sisi kemanusiaan, peradaban yang maju justru ketika manusia bebas berjalan tanpa ada sesuatu yang merengkuh kehidupannya.
Seorang desainer informasi asal New York, Amerika Serikat Giorgia Lupi adalah salah satu yang mulai membuka mata dunia tentang kompleksitas manusia dan peradabannya di tengah gempuran teknologi. Lupi melalui visualisasi data membangun sebuah proyek untuk menemukan kemanusiaan di hadirat data yang diberi nama "humanisme data".
Lupi berhasil menciptakan karya seni visual yang diberi nama The Room of Change yang dikerjakan dengan sketsa pensil warna dimana setiap elemennya mewakili set data yang berbeda-beda. Hal tersebut dilakukan untuk bereksperimen bagaimana visualisasi data menjadi suatu bahasa yang mediatif untuk mengurai makna bagi para pembaca yang nantinya manusia dalam menggunakan data akan semakin lebih manusiawi.
Dengan demikian, pertanyaan "siapakah aku" tidak akan lagi semua berdasar pada Google dan Facebook; lebih jauh lagi manusia akan lebih tahu dan leih paham atas dirinya sendiri bukan berdasar pada Google. Karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang diberi akal dan kecerdasan dan segenap kekayaan kemanusiaan kita.
Humanisme
Berbicara tentang kemanusiaan, beberapa tahun belakangan ini sedang populer mengenai pembahasan humanisme di kalangan anak muda. Dalam kamus bahasa Indonesia kontemporer, humanisme adalah paham yang mempunyai tujuan menumbuhkan rasa perikemanusiaan dan bercita-cita untuk menciptakan pergaulan hidup manusia yang lebih baik. Menurut KBBI yaitu aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yg lebih baik.
Sebagaimana apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia saat ini, pemerintah berpandangan berdasar pada efek dan dampak yang ditimbulkan dari internet, menilai bahwa internet memunculkan problem baru yang celakanya lebih besar daripada persoalan yang dipecahkan oleh teknologi itu sendiri. Salah satu contoh yang bisa diambil adalah tsunami data yang berupa hasutan, ujaran kebencian, fitnah, dan hoax di platform media sosial yang dapat memantik konflik sosial dan perpecahan.
Untuk itu, upaya pendidikan dan sosialisasi pembelajaran mengenai data dan dunia digital terus diupayakan. Dalam teori sosiologi kontemporer, tumbuhnya kemajuan teknologi sejalan dengan tumbuhnya humanisme sekuler. Humanisme sekuler sederhananya adalah melihat manusia dan masyarakat atas dasar rasionalitas.
Humanisme sekuler meyakini bahwa manusia mampu menyelesaikan berbagai persoalan tanpa melibatkan agama. Misalnya sebagaimana yang dilakukan oleh pemikir-pemikir sosial abad ke-19 seperti Auguste Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim, Max Weber, Karl Marx, dan Sigmund Freud yang meyakini bahwa agama secara berangsur-angsur akan hilang dan bukan lagi menjadi sesuatu yang signifikan terutama bagi masyarakat industri (modern) -- yang diproyeksikan untuk berorientasi sekuler.
Tidak hanya berdampak pada humanisme sekuler saja, humanisme religius juga terpengaruh dengan adanya kemajuan data. Manifestasinya adalah adanya fenomena Islam virtual dan hashtag Islam yang menawarkan suatu perspektif baru dalam menjelaskan dinamika hubungan antara 'yang tradisional' (agama, khususnya Islam) dan 'yang modern' (internet). Maka tumbuhlah Cyber-Islamic Environment/CIE (lingkungan siber Islam) yang turut memberikan perubahan pada wajah Islam kontemporer, utamanya perihal penyampaian serta pemahaman pesan berbasis ajaran agama.
Benang merahnya, baik humanisme sekuler maupun humanisme religius keduanya belum mampu mengantarkan terbentuknya individu dan masyarakat ideal. Humanisme sekuler sekalipun didukung oleh kemajuan teknologi belum dapat menyelesaikan problematika individu dan masyarakat, terutama individu dan masyarakat modern Barat, misalnya terhadap krisis spiritual, krisis lingkungan, dan sebagainya.
Di lain pihak, humanisme religius selalu dipahami dalam makna yang sempit, yakni dalam wilayah teologis normatif yang mendasarkan pada wilayah ketuhanan. Pada wilayah etika, aspek ini kurang mendapatkan tempat dan sulit untuk memainkan perannya sebagai solusi atas berbagai problematika manusia.
Berhati-Hati
Lalu apa yang harus kita lakukan di tengah derasnya data dan bagaimana nasib kemanusiaan? Langkah termudah yang dapat kita lakukan adalah berhati-hati. Maksudnya adalah dalam bermedia maupun berinternet kita jangan sampai terjebak pada bualan teknologis dalam perkembangan teknologi data. Kemudian manusia harus bersikap kritis dengan meneliti dan menelisik apa saja yang terjadi dalam perlombaan lari teknologi.
Tujuan akhirnya tentu untuk mengembalikan substansi dan fitrah teknologi bagi kemanusiaan yang semakin manusiawi. Dibutuhkan pemikiran yang dipayungi nilai "ketuhanan" untuk melakukan pembebasan terhadap kemanusiaan. Dibutuhkan manusia theomorphis untuk membangun revolusi peradaban. Dibutuhkan saling mengkoreksi antara eksistensi dan esensi.
Hal ini menjadi sangat penting mengingat sampai detik ini tradisi saling mengafirkan, melakukan tindakan kejahatan, dan hilangnya rasa kemanusiaan masih sering terjadi. Sudah saatnya perkembangan data saat ini tidak hanya sebatas pada ranah teknologi terbaru apa yang akan diciptakan untuk menyelesaikan problematika masyarakat, tetapi juga digunakan untuk membangun kembali kejayaan peradaban kemanusiaan yang sadar untuk menjawab kebutuhan dan masalah yang ada tanpa ada hal yang mengambil martabatnya. Bagi saya, inilah manifestasi data paling keren yang sesungguhnya.
Simak juga 'KPU Resmi Buka Akses Input Data Pendaftaran-Verifikasi Parpol Pemilu':
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT