Beberapa contoh kasus learning loss adalah putus sekolah, pernikahan dini, terjadi anak SD kelas 4 yang kembali tidak dapat membaca. Mahasiswa yang akhirnya melakukan plagiasi karena alasan "belajar mandiri" sudah sangat membebani aktivitas mereka. Guru dan dosen gagap untuk berinovasi dalam metode pembelajaran jarak jauh. Walaupun teknologinya sudah tersedia Zoom, Google Meet, Google Classroom, learning management system (LMS) dan sistem informasi manajemen (SIM) pembelajaran yang dikelola mandiri oleh sekolah/kampus.
Secara keadaban pun terjadi perbedaan pakem bagaimana sepatutnya belajar daring. Walaupun remeh, pembukaan kamera dan mikrofon siswa justru menjadi hal penting dalam adab daring belajar mengajar. Dalih koneksi dan gawai tak mumpuni menjadi pembenaran siswa untuk tidak terlibat dalam diskusi pembelajaran bahkan alpa (hanya menyumbang nama dalam kotak PJJ). Pada akhirnya PJJ menjauhkan kesantunan dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) online.
Awal masuk sekolah dimulai Juli ini. Pemerintah walaupun dengan narasi berhati-hati telah "memperkenankan" belajar tatap muka. Bagaimana nasib LMS, SIM, dan aplikasi belajar online yang selama dua tahun ini telah mengalami difusi yang membanggakan? Data menyebutkan terjadi peningkatan jumlah user (pengguna) media digital. Tahun 2021 naik hingga 73% pengguna internet dari 247 juta populasi, sebelumnya 53%.
Pengguna aktif media sosial naik menjadi 61,8% pengguna. Sedangkan pengguna telepon genggam telah mencapai 345 juta (lebih dari 125% karena satu orang memiliki lebih dari satu nomor telepon genggam). Data ini diperoleh dari Communication & Information System Security Research Center 2019-2021.
Sebuah sekolah swasta di selatan Jakarta memberikan fasilitas gawai tablet untuk peserta didik baru (siswa Kelas 1 SD). Dalam percakapan grup Whatsapp riuh rendah orangtua siswa menentang pembelajaran menggunakan buku elektronik tablet (e-book). Mungkin hitung-hitungan cost-benefit dari pihak sekolah: dari pada anak didik membeli paket buku cetak yang nilainya mencapai satu juta rupiah, kenapa tidak diberikan buku elektronik dengan tablet yang selisih harganya kecil.
Membawa buku pelajaran cetak, buku tulis, kotak pensil, dan bekal makanan dari rumah tentu akan memberatkan siswa dalam berangkat dan pulang sekolah. Di luar dari alasan kepraktisan tersebut orangtua murid menolak keras ide tersebut. Dengan alasan bahwa mereka sudah bermain gawai selama di rumah, tidak melatih motorik siswa akibat kemudahan teknologi. Belum lagi alasan radiasi layar gawai yang dianggap merusak mata.
Terakhir, risiko keamanan bagi siswa membawa gawai berharga pulang pergi ke sekolah menjadi pertimbangan orangtua murid. Belum sempat sosialisasi tentang belajar tatap muka bergawai ini berlangsung, orangtua murid sudah menyesalkan inovasi dan ide pembelajaran bergawai ini kepada pihak sekolah. Sebagian wali murid terkesan mengancam membatalkan memasukkan anaknya ke sekolah swasta tersebut.
Tentunya difusi inovasi teknologi gawai dalam pembelajaran merupakan area perdebatan dalam dunia pendidikan. Untuk memperkecil cakupan opini dari tulisan ini, kita perkecil pada satuan pendidikan berakses sinyal wifi berlimpah gratis, siswa yang telah terbiasa dengan pembelajaran daring tanpa kendala gawai dan tenaga pendidik inovatif (adopter) dalam difusi teknologi.
Difusi Inovasi
Pada 2021 lalu saya dalam keterbatasan penelitian melakukan turun lapangan, akibat PPKM pandemi. Mencoba mendalami permasalahan budaya belajar jarak jauh tersebut. E.M. Rogers (1962) telah lama mendiskusikan teori klasik difusi inovasi. Rogers membagi kategori bagaimana dari waktu ke waktu sebuah ide atau produk mendapatkan momentum dan menyebar ke tingkat populasi atau sistem tertentu, yang pada hasil akhirnya orang mengadopsi ide, perilaku atau produk baru.
Dapat dikatakan paksaan akibat pandemi bertentangan dengan teori Rogers. Adopsi tidak berlaku serta merta, namun bertahap. Pengalaman kita belajar jarak jauh tidak mengalami proses berkelanjutan itu. Akibatnya orang tua peserta didik langsung dengan tegas menolak ide belajar dengan gawai dalam pembelajaran tatap muka (PTM). Walau telah dua tahun berpengalaman dengan PJJ.
Ada beberapa karakteristik sasaran inovasi diangkakan dalam kurva difusi: Innovator hanya 2,5%, Early Adopters 13.5%, Early Majority 34%, Late Majority 34%, dan Laggards 16%. Hanya sedikit sekali (2,5%) yang mau mengadopsi ide-ide baru dalam prinsip difusi. Laggards atau kaum tertinggal adalah orang-orang yang terikat tradisi cenderung konservatif.
Pada umumnya sebelum pandemi membawa gawai ke sekolah saja sudah termasuk pelanggaran aturan sekolah. Kebalikan dari masa transisi pandemi ke endemi saat ini. Paparan di atas meninggalkan beberapa PR dari Kementerian terkait pendidikan (Kemdikbudristek dan Kemenag) dan juga Kemenkominfo dalam difusi inovasi teknologi dalam pembelajaran.
Pertama, menjawab kekhawatiran orangtua dalam keamanan dan kenyamanan bergawai oleh peserta didik. Kedua, menetapkan secara geografis, ekosistem seperti apa saja yang boleh menjadi innovator dan early adopters dari pembelajaran tatap muka bergawai ini. Ketiga, menjamin bahwa konten sehat dan ramah anak tersedia selama melayari dunia perdigitalan.
Pandemi memang belum sepenuhnya usai, namun semua tantangan dan keraguan akan perubahan tentu perlu dijawab dengan bijak oleh orangtua, peserta didik, dan pengelola pendidikan. Semoga kita selalu dapat memberikan yang terbaik bagi para pewaris bangsa.
Romeyn Perdana Putra peneliti BRIN eks Puslitjak Pendidikan Kebudayaan Balitbang Kemdikbud
(mmu/mmu)