Dalam beberapa tahun terakhir, negara Burma atau dikenal juga dengan Myanmar telah banyak menarik perhatian dunia internasional terkait masalah kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di negara tersebut. Hal ini menuai banyak kecaman serta kutukan dari berbagai negara di dunia termasuk Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang sudah menyerukan agar pelanggaran HAM di Myanmar harus segera dihentikan.
Alih-alih berangsur membaik, pemerintah Myanmar masih terus melakukan kekerasan dan pelanggaran sehingga desakan untuk memberikan tindakan tegas kepada Myanmar perlu segera dilakukan, khususnya kepada ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara dimana Myanmar menjadi salah satu anggotanya. Pertanyaannya, tindakan tegas seperti apa yang perlu dilakukan? Apakah keanggotaan Myanmar di ASEAN perlu ditangguhkan?
Alih-alih berangsur membaik, pemerintah Myanmar masih terus melakukan kekerasan dan pelanggaran sehingga desakan untuk memberikan tindakan tegas kepada Myanmar perlu segera dilakukan, khususnya kepada ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara dimana Myanmar menjadi salah satu anggotanya. Pertanyaannya, tindakan tegas seperti apa yang perlu dilakukan? Apakah keanggotaan Myanmar di ASEAN perlu ditangguhkan?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu diulas sekilas tentang kasus kekerasan dan tindak pelanggaran yang dilakukan oleh Myanmar. Tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia terjadi di Myanmar dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2018, Amnesti Internasional mencatat adanya upaya genosida terhadap kelompok minoritas Rohingya di negara bagian Rakhine. Sebagai dampaknya, banyak warga Rohingya yang mengungsi, tercatat sekitar 740 ribu warga Rohingya pergi ke Bangladesh.
Sampai saat ini, komunitas etnis Rohingya di Myanmar masih banyak mengalami diskriminasi dimana hak-hak mereka sebagai warga negara seperti akses pendidikan dan kesehatan banyak dilanggar. Pada Februari 2021, pemerintahan yang sah di negara ini dikudeta oleh kelompok militer yang sekarang dikenal dengan sebutan pemerintahan junta militer. Bagai drama kekejaman yang seakan tidak berakhir, babak kudeta ini diiringi dengan rentetan tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang terus terjadi.
Pemerintahan junta militer ini pun disinyalir semakin gencar melakukan kekerasan termasuk penggunaan senjata berbahaya pada masyarakat sipil terutama kepada para demonstran yang akhirnya semakin banyak memakan korban. Belum lagi penangkapan ilegal yang diduga masih terus dilakukan kepada pihak pihak yang dianggap kritis serta membahayakan pemerintahan junta militer tersebut. Human Rights Watch mencatat penangkapan sepihak ini mencapai lebih dari 13.000 orang.
Penangguhan dan Prinsip Non-Interference
Dalam merespons situasi di Myanmar, ASEAN sendiri tidak tinggal diam. Sembilan pemimpin negara ASEAN dan kepala junta militer Myanmar, Sr. Gen. Min Aung Hlaing, bertemu di Jakarta pada 24 April 2021 dan membuat kesepakatan. Pertama, kekerasan di Myanmar harus segera dihentikan. Kedua, demi kepentingan bersama, para pihak untuk terlibat dalam dialog yang konstruktif untuk mencari solusi damai. Ketiga, utusan khusus ASEAN akan memfasilitasi dialog yang dimaksud. Keempat, utusan khusus dan delegasi ASEAN akan berkunjung ke Myanmar untuk menemui para pihak.
Kesepakatan ini diharapkan menjadi awal yang positif untuk menyelesaikan persoalan di Myanmar. Namun, tidak lama berselang setelah kesepakatan itu, pemerintah junta militer Myanmar justru terus melakukan tindak kekerasan. Atas situasi ini, para pemimpin ASEAN pada akhirnya memutuskan untuk tidak melibatkan pemerintahan junta militer Myanmar dalam pertemuan ASEAN Summit pada Oktober tahun lalu, melainkan meminta perwakilan non-politik untuk terlibat disana.
Permintaan ini ditolak oleh Myanmar. Langkah yang ditempuh ASEAN ini dianggap sebagai tindakan yang cukup maju mengingat prinsip non-interference yang dipegang teguh ASEAN. Perwakilan dari Singapura menyebut bahwa ini adalah langkah yang sulit tapi harus dilakukan mengingat tidak adanya kemajuan yang cukup berarti dari kondisi Myanmar setelah pertemuan kesepakatan pada April itu.
Ini membuat desakan kepada ASEAN untuk melakukan tindakan lebih tegas kepada Myanmar perlu segara dilakukan, termasuk upaya penangguhan Myanmar dari keanggotaan ASEAN. Fenomena penangguhan keanggotaan negara dalam sebuah organisasi internasional bukanlah hal yang baru sama sekali. PBB pernah menangguhkan keanggotaan Libya dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 2011 lalu menyusul pecahnya protes anti-pemerintah di negara Afrika ini. Kasus paling baru adalah penangguhan keanggotaan Rusia dari Dewan ini setelah tuduhan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Rusia di Ukraina.
Saya setuju dengan gagasan penangguhan keanggotaan Myanmar dari ASEAN. Namun, ini adalah langkah terakhir ketika tidak ada upaya lain yang bisa di lakukan lagi. Ada beberapa pertimbangan tentang hal ini. Pertama, penangguhan keanggotaan sebuah negara tidak serta merta menyelesaikan persoalan. Contoh konkret adalah penangguhan Rusia dari Dewan HAM PBB. Alih-alih meredakan ketegangan dan perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, sampai hari ini perang masih berlanjut tanpa kepastian kapan perang akan berakhir. Dan ini tidak hanya berdampak kepada situasi di kedua negara tapi juga situasi global.
Kedua, penangguhan keanggotaan sendiri tidak disebutkan dalam Piagam ASEAN. Berbeda dengan PBB yang menyebutkan soal penangguhan anggota yang disebutkan dalam Piagam PBB bagian 2 poin 5 bahkan pengeluaran (poin 6), ASEAN tidak menyebutkan secara spesifik soal penangguhan ini. Ketika ada pelanggaran serius yang dilakukan oleh sebuah negara, maka keputusan terkait langkah penyelesaian atau pemberian sanksi akan ditentukan lewat pertemuan ASEAN (ASEAN Summit). Ini berarti bahwa penangguhan mungkin dilakukan ketika ada kesepakatan para pemimpin ASEAN dalam ASEAN Summit.
Salah satu tantangannya hari ini adalah adanya perbedaan sikap anggota ASEAN terkait Myanmar. Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Philipina cenderung bersikap tegas dengan mengkritik keras tindak kekerasan junta militer dan menyerukan agar larangan pelibatan perwakilan politik Myamar dalam pertemuan ASEAN terus dilanjutkan. Sementara itu Kamboja, sebagai chair ASEAN tahun ini, misalnya cenderung mengambil jalan yang lebih kompromis dengan mengunjungi pemerintahan junta militer meskipun tidak diberi akses bertemu dengan Aung San Suu Kyi.
Dalam kesepakatan, utusan khusus ASEAN harus diberikan akses untuk bertemu dengan semua pihak, termasuk kubu anti-pemerintah junta militer. Sebelumnya, utusan khusus ASEAN dari Brunei Darussalam ditolak masuk ke Myanmar ketika hendak bertemu dengan Aung San Suu Kyi dan para pemimpin yang ditahan.
Ketiga, yang paling penting untuk dilakukan dalam konteks Myanmar sekarang ini adalah mengupayakan penghentian tindak kekerasan dan pelanggaran yang masih terus terjadi di sana. Kesepakatan yang ada, setelah setahun berjalan, terbukti tidak efektif. Karena itu, para pemimpin ASEAN perlu memikirkan langkah alternatif lain yang lebih tegas seperti kesepakatan yang lebih mengikat terkait waktu.
Selain itu, upaya untuk melakukan sanksi terbatas dalam bentuk pengontrolan pendapatan mata uang asing ataupun pembelian senjata bagi Myanmar. Ketika berbagai upaya tersebut gagal dilakukan, maka penangguhan sementara keanggotaan Myanmar bisa dilakukan. Lebih dari itu, ASEAN juga perlu melibatkan pihak lain seperti PBB ataupun negara lain dalam mengupayakan penghentian tindak kekerasan yang terjadi di Myanmar dengan langkah yang lebih konkret. Ini untuk menepis anggapan bahwa ASEAN, yang memegang teguh prinsip non-interference dan konsensus hanya dijadikan tameng bagi Myanmar dalam melakukan tindak kekerasan dan pelanggaran mereka.
Kasus Myanmar adalah tantangan serius bagi kredibilitas ASEAN sebagai salah satu organisasi regional di Asia Tenggara. Kasus ini bisa menjadi momentum bagi para pemimpin organisasi ini untuk melakukan langkah-langkah strategis dalam upaya penyelesaian konflik kekerasan yang dialami negara anggota. Termasuk dalam hal ini meninjau ulang atau menafsirkan secara progresif prinsip non-interference yang selama ini dianut. Apalagi ketika kasus yang terjadi berkaitan dengan pelanggaran HAM.
ASEAN sendiri tidak memaknai dengan jelas apa yang dimaksud dengan "interference" ini. Tetapi, praktik politik pada tahun 1990-an oleh negara anggota menunjukkan bahwa "interference" ini dipakai sebagai sebuah kontinum yang mewadahi segala bentuk intervensi mulai dari komentar politik sampai intervensi militer (Bellamy dan Drummond, 2011). Tafsir yang luas ini memungkinkan prinsip non-interference ala ASEAN tidak hanya berfungsi sebagai norma ideal bersama, tapi tidak jarang menjadi alat politik bagi negara anggotanya. Dalam bahasa yang lain, prinsip non-interference dalam praktiknya sering ditafsirkan dan digunakan secara pragmatis (Jones, 2010).
Kredibilitas ASEAN tidak hanya tergantung pada kemampuan mereka untuk menyelesaikan masalah yang melibatkan anggota, tapi juga kemauan dan keterbukaan untuk bekerja sama dengan organisasi lain seperti PBB untuk menyelesaikan konflik-konflik lain dalam kawasan regional maupun internasional. Dengan berlaku demikian, tafsir yang lebih progresif atas prinsip non-interference dimungkinkan. Tanpa itu, prinsip ini hanya akan menjadi kedok bagi tindakan-tindakan yang menyalahi norma komunitas internasional.
Husnul Atiyah mahasiswa Paramadina Graduate School of Diplomacy Universitas Paramadina
Simak juga 'Jose Ramos-Horta Temui Jokowi di Istana Bogor, Bahas Keanggotaan di ASEAN':
(mmu/mmu)