Kolom

Dilema Dokter Diaspora

Dr. Iqbal Mochtar - detikNews
Selasa, 19 Jul 2022 14:30 WIB
Foto ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/AlexRaths
Jakarta -
Isu dokter diaspora bersirkulasi. Echo-nya kencang. Banyak narasi bertebaran. Sebagian objektif, sebagian exagerating dan bahkan bias. Ada juga pihak yang me-'ramu' isu ini untuk kepentingan tertentu. Klop sudah: dokter diaspora menjadi sebuah dilema.

Dokter yang bermukim dan/atau bekerja di luar negeri cukup banyak. Walau belum ada data pasti, jumlahnya diperkirakan ribuan. Mereka tersebar di lima benua. Latar belakangnya beragam. Ada yang bekerja sebagai dokter, dosen, peneliti hingga profesor. Sebagian bekerja di sektor non-formal. Ada juga yang keberadaannya menemani keluarga.

Sebagian dokter diaspora bersekolah di sana, baik bidang klinik maupun non-klinik. Level sekolah kliniknya bervariasi; sebagian masih berstatus mahasiswa S1, tetapi ada pula yang menjalani pendidikan spesialis dan super-spesialis. Mereka tersebar mulai dari Australia, Rusia, China di bagian timur hingga Amerika, Kanada dan Kuba di bagian barat. Setting pendidikan spesialis yang dijalani pun beragam. Ada pendidikan spesialisasi yang durasinya hanya dua tahun, tetapi ada juga 5-6 tahun.

Artinya, kapasitas ilmu dan jam terbang tiap-tiap dokter tidak sama. Luaran mereka pun berlainan. Ada yang telah mendapat full-license dan bisa berpraktik penuh, tetapi ada juga yang mendapat partial license dan bahkan non-licensed. Kasarnya, terdapat variabilitas lebar terkait pekerjaan, pendidikan, sistem pendidikan, dan luaran.

Karena variabilitas yang luas, persoalan dokter diasporapun amat beragam. Sebagian belum memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) karena belum sempat ujian saat keluar negeri. Sebagian lagi STR-nya sudah tidak berlaku (expire) dan perlu perpanjangan. Urusan perpanjangan ini juga menjadi issu karena mereka kadang bingung ke mana memverifikasi dokumen kegiatan luar negeri mereka.

Ada juga dokter yang sekolahnya hanya memberikan partial training; mereka harus mencari negara atau institusi lain untuk melengkapi training-nya. Sebagian lagi gundah dengan proses kembali ke tanah air karena harus menjalani program adaptasi. Proses adaptasi ini dianggap terlalu lama, berliku-liku, dan rumit. Saking ribetnya, ada di antara mereka yang sudah bertekad tidak mau pulang lagi ke Indonesia. Intinya, persoalan dokter diaspora amat kompleks.

Rumitnya lagi, kompleksitas persoalan diaspora diperberat oleh kesenjangan persepsi antara dokter diaspora dengan sistem dan kolega mereka di Indonesia. Akarnya adalah kurangnya komunikasi dan informasi. Di Indonesia, banyak persepsi bersirkulasi tentang dokter diaspora. Sebagian mungkin benar, sebagian keliru.

Demikian pula, dokter diaspora memiliki persepsi beragam tentang sistem dan kolega mereka di Indonesia. Sebagian benar dan sebagian tidak, tergantung pengalaman pribadi dan sudut paham dalam memandang. Faktanya, sejumlah dokter diaspora mengalami pengalaman pahit saat mengurus proses kembali ke Indonesia. Ini memantik persepsi getir tentang sistem di Indonesia.

Terlepas dari itu, semua persoalan profesi dokter diaspora muaranya hanya terkait pada empat stakeholder, yakni Kemendiknas, Kemenkes, Konsil Kedokteran, dan Ikatan Dokter Indonesia. Mereka ini adalah primary stakeholders. Setiap institusi ini memiliki irisan peran dalam isu dokter diaspora. Tergantung isunya, level peran institusi bisa berbeda; bisa powerful dan bisa powerless.

Untuk isu adaptasi dokter, misalnya, yang paling powerful ya Kemendiknas dan Kemenkes. Mereka adalah regulator dan perpanjangan tangan pemerintah. Kolegium juga berperan; mereka adalah eksekutor program. Pemahaman pembagian peran institusi ini penting agar tidak salah menelisik akar masalah. Agar tidak ujug-ujug menuduh sembarang institusi dan menginduksi fenomena victim blaming.

Prinsip utama yang perlu dipegang oleh semua stakeholder adalah bahwa dokter diaspora juga adalah anak bangsa. Negara wajib membantu atau memfasilitasi persoalan-persoalan mereka dengan cara yang tepat. Persoalan kompleks dokter diaspora hanya bisa kelar kalau ada "kerukunan komitmen" dari institusi-institusi terkait. Institusi-institusi ini mesti duduk bersama untuk mengidentifikasi persoalan yang ada dan menelisik jalan keluarnya. Arogansi institusi mesti ditanggalkan dan win-win solution mesti dikedepankan.

Dokter-dokter diaspora juga perlu paham bahwa mereka adalah subjek sekaligus objek dalam beragam isu. Peran mereka sangat vital. Makanya, mereka perlu menciptakan ambien positif dan sejuk untuk membantu mengurai persoalan-persoalan mereka. Sikap-sikap apriori, pelampiasan kekesalan berlebihan, menuduh tanpa bukti atau mengantipati stakeholder tertentu bukan hanya tidak kondusif, tetapi juga berpotensi menghambat deskalasi masalah dan menimbulkan konstipasi isu.

Persoalan-persoalan mereka justru bisa menjadi panjang dan tanpa jalan keluar. Mereka mesti tajam melihat masalah dan arif bersolusi. Persoalan dokter diaspora ini terkait dengan sistem dan pranata kompleks. Melibatkan lintas sektoral dan lintas sistem. Solusi efektif dan komprehensif tidak bisa dicapai dalam hitungan hari. Fenomena lampu Aladin tidak berlaku di sini.

Intinya, semua gerbong stakeholder harus berkomitmen untuk membantu mengatasi beragam persoalan dokter diaspora. Mereka harus siap duduk bersama untuk mencari solusi tepat. Keberadaan sebuah komite atau advisory board khusus buat dokter diaspora mungkin diperlukan. Elemennya adalah semua stakeholder terlibat. Komite ini menjadi pusat kebijaksanaan dan penyelesaian masalah dokter diaspora. Gestur komite ini mesti inklusif dan kolaboratif. Dengan gestur demikian, tidak ada persoalan dokter diaspora yang tidak kelar.

Dr. Iqbal Mochtar Pengurus PB IDI dan Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah
Simak juga 'Kala Pemerintah Minta Dokter Diaspora 'Mudik' Bantu Atasi Covid-19 di RI':






(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork