Bukan Banjir Biasa
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Bukan Banjir Biasa

Selasa, 19 Jul 2022 12:10 WIB
Muh. Ilham Akbar
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Darurat Dampak Pertambangan Nikel dimana Peran Negara?
Jakarta -

Melalui pesan WhastApp saya dikirimkan sebuah foto dan video banjir bandang oleh teman, yang terjadi di Kecamatan Laonti Kabupaten Konawe Selatan dan Kecamatan Boenaga Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Video itu menunjukkan bahwa dilihat dari kadar airnya bukan merupakan banjir biasa. Banjir tersebut memperlihatkan air yang keruh seperti menyatu dengan isi dalam tanah (lumpur).

Saya meyakini ini adalah dampak aktivitas pertambangan. Sebab wilayah banjir tersebut sangat dekat dengan pegunungan yang gundul akibat adanya kegiatan pertambangan nikel. Sungguh sangat tragis, bagaimana mungkin praktik kejahatan lingkungan seperti ini dibiarkan terjadi secara terus-menerus tanpa adanya suatu evaluasi yang dilakukan dari pejabat lembaga pemerintahan terkait (stakeholder) maupun lembaga penegak hukum.

Apakah kita akan terus berdiam atas penderitaan rakyat yang kehilangan rumah, hingga nantinya vonis hukum alam akan berbicara bahwa kedua daerah itu lulu lantak? Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa muncul dalam dua versi. Pertama akan mengatakan, teruskan saja aktivitas pertambangan nikel asalkan pajak pendapatan nasional melimpah dan relokasi rumah baru sebagai ganti rugi diberikan kepada warga terdampak.

Kedua akan mengatakan, hentikan aktivitas pertambangan dengan alasan kerusakan alam yang terjadi tidak dapat diadakan perbaikan dan dampaknya menyangkut masa depan tempat tinggal generasi berikutnya. Kedua jawaban ini benar tergantung pihak mana yang ditanya. Jika yang ditanya adalah pengusaha selaku oligarki pertambangan nikel, tentu akan mengamini hal tersebut. Namun jika yang ditanya adalah rakyat yang terdampak tentu akan menjawab hentikan pertambangan nikel.

Tulisan ini hadir sebagai bentuk kritik atas aktivitas pertambangan nikel kita yang berjalan ke arah yang menjerumuskan kehancuran lingkungan. Negara seakan hampir dipastikan tidak berdaya dan tidak memiliki taring untuk menghentikan praktik kejahatan lingkungan tersebut. Padahal syarat untuk dapat melakukan aktivitas pertambangan nikel, perusahaan harus mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) dan Rencana Kerja Anggaran Biaya Pertambangan (RKAB).

Kedua standar prosedural tersebut menggambarkan posisi negara adalah sebagai pemberi izin. Karena negara pemberi izin, maka sanksi pencabutan izin dapat dilakukan. Hanya saja memang tata cara dan syarat pencabutan izin tersebut tidak dijelaskan secara detail dalam Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Sehingga teranglah bahwa praktik pertambangan nikel yang merusak lingkungan memang tidak dipikirkan sedari awal saat Undang-Undang mengenai pertambangan nikel dibentuk.

Negara Harus Berperan

Ekonom Joseph Stiglitz dalam buku yang berjudul Escaping The Resource sudah pernah mengingatkan kerugian besar bagi suatu negara yang memberikan keleluasaan bagi investasi pertambangan seperti nikel. Tetapi lagi-lagi negara kadangkala menghambakan pajak besar dengan motivasi penambahan anggaran pendapatan dan belanja nasional akan mengalami peningkatan yang signifikan.

Saya memaklumi hal tersebut dalam nalar negara memang harus berpikir materialistis untuk memperoleh kekuatan dana yang kuat. Namun bukankah semua itu harus dilakukan atas dasar "sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat"? Apakah benar logika matematika untung dan rugi, namun tidak memperhatikan keselamatan rakyat?

Kaitan pendapat Joseph Stiglitz dan banjir yang terjadi di dua kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa negara sendiri yang melegalkan praktik kejahatan lingkungan. Persoalan yang paling mendasari pendapat saya tersebut adalah konsep pertambangan nikel kita tidak memiliki kaidah penambangan yang jelas.

Baik di Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 maupun Undang-Undang No 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara sama sekali tidak merinci dengan jelas kaidah pertambangan yang ramah dan patuh terhadap kelestarian lingkungan hidup. Dalam Bahasa yang lebih sederhana saya ingin mengatakan bahwa "praktik legalisasi kejahatan lingkungan memang diamini oleh negara."

Kenyataannya memang demikian, bahwa negara absen dalam berperan melindungi alam daripada aktivitas pertambangan nikel. Harusnya semangat dan motivasi yang dibangun adalah negara berada pada pihak masyarakat, demi terciptanya negara yang menyejahterakan (welfare staat).

Welfare staat sebagai suatu konsep negara kesejahteraan yang selama ini selalu digaungkan nyatanya masih jauh dari harapan. Amanat Pembukaan UUD 1945 mengenai klausul "memajukan kesejahteraan umum" sebagai landasan welfare staat di Indonesia faktanya tidak pernah sungguh-sungguh diwujudkan. Seharusnya jika benar negara berada di pihak rakyat untuk memajukan kesejahteraan rakyat, tentu pertambangan nikel yang dilakukan akan mendapatkan pengawasan secara berlapis.

Makna pengawasan berlapis tersebut, dari sisi penegakan hukum administrasi akan dibangun koordinasi dan evaluasi antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Daerah setempat. Dari sisi penegakan hukum pidana, Kepolisian dan Kejaksaan akan aktif dalam menindak setiap laporan yang berkaitan dengan praktik kejahatan aktivitas pertambangan nikel. Dari sisi legislasi, DPR dan Presiden selaku pembentuk undang-undang akan menginisiasi perubahan undang-undang pertambangan untuk memasukkan mekanisme kaidah pertambangan nikel. Sehingga praktik kejahatan terhadap aktivitas lingkungan pertambangan nikel yang berdampak pada kehidupan masyarakat akan diminimalisasi bahkan dihilangkan.

Saya sampai pada satu kesimpulan bahwa darurat dampak pertambangan nikel di Indonesia benar-benar sesuatu yang menjadi persoalan serius dan harus direspons serius pula. Kesedihan kita bersama masyarakat sebagai pihak terdampak dibiarkan tanpa diberikan perhatian oleh negara. Oligarki seakan mendominasi kekuasaan pengelolaan pertambangan nikel. Kita membutuhkan suatu kesadaran dan kerjasama kolektif untuk menghentikan kejahatan lingkungan yang terjadi.

Negara harus sadar wilayah yang menjadi tempat pertambangan nikel bukanlah sebuah tanah tak bertuan. Masyarakat sekitar bukan patung yang tidak bisa diserap suara dan masukannya. Jangan sampai sikap acuh tak acuh atas praktik pertambangan nikel tersebut menjadikan negara ini, seperti negara otoriter. Kita perlu kembali menghayati pendapat Rousseau tentang makna pactum subjectionis. Negara dan masyarakat ibarat pihak yang sedang melakukan perjanjian kontrak.

Negara diberikan kewenangan luas oleh masyarakat dalam sebuah perjanjian. Sehingga jika isi kontrak merugikan salah satu pihak maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Itulah filosofi bernegara yang harus dipahami dan ditaati bahwa rakyat harus diikuti keinginan dan kehendaknya, sepanjang menyangkut hajat hidup bersama. Kita memimpikan negara yang berperan dan berpihak pada masyarakat bukan pada oligarki pertambangan nikel.

Muh. Ilham Akbar, S.H, M.H pengamat Hukum Tata Negara

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads