Mengantisipasi Krisis dengan Holding BUMN Pangan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mengantisipasi Krisis dengan Holding BUMN Pangan

Senin, 18 Jul 2022 15:10 WIB
Oktavianus Oki Bagus Krisnawan
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
ID FOOD Diresmikan/Foto: Sylke Febrina Laucereno-detikcom
Foto: Sylke Febrina Laucereno/detikcom
Jakarta -

Investasi terbaik saat ini adalah investasi makanan, sebab masalah selanjutnya adalah kelaparan. Jadi kita perlu investasi untuk mencari solusi. ~ Robert Kiyosaki

Demikian cuitan di Twitter dari seorang penulis buku best seller Rich Dad Poor Dad yakni Robert Kiyosaki. Lebih lanjut dalam cuitannya tersebut, Kiyosaki mengingatkan bahwa investasi emas, perak ,dan bitcoin bukanlah hal yang tepat saat ini. Sebab saat kelaparan datang, emas, perak, dan bitcoin tidak bisa dimakan.

Cukup aneh memang ketika seorang Kiyosaki yang dikenal sebagai pebisnis dan penulis buku kenamaan mengutarakan hal demikian. Namun, kegelisahan dan kekhawatiran dari seorang Kiyosaki bisa jadi bukan tanpa alasan.

Fenomena melonjaknya harga pangan telah menekan dan membuat kinerja industri makanan dan minuman bekerja ekstra keras. Ditengarai beberapa faktor penyebabnya selain dampak Covid-19 dan perubahan iklim juga disebabkan perang Rusia dan Ukraina yang berdampak pada terganggunya rantai pasok (supply chain) dari industri makanan dan minuman.

FAO menyebutkan perang Rusia-Ukraina berkontribusi dalam memicu krisis pasokan pangan, sehingga harga soft commodities (gandum,CPO, kopi, keju, kedelai, kakao, susu) berpotensi meningkat. Selain itu merujuk data dari Kementerian Perdagangan, harga gandum sepanjang Mei 2022 telah mengalami kenaikan sebesar 5,6%. Belum lagi kebijakan larangan ekspor bahan baku makanan yang dilakukan oleh beberapa negara seperti India juga menjadi penyebab naiknya harga pangan.

Antisipasi Kebijakan

Menyikapi dinamika permasalahan tersebut, sebenarnya pemerintah telah melakukan antisipasi kebijakan yang berbasis ketahanan pangan. Melalui Kementerian Pertanian, pemerintah sejak 2020 telah menginisiasi program Lumbung Pangan Nasional atau food estate. Program ini memiliki sasaran untuk peningkatan produktivitas lahan pertanian. Program ini lebih berfokus pada intensifikasi dan ekstensifikasi lahan yang berada di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulau Pisau Provinsi Kalimantan Tengah.

Pada intensifikasi lahan, pemerintah melakukan pemberian bantuan berupa pengolahan lahan dan sarana produksi, seperti benih, pupuk, pembenahan tanah dan pestisida yang sesuai rekomendasi. Sedangkan pada ekstensifikasi lahan, pemerintah berperan dalam pemberian bantuan berupa pemberian lahan, infrastruktur tingkat usaha tani pengolahan lahan dan sarana produksi (saprodi).

Berkenaan dengan program ketahanan pangan serta dalam rangka mewujudkan visi Indonesia terhadap kemandirian pangan pada 2045, pemerintah juga telah melakukan inisiasi suatu program yaitu holding pangan yang telah dibentuk pada Januari 2022. Terdapat beberapa alasan berkenaan dengan dibentuknya program ini, antara lain inklusivitas kesejahteraan bagi para petani, nelayan, hingga peternak. Ke depan diharapkan agar melalui implementasi holding ini, kesejahteraan petani, nelayan, hingga peternak akan meningkat.

Kedua, bila merujuk data Global Food Security Index (GFSI), ketahanan pangan Indonesia pada 2021 berada di peringkat ke-69 dari 113 negara. Artinya kualitas ketahanan pangan kita masih perlu ditingkatkan. Dalam kaitan ini, GFSI menggunakan empat indikator dalam mengukur ketahanan pangan suatu negara yaitu keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas dan keamanan makanan (quality and safety), serta ketahanan sumber daya alam (natural resources and resilience).

Ketiga, terkait dengan stabilitas harga pangan muncul harapan besar agar fenomena fluktuasi harga pangan yang selama ini terjadi bisa diminimalisasi. Konteks stabilitas harga disini tidak hanya seputar aspek produksi semata, melainkan juga terkait aspek distribusi.

Keempat, potensi produktivitas ekspor dari sektor perikanan. Produktivitas ini tidak lepas dari sarana dan prasarana pendukung seperti cold storage dan Air Blast Freezer yang didukung oleh PT Perikanan Indonesia (Persero). Niscaya, dengan semakin masifnya aktifitas ekspor produk perikanan, maka kesejahteraan nelayan akan meningkat, efek positifnya maka status nelayan akan menjadi naik kelas.

Target Besar

Holding BUMN pangan ditandai dengan peluncuran brand dengan nama ID Food. Beberapa BUMN yang tergabung dalam klaster pangan ini antara lain PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) (RNI) yang ditunjuk sebagai induk holding BUMN pangan, beserta lima anggota, yakni PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) (PPI), PT Sang Hyang Seri (Persero) (SHS), PT Perikanan Indonesia (Persero) (Perindo), PT Berdikari (Persero), dan PT Garam (Persero).

Pembentukan holding ini ditandai dengan penandatanganan akta inbreng saham pemerintah antara RNI dan kelima BUMN Pangan tersebut. Pada kesempatan sebelumnya Presiden Jokowi telah memberikan persetujuan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 118 Tahun 2021 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara RI ke dalam saham PT RNI (Persero), serta dilengkapi dengan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 555/KMK.06/2021 tentang Penetapan Nilai Penyertaan Modal Negara RI ke dalam modal saham PT RNI (Persero) yang juga telah ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Sejatinya target besar dalam implementasi holding pangan ini adalah peningkatan produksi dan efisiensi melalui integrasi rantai nilai pada berbagai komoditas pangan utama. Sebagaimana diketahui, komoditas yang dihasilkan oleh BUMN pangan saat ini sangat beragam, misalnya beras, jagung, dan hortikultur (SHS), gula (RNI), garam (Garam), ayam dan sapi (Berdikari), dan ikan (Perindo) dengan kegiatan logistik dilakukan oleh PPI.

BUMN pangan juga melakukan pengembangan produk ritel minyak goreng, telur, teh, tepung terigu, air mineral, kecap, dan lain-lain dengan kegiatan storage dan distribution dilakukan oleh PPI dan PT Bhanda Ghara Reksa yang berperan sebagai konsolidator dan agregator dalam bisnis trading dan logistik, sehingga diharapkan dapat menurunkan biaya logistik sampai dengan 5%. Dengan demikian secara holistik, bila semua BUMN tersebut dapat bersinergi dengan baik, maka secara otomatis akan memberikan kelancaran pada proses input, produksi, logistik, hingga distribusi dari hulu ke hilir.

Sebagai negara agraris, keseluruhan aspek di atas seharusnya menjadi keunggulan kompetitif dalam transformasi industri pangan. Namun juga lebih dari itu dengan holding pangan ini akan menjadi momentum yang tepat bagi para petani maupun nelayan untuk bisa menjadi subjek dan bukan objek lagi dalam menopang kehidupan ekonominya.

Bukan Tanpa Masalah

Pada aras lain pembentukan holding pangan bukan tanpa masalah. Sebagaimana diketahui, enam BUMN klaster pangan yang terlibat dalam holding pangan ini mempunyai utang kepada pemerintah dalam bentuk utang Rekening Dana Investasi (RDI), Subsidiary Loan Agreement (SLA), dan eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Utang RDI/SLA dan eks BPPN tersebut terdiri dari utang pokok dan non pokok dengan rincian total utang pokok RDI/SLA BUMN Pangan sebesar Rp 295,5 miliar, utang non pokok RDI/SLA sebesar Rp 1,5 triliun, dan utang eks BPPN sebesar Rp 687 miliar. Sebagai sarana dalam rangka memperkuat struktur permodalan untuk pendanaan dari holding pangan ini, pemerintah telah menyiapkan strategi konversi RDI dan SLA ke Penyertaan Modal Negara (PMN).

Mengingat bahwa pemerintah menetapkan PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) sebagai induk holding pangan, maka RNI akan mengajukan PMN Non Tunai melalui konversi utang pokok RDI/SLA dan eks BPPN ke Kementerian Keuangan. Dari data yang ada, untuk 2023, PT RNI akan mengajukan permohonan PMN baik tunai maupun non tunai dengan total Rp 4 triliun dalam pagu indikatif 2023. Adapun perinciannya yaitu Rp 2 triliun untuk PMN tunai, dan Rp 2,6 triliun untuk PMN Non Tunai.

Dengan dominannya kontribusi dan peran dari pemerintah, muncul kekhawatiran akan semakin menyempitnya kontribusi dan pergerakan dari sektor swasta dalam ranah industri pangan nasional. Sebaliknya, mengingat kontribusi swasta dalam sektor pertanian akan memiliki nilai manfaat seperti misalnya percepatan penyerapan teknologi pertanian, peningkatan kapasitas manajerial, hingga koneksi pemasaran di pasar global.

Bagi beberapa pihak, implementasi holding ini bisa jadi meningkatkan efisiensi bagi BUMN yang terlibat dalam holdingisasi, namun di lain pihak akan melemahkan kompetisi dan persaingan yang sehat dalam industri ini. Seharusnya proses holding pangan ini bermuara pada peluang untuk menarik investasi swasta di industri pangan ini sehingga diharapkan dengan adanya iklim investasi dengan pihak swasta yang lebih kompetitif, maka BUMN klaster pangan yang tergabung dalam holding akan semakin terpacu untuk menunjukkan kinerja yang lebih baik.

Harapannya yaitu peningkatan investasi di sektor pertanian mutlak dilakukan untuk peningkatan kualitas produk dan produktifitas pertanian nasional. Dengan demikian bila semangat kolaborasi antara pihak swasta dengan pemerintah melalui BUMN klaster pangan ini akan dilaksanakan, maka kekhawatiran akan terjadinya krisis pangan yang berpotensi melanda Indonesia bisa diantisipasi melalui ketahanan pangan.

Negara harus hadir dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. Tentu saja, kesejahteraan disini juga tak lepas dari persoalan kebutuhan pangan yang terdapat dalam sebuah negara. Dengan demikian pertanyaannya, sudahkan Anda berinvestasi di bidang makanan sesuai dengan saran Kiyosaki di atas?

Oktavianus Oki Bagus Krisnawan Analis Muda Perbendaharaan Negara Ditjen Perbendaharaan; tulisan ini pendapat pribadi

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads