Presiden dan Wakil Presiden anyar Filipina, Bongbong Marcos Jr. dan Sara Duterte baru saja dilantik. Keduanya resmi menggantikan Rodrigo Duterte dan Leni Robredo di tampuk kepemimpinan negeri lumbung padi itu. Menariknya, baik Bongbong maupun Sara merupakan anak dari mantan Presiden dan diktator kenamaan Filipina, Ferdinand Marcos Sr. dan Presiden sebelumnya, Rodrigo Duterte.
Hubungan kekeluargaan ini tentu cukup problematik, terutama bila dikaitkan pada fenomena politik keluarga yang sangat berpengaruh di Filipina. Secara historis, Filipina tampaknya kesulitan untuk melepaskan diri dari jerat dinasti politik. Walaupun melalui Pemilu 2022 yang relatif berintegritas, keluarga politik besar tetap saja memenangkan kompetisi.
Hubungan kekeluargaan ini tentu cukup problematik, terutama bila dikaitkan pada fenomena politik keluarga yang sangat berpengaruh di Filipina. Secara historis, Filipina tampaknya kesulitan untuk melepaskan diri dari jerat dinasti politik. Walaupun melalui Pemilu 2022 yang relatif berintegritas, keluarga politik besar tetap saja memenangkan kompetisi.
Kemegahan Dinasti Politik
Saya berkesempatan mengikuti International Election Observation Mission yang diselenggarakan Asian Network for Free Election (ANFREL) di Filipina, sekaligus menyaksikan langsung megahnya dinasti politik Filipina. Gambaran awalnya, para pesohor dan keluarga politik punya peluang yang sangat besar dalam memenangi persaingan elektoral.
Bagi orang Indonesia, keluarga Marcos tentu tak asing lagi. Istri Diktator Ferdinand Marcos, Imelda Romualdez, bahkan tampak bersahabat dengan Tien Soeharto kala mengunjungi Taman Mini di Jakarta. Keluarga Aquino dan Macapagal juga tak terlalu asing di telinga. Namun keluarga politik Filipina tak hanya itu, mereka tersebar di seluruh penjuru negeri dalam berbagai level.
Di level nasional, terdapat keluarga politik besar seperti Marcos dan Aquino. Selain itu, terdapat beberapa nama lainnya seperti Gatchalian, Duterte, Sotto, hingga Ampatuan. Di level daerah berbeda lagi, misalnya di Guimaras yang dikuasai Keluarga Nava, atau Defensor dan Trenas di Iloilo. Biasanya, mereka saling terkoneksi, baik antar daerah maupun dengan keluarga politik nasional.
Bila ditelisik secara historis, fenomena dinasti politik makin marak setelah pengesahan Konstitusi Filipina 1987 yang disusun dengan obsesi mencegah pemimpin seperti Marcos kembali berkuasa. Namun, terdapat ketentuan tentang pembatasan periode jabatan yang disinyalir menguatkan politik dinasti. Akhirnya, kelompok-kelompok keluarga politik semakin menjamur (Teehanke, 2001).
Alasannya, dalam ketentuan itu para pejabat harus meletakkan jabatannya ketika periodenya habis. Sementara itu, kekuasaan yang belum habis, diwariskan kemudian kepada anggota keluarga yang lain, agar keluarganya masih bisa tetap berkuasa (Mendoza et.al., 2020). Hal ini dilakukan dengan sangat mudah karena ketiadaan institusi demokrasi seperti partai dan edukasi politik masyarakat yang lemah.
Dalam pembahasan limitasi periode jabatan pada penyusunan Konstitusi 1987, terjadi perdebatan cukup menarik tentang dinasti politik. Komisi Konstitusi Filipina sudah memprediksi bahwa dinasti politik akan tercipta seiring pemberlakuan limitasi periode. Maraknya dinasti politik dan kepercayaan tinggi masyarakat terhadap klan-klan politik, bahkan dianggap sebagai penyakit sosial (Constitutional Commission of 1986, 1986).
Karenanya, kondisi tersebut dicegah dengan memandatkan hukum anti dinasti politik. Namun, para pembentuk undang-undang gagal dalam menyusun peraturan tentang dinasti politik. Akhirnya, keluarga politik bukan hanya bertambah secara jumlah, namun juga telah mengekspansi kekuasaannya dan terkoneksi dengan keluarga politik lainnya (Mendoza et.al., 2020).
Hal ini terlihat dari dataset yang ditampilkan dalam Studi Mendoza et.al. (2020). Dari 1988 hingga 2019, jumlah gubernur yang berasal dari keluarga politik meningkat dari 41% menjadi 80%. Sementara jumlah walikota yang berasal dari keluarga politik, meningkat dari 26% menjadi 53% di 2019. Hanya konsilor (DPRD) kota yang kurang dari 25% anggotanya berasal dari klan politik.
Meningkatnya jumlah keluarga politik dan kekuasaannya secara langsung berdampak pada tingginya kemiskinan dan pemerintahan yang buruk. Selain itu, dinasti politik berperan dalam meningkatkan angka korupsi, rent-seeking, hingga pemerintahan yang melayani kepentingannya sendiri (McCoy, 2009). Di samping itu, ditemukan fakta bahwa provinsi-provinsi di Filipina yang dikuasai klan politik, mengalami pembangunan yang stagnan dan buruknya pelayanan publik (Tusalem & Pe-Aguirre, 2013).
Faktor-Faktor Dinasti Politik
Besarnya kekuasaan dinasti politik di Filipina disebabkan beberapa faktor. Pertama, mahalnya biaya politik yang membatasi politisi-politisi potensial untuk bertanding dalam kompetisi elektoral yang setara. Sementara itu, anggota klan politik biasanya didukung oleh kekuatan finansial para pemodal dan anggota lainnya yang sudah duduk di jabatan-jabatan politik.
Kedua, bantuan klan politik kepada anggotanya bukan hanya berbentuk uang, melainkan juga kanalisasi program atau penyelewengan kekuasaan. Contoh paling dekat ada pada Pilpres Filipina 2022. Salah satu komisioner KPU Filipina yang ditunjuk Presiden Duterte, George Garcia, yang merupakan mantan pengacara Bongbong Marcos (Rappler, 2022). Hal ini tentu akan menimbulkan konflik kepentingan yang menguntungkan Marcos Jr.
Ketiga, Filipina punya problem kepartaian yang tak jauh beda dengan Indonesia. Partai politik tidak punya identitas yang kuat dan posisinya sangat marjinal di masyarakat. Partai juga lebih banyak dijalankan oleh pengurus yang tidak berpengalaman secara politik karena politisi kawakan tidak menganggap partai itu penting. Akhirnya, kerjasama politik cenderung dijalankan oleh klan-klan tertentu tanpa memandang parpol.
Indonesia masih memiliki kondisi lebih baik. Sebagai contoh, dalam surat suara Pemilu senator Filipina daftar nama senator tidak dikelompokkan dalam satu partai seperti Pileg di Indonesia. Daftar nama kemudian diurutkan sesuai undian nomor urut. Sementara identitas partai, dituliskan di akhir nama dan hanya berbentuk singkatan. Marjinalisasi institusi kepartaian bahkan hingga di surat suara tentu membingungkan mengingat pentingnya posisi partai dalam demokrasi.
Keempat, kondisi sosio-kultur Filipina. Dalam satu kesempatan wawancara pada kegiatan pemantauan, penulis mendapatkan jawaban yang kurang lebih menggambarkan budaya dinasti politik yang telah mapan. Memiliki keluarga politik dianggap oleh sebagian orang sebagai semacam berkah Tuhan, sebab kecenderungan pemilih tidak hanya melihat kandidat secara personal, namun juga latarbelakang dan keluarganya.
Selain itu, orang Filipina meyakini satu pepatah yang kurang lebih sama, 'buah tidak jatuh jauh dari pohonnya'. Di Filipina dan negara-negara Asia lain, seorang anak biasanya akan mengikuti profesi orang tuanya, sehingga orang tua politisi juga akan mempengaruhi karir anaknya sebagai politisi. Persepsi-persepsi yang telah mapan tersebut, secara tidak langsung turut menormalisasi fenomena dinasti politik.
Filipina, selain dekat secara geografis, juga dekat secara kultur hingga situasi politiknya dengan Indonesia. Beberapa persoalan di atas, tentu juga familiar di Indonesia, walau dengan kondisi yang sedikit lebih baik. Namun, penguasaan dinasti politik pasca-reformasi juga sudah mulai menabuh genderang. Bukan tak mungkin Indonesia terjebak dalam situasi politik yang sama. Karenanya, fenomena politik ini menjadi pembelajaran penting bagi Indonesia agar tak terjebak dalam lubang yang sama.
Kahfi Adlan Hafiz peneliti Perludem, pemantau dalam International Election Observation Mission - ANFREL di Pemilu 2022 Filipina
Simak juga 'Ditutup Pemerintah Duterte, Kantor Berita Rappler Tetap Bekerja':
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini