Urgensi Revisi Perdewas Penegakan Sanksi Etik KPK
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Urgensi Revisi Perdewas Penegakan Sanksi Etik KPK

Kamis, 14 Jul 2022 14:16 WIB
Korneles Materay
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
ormas yang mengatasnamakan Dewas KPK
Foto: dok. istimewa
Jakarta -

Belakangan, KPK banyak diterpa kritik publik. Penyebabnya berkali-kali Pimpinan KPK terlibat pelanggaran etik. Dua komisioner yakni Ketua Firli Bahuri dan Wakil Ketua Lili Pintauli Siregar bahkan sudah dijatuhi sanksi etik. Kedua oknum ini pula tengah menghadapi isu etik. Pada pekan lalu, Dewas akan menyidangkan Lili lagi terkait kasus fasilitas menonton MotoGP. Dewas juga sedang memproses pengaduan terhadap Firli Bahuri atas pemberian penghargaan kepada istrinya karena menciptakan himne dan mars.

Sebelumnya, pada September 2020 lalu, Firli disanksi terkait kasus helikopter mewah. Dia terbukti melanggar Pasal 4 ayat (1) huruf n dan Pasal 8 ayat 1 huruf f Perdewas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK. Sanksi Dewas kepada Firli adalah kategori ringan berupa teguran tertulis dua. Sedangkan, pada Agustus 2021, Lili pernah disanksi kategori berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 tahun. Dia terbukti melanggar Pasal 4 ayat 2) huruf a Perdewas a quo dalam kasus berhubungan dengan pihak berperkara, yaitu Wali Kota nonaktif Tanjungbalai M Syahrial.

Hingga kini, kita dapat melihat bahwa penegakan etik selama ini belum mencapai tujuannya yakni mencegah perilaku tak etis dan koruptif. Para pelanggar etik di level Pimpinan tidak mengubah perilaku, justru terus memproduksi pelanggaran. Mereka yang seharusnya memberi teladan dan menjaga nilai-nilai antikorupsi, malah tidak mengindahkan kewajibannya.

Mengapa pelanggaran etik oleh Pimpinan KPK terus menerus terjadi? Karena penegakan etik sangat lemah yang disebabkan dua hal. Pertama, kelemahan itu terlihat konstruksi Perdewas 2/2020 yang nampaknya 'sengaja' diformulasikan tidak lengkap dan lunak terhadap Pimpinan KPK. Pasal 10 Perdewas a quo memuat 3 (tiga) kategori sanksi yaitu sanksi ringan, sanksi sedang, dan sanksi berat.

Sanksi ringan terdiri atas teguran lisan berlaku 1 bulan, teguran tertulis I berlaku 3 bulan, dan teguran tertulis II berlaku 6 bulan. Sanksi sedang terdiri atas pemotongan gaji pokok 10%, 15%, dan 20% masing-masing selama 6 bulan. Sanksi berat bagi Pimpinan diatur di Pasal 10 ayat (4) terdiri atas: pemotongan gaji pokok sebesar 40% selama 12 bulan dan diminta mengundurkan diri sebagai Pimpinan.

Konstruksi sanksi yang ada tidak mengancam posisi Pimpinan KPK. Penjatuhan sanksi terberat sekalipun, tidak berimplikasi apa-apa. Sebagai misal di kasus Lili. pemotongan gaji 40% tidak punya arti, kekayaannya tetap bertambah. Seandainya, Dewas kemudian menjatuhkan sanksi diminta mengundurkan diri sebagai Pimpinan, ketentuan ini eksekusinya belum jelas. Apabila yang divonis tidak mengundurkan diri? Mekanisme tindak lanjut tidak tersedia. Berbeda dengan pegawai yang melanggar, sanksi beratnya adalah diberhentikan dengan tidak hormat. Artinya, ancaman terhadap posisi mereka begitu besar.

Kedua, Dewas belum berani melakukan terobosan dalam menegakkan etik dan perilaku Pimpinan KPK. Bayangkan dua orang Pimpinan KPK merugikan marwah lembaga dan penegakan hukum. Namun, mereka dihukum seolah-olah orang yang tidak paham aturan. Dewas menyatakan bahwa Pimpinan KPK yang melanggar itu tidak menyadari perilaku mereka menyimpang dari kode etik dan pedoman perilaku (vide, pertimbangan Dewas dalam putusan Lili dan putusan Lili).

Sebagai penegak hukum yang punya kewenangan besar menentukan nasib penegakan hukum di KPK, Pimpinan sangat rentan diintervensi atau dipengaruhi oleh berbagai kalangan. Siapapun yang berhubungan dengan KPK akan berupaya dengan berbagai cara menjalin relasi, melakukan komunikasi hingga tidak menutup kemungkinan transaksi terkait kasus. Namun, penegakan etik belum mampu mengembalikan spirit antikorupsi.

Oleh karena itu, untuk merevisi Perdewas tersebut. Beberapa hal yang perlu diperjelas dan dilengkapi; pertama, perbaikan kategori sanksi. Harus ada ketentuan pemberhentian tidak dengan hormat bagi Pimpinan KPK. Kedua, perlu untuk mengadopsi dan menyelaraskan ketentuan Pasal 29 dan Pasal 32 UU 30/2002 jo UU 19/2019. Dua pasal ini mengatur syarat menjadi Pimpinan KPK dan syarat berhenti atau diberhentikan. Kemudian diperjelas makna perbuatan tidak tercela.

Ketiga, harus ada mekanisme eksekusi vonis Dewas. Keempat, penambahan ketentuan Dewas memberikan rekomendasi pemberhentian secara hormat atau tidak hormat kepada Presiden. Kelima, Dewas harus merefleksikan diri bahwa mereka sendiri perlu pembaharuan dalam membaca permasalahan.

Korneles Materay peneliti Bung Hatta Anti Corurption Award
Simak juga 'Ketua Komisi III Minta Dugaan Gratifikasi Tetap Diusut Meski Lili Pintauli Mundur':
(mmu/mmu)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads