Kompromi Cuti Melahirkan Enam Bulan

ADVERTISEMENT

Kolom

Kompromi Cuti Melahirkan Enam Bulan

Caisa Aamuliadiga - detikNews
Kamis, 14 Jul 2022 13:27 WIB
Pregnant belly and a beer belly against each other together close up, holding bellies by both hands side view, couple goals concept.
Foto ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/Nilanka Sampath
Jakarta -
Perlindungan bagi hak-hak pekerja perempuan di Indonesia sedang memasuki babak baru. DPR telah resmi menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) menjadi RUU usul inisiatif DPR. Berdasarkan RUU hasil harmonisasi pada 9 Juni 2022 diketahui bahwa Pasal 4 ayat (2) huruf a RUU a quo memberikan hak kepada setiap perempuan yang bekerja untuk mendapatkan cuti melahirkan paling sedikit 6 (enam) bulan dalam kondisi apapun.

Ketentuan ini kemudian mendapat perhatian masyarakat luas. Bagaimana tidak, cuti di dalam RUU KIA terbilang jauh lebih lama dibandingkan dengan ketentuan di dalam UU Tenaga Kerja. Selama ini UU Tenaga Kerja hanya memberikan cuti 3 bulan bagi pekerja yang melahirkan. Waktu 3 bulan tersebut dibagi menjadi 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Jika dihitung berdasarkan minggu, UU Tenaga Kerja hanya memberikan cuti melahirkan 12 minggu.

Artinya, UU Tenaga Kerja memberikan cuti yang lebih rendah dari standar minimum cuti 14 minggu yang ditetapkan oleh ILO. Tulisan ini akan membahas mengenai urgensi durasi cuti melahirkan yang memadai bagi pekerja perempuan namun dengan tetap mengakomodir kepentingan pelaku usaha.

Semangat Pemberian Cuti Melahirkan

Cuti melahirkan bagi pekerja perempuan diberikan dengan semangat untuk menyeimbangkan fungsi reproduksi dan penyetaraan kesempatan bekerja bagi perempuan dengan laki-laki. Dengan cuti melahirkan, kaum ibu masih tetap dapat menunjukkan produktivitasnya setelah melahirkan dengan tidak harus berhenti bekerja. Semangat ini yang kemudian dituang ke dalam beragam instrumen hukum hak asasi manusia pada level internasional, di antaranya The Universal Declaration of Human Right, The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, dan The Convention for the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women.

Kemudian, ILO selaku organisasi yang berfokus pada permasalahan perburuhan mewujudkan semangat keseimbangan perempuan sebagai ibu dan pekerja ke dalam Maternity Protection Convention dan Maternity Protection Recommendation (secara berturut-turut selanjutnya disebut sebagai Konvensi dan Rekomendasi). Melalui Konvensi, ILO menekankan bahwa kehamilan --juga tentunya termasuk kelahiran-- bukan hanya merupakan beban seorang ibu semata, namun juga tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Hal ini dapat dipahami karena sesungguhnya kesehatan ibu dan anak merupakan investasi jangka panjang suatu negara.

Pertimbangan tersebut kemudian dijadikan salah satu dasar oleh ILO untuk menetapkan durasi pemberian cuti melahirkan tidak boleh kurang dari 14 minggu di dalam Konvensi. Bahkan, Rekomendasi menyarankan agar negara-negara anggota untuk memperpanjang cuti melahirkan hingga minimal 18 minggu.

Berdasarkan studi terakhir yang dilakukan oleh ILO, 98 dari 185 negara telah menerapkan standar durasi cuti melahirkan yang ditetapkan di dalam Konvensi. Artinya, sudah lebih dari setengah sampel penelitian mematuhi standar yang ditetapkan. Bahkan, 42 dari 98 negara tersebut telah melampaui standar yang ditetapkan oleh Rekomendasi dengan memberikan cuti lebih dari 4 bulan bagi pekerja perempuan yang melahirkan.

Sayangnya, Konvensi dan Rekomendasi belum menjadi rujukan bagi mayoritas negara di Asia Tenggara. Tercatat hanya dua negara di Asia Tenggara yang memberikan cuti melahirkan di atas standar ILO, yakni Vietnam dengan 6 bulan dan Singapura dengan 16 minggu. Indonesia masih berada di bawah standar ILO dan sedikit lebih baik dibandingkan Brunei Darussalam, Malaysia, dan Filipina yang masih memberikan cuti melahirkan kurang dari 12 minggu bagi ibu melahirkan.

Kekhawatiran Pengusaha

Di samping perlindungan terhadap pekerja wanita, ada kepentingan lain yang juga perlu diperhatikan. Sebab, setiap pemberian hak bagi pegawai akan diperhitungkan sebagai production cost bagi pelaku usaha. Pelaku usaha harus mencari pengganti dan membayar gaji pegawai yang cuti agar roda bisnis tetap berjalan. Tentu saja hal ini akan mempertipis marjin keuntungan dari produksi usaha mereka.

Production cost yang besar dapat menjadi faktor bagi industri untuk menutup usahanya di Indonesia dan memindahkannya ke negara lain yang dianggap memiliki biaya yang lebih kecil. Meskipun demikian, penambahan hak pegawai tidak selalu berarti sebagai beban bagi keberlangsungan usaha. Berdasarkan hasil investigasi Detik X pada 26 Juni 2022, pengusaha justru memperoleh keuntungan non-matematis dengan memberikan hak-hak pekerja secara lebih. Para pegawai akan cenderung lebih loyal kepada perusahaan dan bahkan bisa menjadi jauh lebih produktif. Cara berpikir sebab-akibat pemberian hak kepada para pegawai harus diubah.

Jalan Tengah

Pemberian hak cuti melahirkan yang tadinya minimum 3 bulan menjadi 6 bulan tentu akan mengejutkan dunia usaha. Pelaku usaha harus dipaksa untuk merubah besaran komponen hak pegawai yang manfaatnya tidak diterima secara langsung oleh perusahaan. Namun, perlindungan hak-hak pegawai harus menunjukkan perkembangan ke arah yang lebih positif.

Durasi cuti pekerja yang melahirkan setidaknya harus memenuhi standar yang ditetapkan di dalam Konvensi atau bahkan Rekomendasi, namun tetap memperhatikan dunia usaha demi perkembangan kepentingan ekonomi nasional. Masa menjelang pemilu seperti saat ini merupakan momen yang tepat untuk dimanfaatkan oleh rakyat untuk mendapatkan produk hukum yang responsif.

Untuk menghadapi kondisi dilematis ini, kita bisa berkaca pada Vietnam yang sering kali dijadikan kiblat pasar tenaga kerja di Asia Tenggara. Selain itu, Vietnam sebagai negara yang paling progresif dalam memberikan cuti melahirkan juga tidak memukul rata durasi 6 bulan untuk semua pekerja perempuan. Waktu 6 bulan hanya diberikan kepada pekerja perempuan dengan disabilitas. Sementara itu, bagi perempuan yang bekerja di dalam lingkungan normal hanya diberikan cuti melahirkan selama 4 bulan.

Jika perempuan melakukan pekerjaan berat sebagaimana telah ditetapkan oleh undang-undang, maka cuti melahirkan diberikan selama 5 bulan. Namun, satu hal yang pasti adalah adanya jaminan dari undang-undang bahwa pekerja perempuan akan mendapat cuti minimal 2 bulan terhitung sejak melahirkan.

Selain formulasi sebagaimana diterapkan oleh Vietnam, UU KIA bisa saja mengatur kompromi pemberian cuti 6 bulan. Misalkan, pembayaran gaji tidak secara penuh apabila pekerja perempuan mengambil cuti melahirkan lebih dari 4 bulan. Tentu saja, formulasi pemberian gaji dalam cuti terlebih dahulu harus dilakukan pengkajian secara mendalam.

Singkatnya, semangat pemberian cuti melahirkan yang lebih memadai harus didukung. Namun, jangka waktu cuti 6 bulan yang diberikan secara pukul rata akan mengganggu keberlangsungan usaha di Indonesia. Sehingga, perlu ditentukan kriteria tertentu dan formulasi tertentu untuk memberikan durasi waktu cuti yang lebih lama.
Caisa Aamuliadiga Associate Lawyer INTEGRITY Law Firm
Simak Video 'RUU KIA soal Cuti Melahirkan 6 Bulan Sah Jadi Usul Inisiatif DPR':

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT