Langkah pertama yang diambil oleh pemerintah yang kukuh mengurangi anggaran subsidi adalah pembatasan BBM jenis Solar dan Pertalite, setelah sebelumnya menghapus jenis BBM Premiun yang lebih harganya murah.
Pembatasan solar berlaku sebelum kebijakan pembatasan BMM Pertalite dimana satu kendaraan pribadi maksimal membeli 60 liter perhari, kendaraan umum roda empat 80 ribu per hari, dan kendaraan angkutan umum dan barang 200 liter per hari. Transaksi pembelian tidak mudah karena pembeli solar harus membawa dokumen-dokumen yang diperlukan. Bagaimana evaluasi dan hasil dari program tersebut, yang pasti hanya Pertamina, BP-Migas, Kementerian BUMN, dan pemerintah yang tahu.
Dengan asumsi pembatasan distribusi bersyarat tersebut berhasil, kini pembatasan serupa terhadap BBM bersubsidi jenis Pertalite dilakukan. Pemerintah mengeluarkan anggaran lebih besar subsidi Pertalite karena pasca dihapusnya bensin Premium penggunanya dari kendaraan roda dua dan roda empat pindah ke bensin Pertalite. Jelas dengan pengetatan subsidi jenis ini akan menghemat banyak anggaran pemerintah.
Tetapi kebijakan tersebut perlu dikritisi. Sebelum berlakunya kebijakan ini tertanggal 1 juli 2022. Antrean BBM subsidi sudah mengular di POM bensin. Beberapa POM bensin di Bandung Timur tanggal 29/6/2002 kehabisan stok dari pagi hari di mana biasanya stok BBM masih melimpah.
Mencederai Keadilan
Pemerintah secara mengejutkan mengumumkan bahwa BBM bersubsidi bisa dibeli melalui aplikasi MyPertamina milik BUMN Pertamina. Pembeli diharuskan register data diri, nomor STNK, dan foto kendaraan. Cara ini tampaknya canggih, tapi justru menimbulkan masalah baru.
Persoalannya bagaimana layanan pemerintah tersebut bisa berlaku adil pada semua masyarakat? Tujuan pemerintah agar BBM bersubsidi diterima oleh yang berhak justru mengalienasi kelompok tersebut dari layanan mendapatkan produk yang diinginkan. Artinya keadilan distributif tidak akan tercapai karena yang siap untuk melakukan transaksi terbatas. BBM subsidi hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu yang mempunyai akses dan device.
Penggunaan aplikasi sendiri berisiko menimbulkan ketidakadilan. Tidak ada data yang menunjukkan bahwa semua masyarakat Indonesia yang layak dan berhak menerima subsidi BBM mempunyai telepon pintar yang dapat diinstal aplikasi MyPertamina. Agar semua setara dapat mengakses layanan tersebut, pemerintah wajib mengalokasikan dana pembelian alat melalui skema dana service obligation.
Mensubsidi telepon pintar agar dapat akses yang fair untuk semua warga yang memerlukan selain tidak masuk akal juga tak akan mampu dilakukan pemerintah. Akibatnya orang yang tak memiliki fasilitas telepon pintar terpaksa membeli BBM non subsidi di atas kemampuan ekonominya. Beban akibat ketidakadilan ini akan semakin memberatkan ekonomi masyarakat.
Selanjutnya akan ada ketidakadilan dalam hal service atau layanan; di satu sisi pembeli BBM bersubsidi perlu scan data dan memerlukan waktu lebih lama dibanding dengan pembeli BBM non subsidi. Satu kelas sosial yang tidak mampu diperlakukan dengan berbeda dengan kelompok pembeli lain yang mampu.
Ditinjau Ulang
Kebijakan pemerintah yang melahirkan ketidakadilan sudah seharusnya ditinjau ulang. Tidak seharusnya pemerintah menambah beban baru masyarakat, di mana masyarakat pelosok Indonesia Timur hari ini belum menerima keadilan dalam bentuk keadilan harga yang setara dengan di Pulau Jawa.
Apalagi di tengah beban masyarakat akibat pandemi berkepanjangan belum sepenuhnya pulih normal. Kebijakan yang masyarakat perlukan adalah kestabilan harga-harga kebutuhan pokok dan kemudahan-kemudahan layanan pemerintah sehingga masyarakat bisa segera bangkit. Kebijakan yang terkesan menyulitkan dan memberi beban baru selayaknya dihindari dulu.
Sebagai BUMN ada kewajiban untuk menyetor deviden kepada negara untuk membiayai pembangunan. Tapi BUMN tidak diharamkan rugi karena BUMN selain memiliki bisnis juga memiliki fungsi pelayanan publik. Skema yang adil bagi kepentingan masyarakat selayaknya mendapatkan prioritas pemerintah di atas kepentingan keuntungan korporasi dan pengurangan beban subsidi.
Bagaimanapun tujuan dari subsidi sejak diberlakukan oleh pemerintah mulai Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi tetap menempatkan penjualan harga BBM tertentu di bawah harga pasar minyak dunia untuk mengurangi beban masyarakat.
Karena dengan mengacu kepada harga pasar ekonomi kita belum siap, sehingga pemberlakuan harga pasar minyak dunia sepenuhnya akan menyebabkan inflasi yang berakibat kepada naiknya harga-harga komoditas primer di pasar. Kestabilan ekonomi lebih menguntungkan pemerintah daripada inflasi yang tidak terkendali yang justru akan menempatkan pemerintah dalam dilema baru.
Abdul Holik dosen STIE Tridharma
(mmu/mmu)