Darurat Kekerasan Seksual dan UU TPKS

Kolom

Darurat Kekerasan Seksual dan UU TPKS

Amiruddin al-Rahab - detikNews
Rabu, 13 Jul 2022 17:40 WIB
Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab
Anggota Komnas HAM RI, Amiruddin al-Rahab (Hilda Meilisa Rinanda/detikcom)
Jakarta -

Kekerasan seksual sungguh menjadi momok di Indonesia kini. Itu kenyataan pahit yang menampar wajah kita bersama.

Menghadapi momok kekerasan seksual itu negara telah mengesahkan UU No.12/2022 yang perlu diterapkan secara lex-specialis. Menurut UU No.12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), kekerasan seksual dinyatakan sebagai kejahatan yang harus dipidana. Makannya, ia menjadi permasalahan hak asasi manusia yang mendesak untuk diatasi.

Bayangkan, kejahatan itu terjadi di dalam lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan. Seperti sekolah berasrama atau yang menyerupai pesantren, nan kini menjadi mode dalam penyelenggaraan pendidikan di beberapa daerah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jika disimak penuturan dari para korban yang muncul di media-media massa tampak ada semacam pola perlakuan kepada korban. Pada awalnya korban diperdaya dengan iming-iming beasiswa dan bantuan ekonomi, kemudian ditekan agar menutup mulut, jika melawan, diperlakukan secara kasar, ditakut-takuti, serta diancam.

Kejahatan seksual adalah rantai relasi kuasa

Para terduga pelaku itu, kerap pula tampil sebagai orang-orang terpandang di masyarakat. Terduga pelakunya sebagian besar adalah bisa pengajar, pengurus, bahkan pemilik dari berbagai lembaga penyelenggara pendidikan jenis tersebut.

ADVERTISEMENT

Peristiwa yang terjadi di Jombang misalnya, terduga pelaku adalah anak pemilik pesantren yang sekaligus adalah menjadi wakil rektor. Polisi butuh waktu hampir setahun lebih untuk bisa menangkapnya.

Di Depok, terduga pelaku adalah para pengajar di sekolah bermodel pesantren. Di Banyuwangi, terduga pelaku adalah pemilik sekolah bermodel pesantren yang sekaligus seorang politisi. Di Malang, terduga pelaku adalah pemilik sekolah model berasrama, yang sekaligus menjadi seorang motivator ternama, serta kerap tampil di layar kaca. Di Bandung, terduga pelakunya adalah pemilik sekolah berasrama yang telah menjalankan belasan tahun sekolahnya.

Korbannya adalah anak-anak perempuan. Latar belakang keluarga dari anak-anak tersebut secara sosial-ekonomi kerap dari keluarga kurang mampu. Orang-orang tua mereka berharap anak-anak mereka bisa memperbaiki kondisi perekonomian keluarga melalui sekolah yang mereka anggap baik karena ada sosok tokoh yang telah mengulurkan tangan membantu mendidik anaknya.

Dari contoh-contoh di atas tampak dua hal, yaitu pertama relasi antara pelaku dengan anak-anak yang menjadi korban adalah relasi kuasa yang begitu kuat. Para pelaku kuat secara sosial, karena memiliki pengaruh, tampak terhormat dan mampu secara ekonomi. Bahkan terduga pelaku ada yang memiliki massa pendukung. Sementara korban berada dalam posisi underdog, dan kalah dari sisi apa pun ketika berhadapan dengan pada pelaku.

Selama ini, kejahatan seksual yang terjadi dalam jejaring kuasa tersebut kerap dianggap tidak pernah ada oleh masyarakat. Para terduga pelakunya pun mudah berlindung di balik topeng kuasa yang mereka miliki. Jika pun ada yang mencuat kepermukaan, korbannya lebih sering ditekan dan dipersalahkan. Atau perkaranya diselesaikan di balik layar, atas nama didamaikan.

Hari ini sejak UU tentang Tindak Pidana Kejahatan Seksual (TPKS) disahkan, maka perbuatan kejahatan seksual adalah tindakan kriminal yang harus dihukum. UU TPKS ini harus digunakan sebagai sarana untuk mematahkan rantai kuasa yang membelit kekerasan seksual yang kerap terjadi itu.

Jenis pidana kekerasan seksual

Perbuatan yang termasuk kejahatan seksual itu ada 9 perbuatan yaitu pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan seterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

Selain itu juga meliputi perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan dan perbuatan cabul terhadap anak atau eksploitasi seksual anak. Perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban. Pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang memuat kekerasan seksual dan eksploitasi seksual. Pemaksaan pelacuran.

Perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual. Kekerasan seksual dalam rumah tangga. Pencucian uang yang tindakan asalnya dari kekerasan seksual. Serta tindak pidana lain yang secara tegas dinyatakan sebagai tindak pidana kekerasan seksual menurut Perundang- undangan.

Perbuatan-perbuatan tindak pidana kekerasan seksual tersebut pelakunya bisa diganjar hukum kurungan 4 tahun sampai 15 tahun dan denda Rp 1 Milyar. Jika melibatkan korporasi bisa didenda Rp. 5 Milyar lebih.

Aktor kunci untuk menindak pelaku kekerasan seksual adalah Polisi. Dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan aparatur Polisi harus sangat berhati-hati memperlakukan korban dan saksi korban. Begitu pula Jaksa dan Hakim ketika proses pemberian keterangan oleh korban di Pengadilan. UU TPKS memberikan hukum acara tersendiri yang bisa dipakai untuk melindungi korban dan saksi.

Sudah saatnya, kini seluruh aparatur negara, khususnya aparat penegak hukum perlu bergegas menjalankan UU TPKS ini. Persoalan-persoalan TPKS sudah di puncak hidung. Serta saban hari terjadi, dan muncul silih berganti di berbagai daerah.

Seturut UU TPKS, ujung tombak pengimplementasian UU TPKS, terutama untuk sosialisasi dalam rangka pencegahan dan pemantauan adalah Kementerian PPA. Kementerian perlu segera membereskan aturan hukum yang menjadi aturan turunan dari UU, agar instansi-instansi lain bisa memakainya sebagai pedoman pelaksanaan. Koordinasi dengan Pemda-Pemda juga perlu dipercepat, demi pelayanan kepada korban di berbagai daerah itu bisa berjalan dengan seksama.

Komnas HAM dan Komnas Perempuan, KPAI serta KDN sebagai lembaga yang diamanatkan UU untuk melakukan pemantauan harus terus-menerus dilibatkan dalam setiap tahap perkembangan oleh KemPPA dan Kepolisian. Itu diperlukan agar penerapan UU TPKS juga tidak mencederai HAM, serta pengadilannya berjalan fair.

Langkah cepat, kini diperlukan demi melindungi harkat dan martabat kemanusian anak-anak, khususnya perempuan, yang potensial menjadi korban. Mencegah kejahatan seksual dan menindak pelakunya sesuai hukum yang ada, merupakan upaya untuk melindungi dan memenuhi hak azazi manusia tiap-tiap warga negara, terutama korban.

Sekarang sudah saatnya kita menyatakan secara bersama-sama tidak ada tempat berlindung bagi pelaku tindak pidana kekerasan seksual. Kehadiran UU TPKS ini harus dimaknai sebagai upaya meningkatkan peradaban kita sebagai bangsa dalam memperlakukan anak-anak perempuan dan sekaligus perempuan pada umumnya.

Amiruddin al-Rahab
Dosen FH Universitas Bhayangkara Jaya
Anggota Komnas HAM- RI

Simak juga 'Poin-poin Penting UU TPKS yang Perlu Diketahui':

[Gambas:Video 20detik]



(dnu/dnu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads