Gelombang Kejut Tiongkok di Era Antariksa Kedua
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Gelombang Kejut Tiongkok di Era Antariksa Kedua

Selasa, 12 Jul 2022 18:00 WIB
Imron Rosyadi Hamid
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Gelombang Kejut Tiongkok di Era Antariksa Kedua
Foto: Dok. China Media Group
Jakarta -

John Hickman (2019) pernah menulis penelitian berjudul 'International Relations and The Second Space Race Between The United States and China' untuk menggambarkan perlombaan kemajuan teknologi luar angkasa antara Amerika Serikat dengan Tiongkok setelah berakhirnya perang dingin dalam studi hubungan internasional. Sebagai negara yang menjadi penopang utama ekonomi dunia dan memiliki penguasaan teknologi canggih, persaingan Tiongkok dan Amerika Serikat sering digambarkan guru besar Harvard University Graham T. Alisson dalam Destined For War (2019) sebagai model hubungan kekuatan baru (emerging power) yang mengancam kekuatan lama (established power), dan berpotensi terjerembab pada jebakan Thucyidides sebagaimana rivalitas antara Athena dan Sparta yang berujung perang Peloponesian di 431 SM.

Tulisan ini ingin menggambarkan bagaimana Tiongkok, sebagai kekuatan baru dunia melakukan lompatan-lompatan kemajuan iptek dan mengirimkan gelombang kejut (shockwave) di bidang antariksa ke seluruh dunia.

Senada dengan Hickman, Todd Harrison dkk menulis hal yang sama dengan judul Escalation And Deterrence in the Second Space Age (CSIS, 2017) telah menyinggung kemampuan Tiongkok meluncurkan senjata anti satelit langsung (ASAT) modifikasi rudal balistik jarak menengah DF-1 dari stasiun peluncuran di Xichang. Hasilnya, sebuah satelit cuaca milik Tiongkok yang sudah tidak berfungsi hancur menjadi dua ribu enam ratus kepingan besar dan seratus lima puluh ribu kepingan kecil.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kekhawatiran Amerika Serikat terhadap kemampuan teknologi Tiongkok di era antariksa kedua kini semakin meningkat. Amerika Serikat melarang lembaga antariksanya, NASA, untuk bekerja sama dengan Tiongkok dengan berbagai alasan. Negeri adidaya tersebut sepertinya akan terus mengekang dan menekan Tiongkok dalam pengembangan iptek termasuk bidang antariksa. Meskipun negeri Tirai Bambu itu justru membuka diri untuk membuat kerja sama pengembangan iptek dengan negara lain.

Era antariksa kedua (second space age) yang dimulai sejak Tahun 1991 hingga sekarang, disematkan untuk menandai era baru penggunaan kemajuan teknologi luar angkasa untuk tujuan komersial, lingkungan, geopolitik dan militer. Era antariksa pertama (first space age) diawali 1957 ketika Uni Soviet meluncurkan Sputnik-1 sebagai satelit pertama buatan manusia yang beredar di orbit bumi dan diikuti Amerika Serikat dengan mengirimkan Neil Armstrong sebagai manusia pertama yang menginjakkan kaki di bulan 20 Juli 1969 menandai terjadinya perlombaan 'penguasaan' antariksa antara Negeri Paman Sam dengan Negeri Beruang Merah.

ADVERTISEMENT

Di luar kedua negara superpower tersebut, Tiongkok telah memulai capaian perdananya di Tahun 1970 ketika berhasil meluncurkan Dongfanghong-1, dan membuat Negeri Tirai Bambu ini menjadi negara kelima di dunia yang mampu membuat satelit sendiri.

Tiongkok dan Visi Pembangunan Antariksa

Gelombang Kejut Tiongkok di Era Antariksa KeduaWahana antariksa Chang'e 4 di bulan Foto: Dok. China Media Group

Eksplorasi Tiongkok di bulan, dilakukan secara berseri sejak Tahun 2007 melalui misi Chang'e-1 dan dilanjutkan dengan keberhasilan Chang'e-3 di Tahun 2013 mendaratkan robot luar angkasa Yutu di Bulan, dan menjadikan Tiongkok memiliki milestone baru sebagai negeri ketiga di dunia yang berhasil membawa misi luar angkasa di satelit alam bumi tersebut. Di Tahun yang sama, pada 24 Juli 2013 Presiden Tiongkok, Xi Jinping, melangsungkan pembicaraan video dengan tiga astronot Tiongkok yang berada di stasiun ruang angkasa Tiangong-1, dan menyampaikan visi pemerintahannya di bidang pembangunan antariksa dengan menyatakan bahwa penguasaan teknologi luar angkasa adalah bagian dari mimpi untuk membuat negaranya lebih kuat dan akan mengembangkan program yang akan membuat masyarakat Tiongkok mampu menjelajah lebih jauh ke luar angkasa.

Xi Jinping juga menetapkan tanggal 24 April sebagai Hari Antariksa China, mengacu hari keberhasilan misi antariksa Dongfanghong-1 empatpuluh enam tahun sebelumnya. Pada tahun 2018, Tiongkok juga berhasil mengorbitkan satelit Beidou terakhirnya sebagai sarana pelacakan lokasi yang canggih untuk mengimbangi capaian Amerika Serikat dalam hal Sistem Pemosisian Global (GPS). Setahun berikutnya, Tiongkok juga berhasil menjadi negara pertama di dunia yang mampu menyentuh titik terjauh, atau yang dikenal sebagai sisi gelap bulan (moon's dark side) ketika robot misi luar angkasanya, Change'e-4 (CE-4) berhasil mendarat di Von Karman Crater di bulan.

Tahun 2020 Tiongkok juga berhasil meluncurkan Chang'e-5 dari tempat peluncuran antariksa Wenchang di Propinsi Hainan. Ini merupakan misi kelima yang dilakukan Tiongkok untuk melakukan eksplorasi antariksa dengan mengumpulkan material luar angkasa untuk membantu memberikan informasi kepada para ilmuwan agar lebih memahami asal-usul bulan. Tidak berhenti di situ, pada 14 Mei 2021 Tiongkok juga berhasil mendaratkan Tianwen-1 di Mars dan menjadi satu-satunya negara setelah Amerika Serikat yang mampu menempatkan robot penjelajah di planet yang menjadi tetangga terdekat bumi tersebut.

Kerja Sama Internasional di Antariksa: Geopolitik dan Aliansi Antariksa

Gelombang Kejut Tiongkok di Era Antariksa KeduaStasiun ruang angkasa China Tiangong Foto: Dok. China Media Group

Rivalitas Tiongkok dan Amerika Serikat di antariksa tidak sekadar menjadi tantangan masyarakat internasional agar keduanya tidak terlibat pada upaya memperkuat kemampuan militer dan ekonomi di luar angkasa (intelijen, sistem alarm misil, dsb). Akan tetapi juga memunculkan harapan tentang potensi kerja sama internasional untuk tujuan-tujuan damai dan pengembangan ilmu pengetahuan yang lebih adil dan berimbang. Meskipun akan mengarah pada terbentuknya aliansi di luar angkasa yang mencerminkan garis geopolitik di bumi.

Ketika Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) yang diluncurkan di Tahun 998 atas kerja sama lima negara, yang terdiri dari Amerika Serikat (NASA), Rusia (Roscosmos), Jepang (JAXA), Eropa (ESA), dan Kanada (CSA), ada perlakuan diskriminatif terhadap Tiongkok. Nectar Gan dan Westcott (2017) dalam US-China Rivalry is Extending from Earth to Space menyebutkan bahwa selama ISS berdiri, rumah antariksa ini telah dikunjungi oleh lebih dari 200 awak luar angkasa dari 19 negara minus Tiongkok.

Pengecualian tersebut telah mendorong Beijing untuk membangun stasiun luar angkasanya sendiri, Tiangong, yang diharapkan akan selesai pada akhir tahun ini - dua tahun sebelum ISS dijadwalkan akan pensiun pada tahun 2024. Tiongkok juga telah menyampaikan keinginannya untuk menawarkan kerja sama dengan astronot asing di stasiun luar angkasanya jika rampung pada tahun 2022 ini.

Gelombang Kejut Tiongkok di Era Antariksa KeduaTaikonauts, astronot wanita pertama Tiongkok yang menempati stasiun Tiangong Foto: Dok. China Media Group

Tidak itu saja, Tiongkok juga siap bergandengan tangan dengan Rusia untuk membangun stasiun penelitian bersama di kutub selatan bulan pada tahun 2035 - sebuah fasilitas yang akan terbuka untuk partisipasi internasional. Aksi Tiongkok ini sebagai penyeimbang munculnya perjanjian Artemis Accords, yang dirilis oleh NASA pada 2020 dan telah ditandatangani oleh 12 negara, termasuk AS dan sekutu utamanya seperti Inggris, Australia, Kanada, Jepang, dan Korea Selatan dan diproyeksikan akan selesai pada tahun 2025.

Terlepas dari kuatnya rivalitas Tiongkok dan Amerika Serikat di angkasa, kita semua berharap aliansi apapun yang dibuat oleh negara-negara maju dunia di luar angkasa tidak akan menimbulkan malapetaka buat dunia. Tetapi justru akan memberikan kemanfaatan bagi umat manusia. Wallahu a'lam bi as shawab.

Imron Rosyadi Hamid, Rektor Universitas Islam Raden Rahmat Malang/Kandidat PhD. Hubungan Internasional Jilin University China.

(akd/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads