Akhir-akhir ini mengenai cuti sedang hangat dibicarakan. Adapun yang menjadi hangat adalah akan diaturnya cuti melahirkan menjadi enam bulan pada Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu Dan Anak (RUU KIA).
Pada hakikatnya, cuti merupakan hak normatif karena telah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Namun apabila cuti melahirkan menjadi enam bulan tersebut disahkan, maka otomatis akan mengubah ketentuan yang telah ada dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan maksimal tiga bulan.
Pada hakikatnya, cuti merupakan hak normatif karena telah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Namun apabila cuti melahirkan menjadi enam bulan tersebut disahkan, maka otomatis akan mengubah ketentuan yang telah ada dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan maksimal tiga bulan.
Menurut hemat saya, pengaturan mengenai cuti ini sudah saatnya dibenahi. Karena pengaturan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang tidak menyeluruh (komprehensif) sehingga menimbulkan multipersepsi. Dalam pelaksanaan hubungan kerja yang saya ketahui ada berbagai macam cuti selain cuti tahunan dan cuti melahirkan yang telah diatur.
Adapun cuti lainnya yang dimaksud adalah cuti bersama, cuti istimewa, cuti panjang, cuti di luar tanggungan, dan cuti gratis --merujuk Undang-Undang Ketenagakerjaan dapat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama. Karena diatur secara masing-masing, tidak ada best practice (praktik terbaik) dan cenderung diatur sesuai keinginan perusahaan.
Cuti Bersama
Seperti cuti bersama, banyak perusahaan yang mengatur secara opsional kepada pekerja untuk dapat mengajukan cuti atau tidak mengajukan cuti sesuai dengan tanggal yang dijadikan cuti bersama oleh pemerintah melalui surat edaran. Namun ada pula perusahaan yang mengatur cuti bersama yang pekerja mau tidak mau harus mengajukan sehingga mengurangi jumlah cuti tahunan.
Ada juga perusahaan yang menerapkan tidak semua tanggal yang menjadi cuti bersama diperhitungkan dengan mengurangi cuti tahunan, melainkan ada beberapa tanggal dalam cuti bersama tersebut menjadi cuti gratis atau tidak mengurangi jumlah cuti tahunan.
Cuti Istimewa
Dapat diajukan pekerja apabila harus melakukan sesuatu yang khusus seperti pekerja menikah atau menikahkan anak, sedang berduka atau keluarga sedarah yang meninggal, pekerja keguguran, pekerja sedang haid.
Namun dalam praktiknya apabila pekerja masih dalam masa percobaan, kadangkala jumlah hari dalam cuti ditentukan oleh perusahaan meskipun sudah diatur dalam Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama. Bahkan apabila pekerja dalam masa percobaan tersebut ingin mengajukan jumlah cutinya lebih dari yang ditentukan malah akan memotong upah atau sebagai cuti di luar tanggungan.
Cuti Panjang
Dalam praktiknya di kebanyakan perusahaan hanya sebagai tekstual belaka atau belum dapat diterapkan meskipun telah diatur dalam Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama. Alasannya, apabila pekerja mengambil cuti panjang, maka tidak ada pekerja lainnya yang melakukan back up ataupun ratan jika harus melakukan perekrutan pekerja harian sebagai pengganti sementara waktu.
Cuti di Luar Tanggungan
Cuti di luar tanggungan ini dalam masa pandemi Covid-19 sering dijadikan alasan perusahaan merumahkan pekerja tanpa memberikan upah. Padahal sejatinya cuti di luar tanggungan ini adalah cuti yang diberikan kepada pekerja apabila jumlah cuti tahunan telah habis dengan ketentuan melakukan pemotongan upah secara pro rata.
Rekomendasi
Berdasarkan hal-hal di atas karena tidak adanya pedoman pengaturan cuti selain cuti tahunan dan cuti melahirkan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, maka layak pemerintah untuk segera melakukan pembenahan aturan cuti dengan mengatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Seperti cuti melahirkan yang akan menjadi enam bulan apabila RUU KIA disahkan, maka otomatis pengaturan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan harus dilakukan penyesuaian dan harus berlaku secara adil. Sehingga seharusnya cuti melahirkan tersebut dapat menimbulkan cuti lainnya tidak hanya bagi kalangan perempuan sebagai ibu, tetapi juga bagi kalangan pria sebagai ayah. Cuti lainnya yang dimaksud adalah cuti akhir pekan dalam tanggungan (setiap hari Jumat) selama enam bulan dirasa cukup memberikan keadilan agar peran ayah juga maksimal dalam tumbuh kembang anak dari melahirkan hingga anak berusia enam bulan.
Selain itu, untuk mengakomodasi jenis cuti lainnya diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, maka terlebih dahulu pemerintah mengatur definisi dari jenis cuti yang sering dilaksanakan dalam hubungan kerja pada bagian Ketentuan Umum sehingga menciptakan kesamaan persepsi antara pihak perusahaan dan pekerja terkait dan menghindari penciptaan definisi baru dari masing masing. Misalkan definisi cuti bersama, apakah akan mengurangi cuti tahunan atau tidak, maka harus ditegaskan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, bukan dalam edaran yang bukan merupakan peraturan perundang-undangan.
Diharapkan dengan telah diaturnya definisi terkait cuti dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, tidak akan terjadi kembali kesalahpahaman dalam pelaksanaan cuti. Seperti istilah cuti di luar tanggungan (unpaid leave) yang selama ini dipergunakan dalam merumahkan pekerja selama pandemi.
Johan Imanuel praktisi hukum ketenagakerjaan
Simak Video 'RUU KIA soal Cuti Melahirkan 6 Bulan Sah Jadi Usul Inisiatif DPR':
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini