Kolom

Kejahatan Seksual dan Tantangan Pelayanan Publik

Efendik Kurniawan - detikNews
Selasa, 12 Jul 2022 14:00 WIB
Efendik Kurniawan (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -
Publik sempat dibuat "jengkel" atas dugaan perbuatan pelecehan seorang laki-laki yang dilakukan kepada seorang wanita di dalam kereta api. Tepatnya, kejadian itu terjadi di dalam kereta api Argo Lawu jurusan Solo-Jakarta pada 19 Juni 2022. Kejadian ini viral karena korban sempat merekam kejadian yang tidak mengenakkan tersebut.

Padahal, beberapa kali korban sudah melakukan peneguran kepada pelaku. Sampai pada akhirnya, korban meminta kepada kondektur untuk meminta pindah tempat duduk. Terdapat dua hal yang hendak dibahas dalam tulisan ini, yakni terkait tantangan pelayanan publik PT KAI dan proses hukum yang dapat ditempuh oleh PT KAI.

Tantangan Pelayanan

PT KAI dihadapkan pada kewajiban yang tidak hanya untuk mengantarkan penumpang dari satu kota ke kota lainnya, tetapi juga berkewajiban untuk menjaga keselamatan dan ketertiban penumpang di dalam kereta api selama perjalanan. Tugas itu masuk dalam lingkup pelayanan publik yang harus diemban oleh PT KAI sebagai badan usaha penyelenggara sarana kereta api di Indonesia.

Sejarah mencatat bahwa wajah pelayanan penumpang di dalam kereta api sudah berubah. Hal ini dapat dilihat pada rekam jejak pelayanan di dalam kereta api yang dulu dapat dikatakan "semrawut". Misalnya, banyak pedagang asongan berjualan di dalam kereta api, penumpang naik di atas gerbong, penumpang tidur di lantai atau bordes, dan penumpang berdiri di toilet. Hal itu seolah-olah sudah menjadi pemandangan yang "lumrah" dalam setiap perjalanan kereta api.

Namun, kondisi saat ini sudah jauh sangat berubah. Sudah tidak ada lagi kondisi "semrawut" yang dikatakan "lumrah" tersebut. Kondisi seperti ini patut diapresiasi atas kerja keras PT KAI dalam menjaga dan meningkatkan pelayanan publik. Tetapi, baru-baru ini pelayanan publik di dalam kereta api sedikit terciderai oleh perbuatan salah satu penumpang yang membuat penumpang lain tidak nyaman. Perbuatan ketidaknyamanan itu yakni berupa kejahatan pelecehan seksual melakukan "grepe-grepe".

Atas kejadian ini, PT KAI langsung mengambil sikap tegas yakni menjatuhkan sanksi blacklist kepada laki-laki tersebut untuk tidak dapat menggunakan layanan kereta api di kemudian hari. Penjatuhan sanksi administratif ini sebagai upaya jera kepada pelaku untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. Serta, menjaga citra PT KAI di hadapan masyarakat. Bahwa, PT KAI tidak mentoleransi perbuatan-perbuatan apapun yang berhubungan dengan kejahatan kekerasan seksual.

Tetapi, melihat pada fenomena tersebut, PT KAI harus lebih tanggap dengan upaya-upaya pencegahan. Penjatuhan sanksi yang diberikan itu hanya bersifat individual. Dalam hal pencegahan yang lebih bersifat general juga harus dilakukan oleh PT KAI. Misalnya, dalam pelayanan aplikasi KAI ACCESS sebagai salah satu media untuk pembelian tiket, diberikan ruang untuk gerbong berdasarkan jenis kelamin. Sehingga, calon penumpang kereta api dapat memilih jenis gerbong pada jenis kelamin yang sama.

Dalam hal transportasi publik dengan membedakan jenis kelamin ini sudah diimplementasikan pada busway dan KRL. Dengan kata lain, terhadap pelayanan KA jarak jauh, konsep ini dapat dikembangkan. Selain itu, konsep ini juga sebagai wujud dari implementasi nilai-nilai AKHLAK BUMN, yang salah satunya adalah "Adaptif". Maksud dari Adaptif adalah terus berinovasi dan antusias dalam menggerakkan ataupun menghadapi perubahan.

Tindak Pidana

Apabila melihat pada video yang viral tersebut, perbuatan pelaku dapat dikatakan memenuhi unsur delik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a UU TPKS dan/atau Pasal 281 ke-2 KUHP. Melihat unsur Pasal 6 huruf a UU TPKS, yang menyatakan:

Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Sedangkan, unsur Pasal 281 ke-2 KUHP menyatakan: Diancam dengan penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak lima ratus rupiah: ke-2 barang siapa dengan sengaja dan di muka orang lain yang ada di situ bertentangan kehendaknya, melanggar kesusilaan.

Terdapat perbedaan konsep dari Pasal 6 huruf a UU TPKS dan Pasal 281 ke-2 KUHP tersebut. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a UU TPKS disebut sebagai delik aduan (vide Pasal 7 ayat (1) UU TPKS), sedangkan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 ke-2 KUHP disebut sebagai delik biasa (umum). Hukum pidana membedakan konsekuensi yuridis suatu tindak pidana tergolong pada delik aduan atau delik biasa.

Apabila tindak pidana tergolong pada delik aduan, maka yang mempunyai kewenangan penuh untuk membuat laporan (aduan) atas tindak pidana tersebut adalah orang yang dirugikan langsung (korban langsung). Masyarakat (umum) di luar korban tindak pidana tidak mempunyai hak untuk membuat laporan. Sedangkan, pada tindak pidana yang tergolong pada delik biasa (umum), semua orang punya hak untuk membuat laporan, meskipun bukan sebagai korban langsung dari tindak pidana yang terjadi.

Sisi filosofi dari beberapa tindak pidana yang tergolong dalam delik aduan, yaitu kewenangan untuk memulai proses hukum pidana diserahkan sepenuhnya kepada korban, yakni untuk dilakukan proses secara hukum atau tidak. Pertimbangannya pada bahwa tingkat kerugian yang akan diderita oleh korban, apakah jauh lebih besar ketika perkara tersebut tidak diproses secara hukum atau diproses secara hukum.

Korban di beberapa pemberitaan menyatakan tidak akan melakukan proses hukum atas kejadian yang tidak mengenakkan ini. Tetapi, PT KAI sudah menjatuhkan berupa sanksi administratif kepada pelaku berupa blacklist di setiap layanan PT KAI. Namun, apabila PT KAI juga masih mau mengambil sikap lebih tegas atas kejadian ini kepada proses hukum, maka masih tersedia ruang untuk melakukan itu.

Dalam konteks ini dapat membuat laporan dengan dugaan terjadi tindak pidana melanggar ketentuan Pasal 281 ke-2 KUHP. Pertimbangan untuk menggunakan ketentuan ini, yaitu; pertama, dari unsur delik yang tercantum yaitu perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kepada korban itu dilakukan dengan sengaja dan di dalam kereta api, yang termasuk dalam ruang publik yang bisa dilihat oleh orang lain atau di muka orang lain.

Kedua, korban merasa tidak nyaman dan terganggu atas perbuatan pelaku tersebut. Sehingga, unsur bertentangan dengan kehendak orang yang di situ terpenuhi. Ketiga, delik ini termasuk pada delik biasa, sehingga subjek hukum lain yang bukan dari korban langsung dapat membuat laporan atas tindak pidana tersebut. Keempat, tindak pidana ini termasuk pada delik biasa, sehingga setiap subjek hukum dapat membuat laporan.

Dengan demikian, secara normatif telah dibuka ruang untuk PT KAI membuat laporan atas terjadinya kejadian ini. Hal ini juga sebagai wujud keseriusan PT KAI untuk menjaga citra baik perusahaan dalam hal pelayanan publik dan tidak tolerir terhadap kejahatan-kejahatan yang terjadi di lingkup PT KAI.

Efendik Kurniawan, S.H, M.H Staf Hukum Daop 8 Surabaya PT Kereta Api Indonesia
Simak juga 'Syarat Naik Kereta Api Terbaru: Wajib Antigen/PCR Jika Belum Booster':






(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork