Ironi Kinerja Belanja Daerah
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Ironi Kinerja Belanja Daerah

Senin, 11 Jul 2022 15:06 WIB
Imron Rosyadi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi fokus (bukan buat insert) Kontroversi Anggaran DKI (Ilustrator: Luthfy Syahban/detikcom)
Ilustrasi: Luthfy Syahban/detikcom
Jakarta -

Kinerja serapan anggaran daerah menjadi sorotan pemerintah pusat dan publik. Pasalnya, masih banyak pemerintah daerah (pemda) yang mengendapkan dana belanjanya di bank. Tak pelak, Menkeu Sri Mulyani merasa kesal lantaran akselerasi belanja modal pemda terlalu lemot. Bahkan Bu Menteri menggunakan diksi "ironis" untuk mengungkapkan kekesalannya itu.

Menurut data yang dirilis Kemenkeu (2022), Dana Transfer Daerah dan Dana Desa (TKDD) pada APBN 2022 disepakati sebesar Rp 769,6 triliun. Sementara, dana daerah yang masih "diparkir" di bank hingga akhir Mei 2022 mencapai Rp 200 triliun. Angka ini jauh lebih besar dari realisasi anggaran 2021 (Rp 172 triliun) dan realisasi anggaran 2020 (Rp 165 triliun).

Adapun provinsi yang paling besar memarkirkan dana daerahnya di bank, urutan teratas diduduki Jawa Timur dengan nilai mencapai Rp 24,1 triliun. Kemudian diikuti Jawa Tengah, Jawa Barat, Papua, DI Aceh, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta. Serta urutan paling buncit ditempati Kepulauan Riau (Rp 1,07 triliun).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bukan Soal Remeh

Merujuk data-data di atas, berarti dari tahun ke tahun tren pengendapan dana daerah mengalami peningkatan. Kondisi ini bisa saja dimaknai pertumbuhan belanja daerah mengalami penurunan (y-on-y). Kemenkeu (2022) mencatat belanja pemda secara keseluruhan mengalami pertumbuhan minus 17 persen (y-on-y). Yakni, dari nilai belanja Rp 270 triliun menjadi Rp 223 triliun.

Ironis memang, sebagaimana ungkapan kekesalan Menkeu. Sebab, di saat rakyat membutuhkan infrastruktur dasar, seperti sarana mandi, cuci, dan kakus (MCK), pemda justru membiarkan dana belanjanya "menganggur". Apalagi dana itu sejatinya bisa dimanfaatkan untuk membangkitkan ekonomi rakyat daerah yang belum sepenuhnya pulih akibat pukulan pandemi Covid-19.

ADVERTISEMENT

Pengendapan dana anggaran yang terlalu lama tentu tidak boleh dipandang remeh. Ini persoalan krusial yang tidak hanya sekadar pengalokasian belanja pemda an sich, melainkan dampak yang ditimbulkan terhadap keberlangsungan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Misalnya saja proyek-proyek produktif yang seharusnya dapat menstimulus geliat ekonomi kerakyatan menjadi terganggu karena dana yang digunakan untuk mendanai proyek itu tidak kunjung cair.

Fungsi APBD sebagai instrumen kebijakan yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Sehingga penyusunan APBD pun harus mencerminkan kebutuhan riil masyarakat dan disesuaikan dengan keunggulan, karakteristik/kekhasan, dan potensi yang dimiliki masing-masing daerah.

Di sisi lain, problem itu akan semakin 'runyam' apabila dikaitkan dengan dana perimbangan pemerintah pusat dan daerah yang salah satu instrumennya adalah dana alokasi umum (DAU). Menurut UU No. 33/2004, DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Interpretasinya, DAU itu tidak boleh disimpan terlalu lama di bank, karena dana itu bersifat block grand, yang berarti penggunaannya diserahkan kepala daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

Logikanya, karena DAU itu dikucurkan atas permintaan daerah untuk memenuhi hajatnya di daerah, tidak elok jika dana itu diendapkan dan/ atau tidak segera dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan, yang sebelumnya telah diajukan dan disetujui oleh pusat.

Produktivitas Rendah

Menurut hemat saya, mengendapnya dana anggaran belanja daerah mengindikasikan sejumlah hal penting. Pertama, produktivitas anggaran sangat rendah. Anggaran yang tidak terserap selama satu tahun anggaran mengindikasikan pemda kurang produktif dalam mengelola dana belanjanya. Padahal, penyusunan APBD didasarkan atas kinerja; harus ada relasi antara belanja/pengeluaran dengan kinerja yang dihasilkan. Sehingga jika daya serap anggarannya rendah, otomatis kinerja pemerintahannya juga rendah, terutama pertumbuhan ekonomi daerah menjadi rendah.

Kedua, pengelolaan anggaran tidak efisien dan efektif. Dalam konteks penganggaran, efisien dan efektif itu berkaitan dengan penghematan dana (input) yang dikeluarkan oleh pemda seyogianya bisa menghasilkan ouput (PDB) yang tinggi. Namun pengendapan anggaran menjadi paradoks karena dampaknya justru memperlambat laju pertumbuhan ekonomi daerah, bahkan nasional.

Ketiga, rendahnya kreativitas dan inovasi pemda. Parkirnya dana belanja daerah di bank diduga kuat karena pemda "kesulitan" menghabiskan anggarannya dalam setahun. "Kesulitan" itu lebih disebabkan oleh para eksekutif di daerah kurang kreatif dan inovatif, baik dalam penyusunan APBD maupun pada saat mengeksekusi anggaran.

Gagasan dan tangan-tangan kreatif-inovatif para pemangku kepentingan sangat dibutuhkan dalam pembangunan dalam rangka menggerakkan sektor-sektor produktif masyarakat daerah, sehingga misalnya UMKM dan ekonomi kreatif di daerah semakin bergeliat.

Keempat, APBD tidak pro-poor, pro-job, dan pro-growth. Menurut UU tentang Keuangan Negara, APBD itu salah satunya memiliki fungsi alokasi, artinya daerah harus mengalokasikan pos belanjanya untuk mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Namun fakta di lapangan menunjukkan hal yang kontraproduktif; pemerintah daerah 'membiarkan' ratusan trilun dana itu menjadi kurang produktif, yang pada gilirannya menghambat program-program pengentasan kemiskinan. Hal ini bisa dibuktikan dengan masih tingginya angka pengangguran dan kemiskinan di daerah, justru terjadi hampir bersamaan dengan maraknya fenomena daerah mengendapkan dana belanjanya di bank.

Misalnya, di Jawa Tengah, sebelum ada pandemi, angka pengangguran masih relatif tinggi yakni sekitar 1 juta penduduk, sementara kemiskinan sampai September 2019 menunjukkan angka yang relatif tinggi, yakni sekitar 3,679 juta jiwa (BPS Jateng, 2019).

Dengan demikian, kita berharap ke depan pemda tidak perlu lagi dihantui rasa "takut korupsi", sepanjang anggaran belanja daerah itu dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab, dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Imron Rosyadi peneliti pada Pusat Studi Kewirausahaan FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads