Media nasional pekan lalu dihiasi pemberitaan perjalanan Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia untuk bertemu pemimpin kedua negara. Jokowi bermaksud menawarkan resolusi damai demi mengakhiri perang. Meskipun kita belum tahu hasilnya, namun upaya ini perlu diapresiasi mengingat dampak perang sangat mengkhawatirkan.
Perang diprediksi menyebabkan resesi ekonomi dunia. IMF telah meramalkan ada 60 negara akan ambruk ekonominya. Sementara itu, kita telah melihat kekacauan di Sri Lanka karena gagal membayar utang setelah ekonominya mengalami resesi.
Dampak tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya dapat dikaitkan dengan perang karena merupakan akumulasi dari fenomena sebelumnya. Misalnya, pandemi Covid-19 yang memaksa banyak negara melakukan pembatasan sosial atau lockdown. Ini membuat ekonomi sebuah negara mengalami kemunduran dan banyak mengganggu aktivitas sosial masyarakat.
Aspek Pangan
Salah satu dampak nyata perang terlihat pada aspek pangan. Hal ini disadari benar oleh Presiden Jokowi sehingga pada salah satu poin penting pertemuan dengan pemimpin kedua negara membahas perbaikan rantai pasokan pangan dunia. Argumen yang dinyatakan Presiden Jokowi memang sangat tepat karena kedua negara berkontribusi besar terhadap produksi pangan dunia. Rusia dan Ukraina juga merupakan pemain penting dalam ekspor produk pertanian saat ini.
Menurut data FAO, Rusia merupakan penghasil 11% gandum dunia dan Ukraina sebesar 3% gandum dunia pada 2021. Kedua negara juga merupakan penghasil 8% dari total produksi kedelai dan 4% dari total produksi jagung di dunia. Sebagian besar produksi pangan di kedua negara kemudian diekspor ke banyak negara. Hasilnya, Rusia menjadi eksportir gandum terbesar di dunia dengan kontribusi sekitar 18% pada 2021.
Pada tahun yang sama, Ukraina memasok 10% kebutuhan gandum dunia. Masing-masing negara juga berperan penting terhadap perdagangan jagung dunia dengan Ukraina memasok 10% kebutuhan dunia dan sedangkan Rusia 3%. Ini masih ditambah peran besar kedua negara sebagai salah satu pemasok utama kebutuhan minyak bunga matahari dunia.
Banyak negara, terutama di Afrika, Eropa Timur, dan Asia Tengah yang bergantung pada impor bahan pangan dari kedua negara. Bahkan, Rusia dan Ukraina memasok sampai 80% kebutuhan gandum di Kenya, Somalia, Ethiopia, Armenia, Mongolia, Azerbaijan dan beberapa negara lainnya. Apabila dilihat secara detail, sebagian besar negara-negara importir pangan dari Rusia-Ukraina merupakan kelompok negara terbelakang dan negara defisit pangan berpenghasilan rendah.
Maka dari itu, wajar apabila PBB khawatir konflik ini menyebabkan gangguan ketahanan pangan dunia. Perang telah membuat petani tidak bisa melakukan aktivitas cocok tanam seperti biasa. Menurut kalender tanam FAO, Februari sampai Juli ini merupakan waktu tanam untuk komoditas jagung, gandum, dan kentang di Ukraina. Sementara itu, pada waktu yang sama juga merupakan waktu tanam untuk jagung, gandum, dan serelia lainnya di Rusia.
Perang telah membuat petani ketakutan dan lebih memilih menyelematkan diri daripada beraktivitas di lahan. Akibatnya, sekitar 20-30% lahan pertanian di Ukraina tidak akan dapat dipanen selama periode 2022/2023. Sementara itu, industri pengolahan makanan tidak dapat beroperasi karena banyak yang hancur atau tutup sementara. Jalur distribusi produk pangan di Ukraina banyak pula yang rusah parah.
Perang juga disertai blokade terhadap pelabuhan Ukraina di Laut Hitam. Akibatnya, Ukraina tidak mampu mengekspor produk pertaniannya ke negara lain. Sanksi negara barat ke Rusia turut andil dalam memperparah kondisi pasokan pangan dunia. Rusia melakukan balas dendam dengan mengurangi atau menghentikan ekspor komoditas yang dibutuhkan banyak negara.
Harga Pangan Dunia
Berkurangnya pasokan pangan dari Rusia dan Ukraina telah berdampak pada melambungnya harga pangan dunia. Berdasarkan data World Bank, harga gandum di dunia pada awal konflik, Februari 2022, sebesar 390,5 US$ per metrik ton yang kemudian naik 522,29 US$ per metrik ton pada Mei 2022. Pada periode yang sama, harga jagung naik dari 292,62 US$ menjadi 344,84 US$ per metrik ton.
Begitu pula harga beras di dunia juga mengalami kenaikan dari 427 US$ menjadi 464 US$ per metrik ton. Kenaikan ini juga dipacu oleh peningkatan biaya distribusi pangan akibat kenaikan harga minyak dan gas dunia. Saya yang saat ini sedang mengambil program doktoral di Hungaria juga merasakan benar dampak perang tersebut. Inflasi di negara tetangga Ukraina ini mencapai 10,7% pada Mei 2022.
Inflasi tersebut didominasi oleh kenaikan harga bahan bakar dan pangan yang sebagian besar diimpor dari Rusia dan Ukraina. Keadaan serupa juga terjadi pada sebagian besar negara di Eropa. Pembatasan pasokan gas dari Rusia ke negara-negara tersebut membuat kenaikan biaya produksi di sektor industri, termasuk olahan pangan. Keadaan ini kemungkinan besar akan semakin memburuk apabila konflik Rusia-Ukraina tidak segera terselesaikan.
FAO telah memprediksi harga pangan dan pakan ternak akan naik 8-22% serta jumlah orang kurang gizi bertambah 8-13 juta dibandingkan kondisi saat ini apabila konflik tersebut berkelanjutan. Maka dari itu, langkah Presiden Jokowi perlu kita apresiasi sambil berharap akan memberikan dampak positif bagi pemulihan rantai pasokan pangan dunia.
Agus Dwi Nugroho dosen Fakultas Pertanian UGM, sedang mengambil program doktoral di Hungaria
Simak Video 'Wanti-wanti Jokowi Harga BBM-Roti Bisa Naik Gegara Perang di Ukraina':
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT