Salah satu hal yang sangat saya syukuri sekarang adalah bisa melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. Belajar filologi dengan Prof. Oman Fathurahman, Guru Besar Filologi UIN Jakarta dan berdiskusi dengan para pegiat manuskrip Nusantara merupakan anugerah tersendiri.
Saling silang informasi terkait sumber primer (manuskrip) dan iklim akademik yang mendukung sangat membantu dalam proses menyelesaikan tugas akhir kuliah. Namun itu semua bukan tanpa kendala, terutama dalam kemudahan mengakses atau mendapatkan sebuah data primer yang kita butuhkan dalam sebuah penelitian.
Meneliti Islam Betawi dan mengaitkan dengan khazanah Kitab Kuning yang tersebar di berbagai majelis taklim menggiring saya pada sebuah harapan besar terwujudnya museum Islam Betawi yang pernah digagas para peneliti dari Jakarta Islamic Center (JIC) beberapa tahun silam. Oman Fathurahman dalam lawatannya ke Belanda bersama para peneliti JIC (Fathurahman, 2015), pernah menyisir manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden tentang sejarah Islam di Batavia dan menjumpai sejumlah catatan perjalanan Snouck Hurgronje, penasihat urusan keislaman pemerintah kolonial Belanda dalam pengumpulan naskah-naskah di Indonesia.
Masih dalam lawatan ke Belanda, Oman menceritakan bahwa Doris Jedamski, seorang kurator manuskrip dan buku langka Asia Tenggara Perpustakaan Leiden menginformasikan bahwa selain manuskrip juga tersimpan banyak arsip, foto-foto, dan dokumen lain terkait sejarah Islam Betawi. Doris siap bekerja sama memfasilitasi terkait material yang dibutuhkan untuk mewujudkan museum Islam Betawi.
Filolog kenamaan dari The British Library Annabel Teh Gallop itu mengkritisi gagasan membangun museum Islam Betawi tersebut. Menurutnya harus ada pembeda museum Islam Betawi yang akan dibangun dengan museum lainnya agar menarik perhatian publik luas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Khazanah Manuskrip Islam Betawi
Islam bagi masyarakat Betawi tidak saja soal keyakinan (akidah), tapi lebih dari itu telah menjadi identitas. Anak-anak Betawi zaman saya kecil, era tahun 80-an, jika ditanya apa cita-citanya kalau sudah besar dengan enteng menjawab ingin menjadi ustaz, kiai, atau ulama. Karenanya, anak Betawi setelah lulus Madrasah Ibtidaiyyah (setara SD) umumnya melanjutkan ke pesantren dan sejak kecil sudah diperkenalkan sistem pengajian Kitab Kuning di beberapa majelis taklim.
Tradisi keislaman di Betawi sangat semarak dan meriah. Para ustaz atau kiai jika musim Maulid atau Isra Mi'raj "kebanjiran job" sampai susah ketemu istirahatnya. Rupanya, tradisi keislaman ini sudah terbangun sejak lama sekitar abad ke-19 dan ke-20. Para ulama pribumi dan kalangan hadrami sudah menanamkan pendidikan karakter sejak usia belia terhadap anak-anak di Betawi.
Ulama Betawi begitu produktif menulis karya tulis, baik berbahasa Arab maupun yang menggunakan aksara Arab pegon dengan dialek Melayu Betawi. Tersebutlah sejumlah ulama sejak Sayyid Utsman bin Yahya (mufti Betawi) menulis kitab semisal Manhajul Istiqamah fid Din Bis Salamah dalam bahasa Melayu dialek Betawi dengan aksara Arab pegon, dan Habib Salim bin Jindan seorang muhaddits yang menyusun sanad keilmuan ulama Nusantara dan bahkan terdata lebih dari 100 karya tulis yang tersimpan di perpustakaan pribadi miliknya.
Pun begitu dengan Tuan Guru Betawi, Guru Mughni dari kampung Kuningan, Guru Manshur Jembatan Lima, Guru Marzuqi Cipinang Muara, Guru Majid Pekojan, Guru Khalid Gondangdia, dan Guru Mahmud Romli dari Menteng serta para ulama yang hidup sesudahnya. Buah karya tulis (manuskrip) para ulama dan habaib tersebar di banyak tempat, perpustakaan Universitas Leiden, Arsip Nasional, ahli waris, atau bahkan tersimpan di antara murid-muridnya.
Embrio Museum Islam Betawi
Detikcom dalam liputannya (19 April 2021) mewartakan Perpustakaan Jakarta Islamic Center (JIC) di Jakarta Utara yang di dalamnya terdapat Betawi Corner. Betawi Corner merupakan galeri mini yang menjelaskan penyebaran Islam di Betawi. Berdiri sejak 2020 dengan tujuan ingin menjelaskan sejarah masuknya Islam di tanah Betawi. Hal ini didasari karena prihatin banyak warga Jakarta (baca: Betawi) tidak paham dengan sejarah asal usulnya.
Program kegiatan dibentuk untuk mengedukasi warga Jakarta, para pelajar, dan santri. Kini, Betawi Corner selain mengoleksi foto dan beberapa arsip juga berupaya melakukan penyelamatan arsip tokoh-tokoh ulama Betawi, karena jika tidak segera diarsipkan sejarah Islam di Betawi akan hilang ditelan zaman.
Melimpahnya khazanah manuskrip Islam Betawi merupakan 'surga' bagi peneliti dan sumber primer yang mampu memproduksi ilmu pengetahuan yang harus digali dan diupayakan kelestariannya. Manuskrip peninggalan para ulama Betawi adalah aset berharga bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Betawi.
Upaya penyelamatan melalui digitalisasi manuskrip, mengumpulkan, serta mengoleksi menjadi kebutuhan mendesak yang harus didukung dan mendapat perhatian serius dari pemerintah dan para peneliti manuskrip Nusantara.Keberadaan Betawi Corner yang telah dirintis JIC diharapkan pada masa akan datang menjadi cikal bakal terbangunnya sebuah museum Islam Betawi.
Museum itu mengoleksi berbagai artefak budaya Betawi, karya tulis para ulama, dan dokumen-dokumen bersejarah yang menjadi rujukan dan pusat riset manuskrip Islam di Indonesia, khususnya Islam Betawi. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia sebagai lembaga negara mempunyai peran strategis dalam mewujudkan gagasan besar ini, dan kerja sama dengan JIC) perlu dirumuskan dan harus menjadi ekosistem riset di dalamnya. Kerja sama dengan berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri merupakan hal niscaya yang perlu dilakukan dan diperkuat.
Suma Wijaya mahasiswa Program Doktor Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Simak juga 'Alasan Anies Ganti Nama Jalan di DKI: Mengenang Tokoh Berjasa':