Stempel untuk Melicinkan Suap
Catatan:
Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com

Jakarta - Gempa Sabtu 27 Mei lalu meluluhlantakkan hampir semua rumah warga Desa Canan, Kecamatan Wedi, Klaten. Kantor desa yang dibangun dengan pondasi kukuh dan kerangka kuat juga luruh; demikian juga rumah Sutiman (50), sang kepala desa. Namun Sutiman harus tetap melayani warganya. Apalagi warganya kini tengah dirundung masalah yang tak terperikan. Makanya, meski tidak lagi punya kantor, tidak ada lagi rumah, tiga hari setelah gempa, Sutiman tetap bekerja.Sutiman beroperasi di depan bekas rumahnya. Satu set meja kursi yang diambil dari reruntuhan rumah, disiapkan di bawah pohon rindang. Jadilah kantor desa yang baru. Tentu tak ada pakaian dinas. ?Kaus dan celana (pendek) ini pemberian orang lewat,? katanya seperti dikutip detikcom Senin (29/6/2006).Bagi Sutiman, kantor bukanlah prasyarat melayani warga, apalagi pakaian dinas. Yang penting adalah bisa menunjukkan legalitasnya sebagai kepala desa atas semua keputusan atau kebijakan yang diambil. Di sinilah pentingnya stempel desa. ?Selama 15 tahun jadi lurah, cap stempel selalu saya kantungi ke mana-mana,? katanya. Cerita Sutiman itu mengingatkan saya kepada seorang kepala desa di pinggiran hutan di Kabupaten Tuban. Persis dengan Sutiman, kepala desa yang menjabat selama lebih dari 20 tahun itu, juga selalu membawa stempel desa beserta tatakannya.?Untuk memudahkan (melayani) warga,? katanya ketika saya tanya. ?Ya, kalau ada urusan kan bisa segera diselesaikan; warga gak perlu ke sana ke mari.? Yang dimaksud urusan itu antara lain surat keterangan penduduk, surat jual beli ternak, surat pengantar ke puskesmas dan lain-lain.Stempel adalah simbol kewenangan. Namun, meski hanya simbol, kalau seorang pejabat tidak memegang stempel, kewenangan bisa tak terwujud. Tentu saja tingkat kewenangan berbeda-beda sesuai dengan lingkup dan tingkatannya. Bagi kepala desa, stempel terkait dengan keabsahan surat keterangan penduduk, surat jual beli ternak, surat pengantar ke puskesmas dan sebangsanya. Tapi bagi seorang menteri, stempel tersebut tak hanya menandai absahnya suatu kebijakan, tetapi juga menunjukkan resminya penunjukkan pejabat pemerintahan di bawahnya.Misalnya, undang-undang menyebutkan bahwa pasangan calon kepala daerah yang terpilih dalam pilkada baru sah dilantik apabila sudah mendapat surat keputusan Mendagri. Ini artinya, meskipun pasangan calon kepala daerah sudah memenangi pilkada, tidak serta merta dapat menduduki kursi kepala daerah sebelum mendapat SK Mendagri.Inilah yang bikin jengkel Mohammad Basyir, calon Walikota Pekalongan yang memenangai pilkada. Pelantikannya terancam gagal karena SK Mendagri belum distempel. Itu artinya nilai suara mayoritas warga Pekalongan yang memilihnya, setara dengan kehendak satu orang yang memegang stempel.Apa boleh buat. Daripada tidak dilantik, Basyir pun melakukan segala upaya agar SK-nya segera dicap. Usut punya usut, ternyata si pemegang stempel minta uang pelicin.Apa yang dialami Basyir sebetulnya bukan hal baru. Banyak calon kepala daerah terpilih mengeluhkan hal itu. Nilai uang pelicin atau suap itu sekitar 20-30 juta rupiah. Namun mereka tidak bisa berbuat banyak, toh uang sebesar itu tak seberapa jika dibandingkan dana yang telanjur keluar untuk memenangkan pilkada. Mereka juga tak bersuara, karena penyuapan terjadi tanpa meninggalkan bekas yang bisa dijadikan barang bukti. Apalagi delik suap bilang, baik yang menyuap maupun yang disuap sama-sama terancam pidana. Daripada cari perkara, lebih baik diam saja. Demikianlah, perilaku pejabat dalam memegang stempel berbeda-beda. Kepala desa membawa stempel ke mana saja, demi mensegerakan semua urusan; sedang pejabat Depdagri menahan atau menyembunyikan stempel demi uang pelicin. ?Lebih cepat lebih baik,? kata yang satu. ?Kalau bisa lambat, kenapa dipercepat,? kata yang lain.Keterangan Penulis:Penulis adalah wartawan detikcom. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak menggambarkan sikap/pendapat tempat institusi penulis bekerja.
(/)