Berguru ke Kampung Urug
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Perjalanan

Berguru ke Kampung Urug

Jumat, 01 Jul 2022 13:28 WIB
Aceng Hidayat
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Berguru Ke Kampung Urug
Aceng Hidayat (Foto: dok. pribadi)
Jakarta - Pada 11 Juni lalu, saya bersama 9 mahasiswa Program Magister (S2) Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, dan Perencanaan Wilayah Desa (PWD) IPB University berkunjung ke Kasepuhan Kampung Urug di Desa Kiara Pandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, sekitar 20 km dari Cigudeg. Setelah seharian kami keliling kampung mengobservasi kehidupan masyarakat adat, khususnya di bidang pertanian, malamnya kami diterima secara resmi oleh Abah "Ukat" Raja Aya, Kepala Kasepuhan.

Pagi harinya setelah sarapan, observasi dilanjutkan. Saya sendiri ikut rombongan ibu-ibu dibuat (panen pagi). Sambil jalan di pematang, kami ngobrol canda ria penuh bahagia. Abah Ukat memaparkan ihwal Kasepuhan Kampung Urug. Sejarah, adat istiadat, dan kelembagaan, khususnya di bidang pertanian yang menjadi amanat utama kasepuhan agar dijaga dan diwariskan secara turun temurun.

"Kehidupan dunia boleh berubah mengikuti dinamika zaman. Tapi tidak soal pertanian. Ia merupakan pancer (pokok) kehidupan", demikian Abah menegaskan. Karena itu, pengelolaan pertanian harus tetap berpegang teguh pada tradisi karuhun yang dititipkan kepada kasepuhan.

Konservasi Tanah dan Air

Kasepuhan Kampung Urug merawat beberapa tradisi karuhun. Pertama, tradisi berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. Tradisi ini tercermin dalam kalimat bijak berbahasa Sunda leuweung kaian, lamping awian, dan lebak balongan.

Leuweung kaian artinya hutan harus tetap berkayu (berpohon). Tidak boleh gundul. Kalau sudah telanjur gundul, segera ditanami (dikaian). Hutan merupakan sumber kehidupan, khususnya bagi pertanian. Kalimat bijak ini tersangkut dengan kalimat bijak lain yang juga berlaku di kawasan masyarakat adat. Leuweung ruksak, cai beak, rakyat balangsak, yang artinya hutan rusak, air habis, rakyat sengsara.

Sumber air mahapenting bagi pertanian. Sebab itu, ia mesti menjadi perhatian utama. Sebelum mengelola pertanian, sumber daya air harus aman terlebih dahulu. Maka dari itu, Kasepuhan Kampung Urug memegang teguh tradisi pengelolaan hutan. Komitmen Kasepuhan Kampung Urug terhadap konservasi air tercermin dari kalimat bijak kedua lamping awian. Lamping adalah kawasan miring. Awi adalah pohon bambu. Lamping awian artinya kawasan miring mesti ditanami bambu.

Bambu dapat menahan air dan tanah, sehingga sangat baik untuk konservasi. Konservasi tanah dan air sangat vital dalam pertanian. Sangat beralasan jika Kasepuhan Kampung Urug memegang teguh tradisi ini serta komitmen melaksanakannya.

Kalimat bijak ketiga adalah lebak balongan. Lebak adalah lembah atau dataran rendah di bawah lamping. Lembah inilah kawasan produktif yang disimbolkan dengan kata balongan. Artinya, kawasan lembah harus jadikan kolam, sawah, atau bentuk pemanfaatan lainnya agar dapat menghasilkan produk-produk pangan.

Selain itu, mereka juga boleh memanfaatkan hutan dengan menanam tanaman musiman, seperti padi huma dan jagung di sela-sela tanaman kayu milik kehutanan (agroforestry). Tapi mereka pantang menebang kayunya. Menebang kayu di tanah milik pribadi saja dilakukan tebang pilih. Itu pun hanya untuk kebutuhan sendiri, bukan untuk dijual.

Tradisi Bertani

Bertani padi adalah kegiatan utama yang diikat dengan tradisi. Tradisi pertama, mereka hanya menanam padi gede (besar). Tanaman padi ini bercirikan memiliki batang tinggi, tangkai panjang, berbulir besar, dan berumur tujuh bulan. Beras padi gede memiliki rasa yang gurih dan harum. Petani Kasepuhan Kampung Urug hanya menanam padi sekali setahun. Pada saat tidak ditanami padi, mereka memanfaatkan sawah untuk menanam ikan atau ragam sayuran.

Mengapa mereka hanya menanam pagi sekali setahun? Sebab, pertama, mereka menanam hanya untuk memenuhi kebutuhan. Kedua, mereka tidak ingin memperkosa tanah. Tanah juga memerlukan waktu rehat atau sekadar selingan.

Tradisi kedua, mereka menanam padi secara serentak sesuai masa tanam yang ditentukan oleh ketua kampung adat. Meski tidak mulai pada hari yang sama, namun mereka menanam pada periode yang sama, sehingga selisih tanam antara para petani hanya dalam hitungan hari. Pun demikian masa panennya. Penentuan hari tanam pertama ditandai dengan penanaman pertama pada lahan milik ketua kampung adat.

Perhitungan waktu tanam ditentukan sesuai kalender hijriyah. Hal ini juga dengan memperhitungkan musim hujan dan waktu sedekah bumi yang biasanya bersamaan dengan 1 Muharam. Apa hikmah di balik penyeragaman waktu tanam? Menghindari penyebaran penyakit dan mengendalikan hama, khususnya tikus.

Tradisi ketiga, dalam bertani tidak menggunakan pupuk kimia dan obat-obatan. Untuk mempertahankan kesuburan tanah, mereka hanya mengandalkan pupuk biomasa dan kotoran ternak sapi, kambing, atau ayam.

Biomasa diambil dari sisa-sisa tanaman. Jerami (batang pohon padi) mereka benamkan ke sawah bersamaan dengan hijauan lain seperti daun turi atau daun kipait yang ditanam di pematang sawah. Untuk mendapatkan kesuburan tanah yang lebih baik, mereka juga mencampur biomasa tadi dengan kotoran sapi, kambing, atau ayam.

Untuk menghindari padi dari serangan penyakit, mereka menerapkan tradisi keempat, yaitu, menanam tanaman tertentu di pematang sawah yang mereka yakini dapat mengeluarkan bau atau aroma yang tidak disukai oleh hama atau penyakit. Sementara itu, untuk mencegah serangan tikus, mereka selalu menyajikan ragam makanan seperti nasi dan ikan di sudut-sudut sawah yang mereka sebut sesaji (sesajen).

Sesajen tidak dimaksudkan untuk menyuguhi makhluk halus, namun untuk memberi makan tikus agar mereka tidak menyerang tanaman padi. Yang menjadi kontroversi, dulu nenek moyang mereka menyebut tikus dengan sebutan kanjeng ratu, den bagus, atau sebutan lain yang terkesan mistis. Namun, mereka tidak menjelaskan alasan di balik menyebut tikus dengan nama-nama tadi.

Tradisi kelima, warga Kasepuhan Kampung Urug pantang membuang sisa makan. Baik sisa produksi maupun sisa konsumsi harus kembali ke alam. Maka dari itu, selain bertani mereka juga beternak ayam, itik, bebek, domba, sapi, atau kerbau. Dan, semuanya berfungsi sebagai pemanfaat sisa-sisa tadi. Materi dan energi berputar dalam siklus produksi. Sangat efisien.

Tradisi keenam, mereka pantang menjual padi. Dalam pandangannya, padi bukan komoditas perdagangan, melainkan komoditas sosial dan komunal. Sebab itu, setiap panen mereka wajib menyedekahkan 10% dari hasil panen untuk keperluan fakir, miskin, yatim, dan keperluan sosial-keagamaan lainnya.

Padi tersebut disimpan dalam lumbung-lumbung padi yang disediakan oleh kasepuhan. Lumbung padi hanya bisa dibuka atas perintah ketua kasepuhan. Kelembagaan seperti ini telah berhasil membentuk ketahanan pangan komunitas dan menyelamatkannya dari bencana kelaparan saat musim paceklik.

Menjaga Keseimbangan

Banyak tradisi lainnya yang tidak saya tuliskan, namun mereka jaga betul. Dari enam tradisi itu saya dapat menarik pelajaran sangat penting. Yakni, tradisi telah mampu dan berhasil menjaga keseimbangan ekologi, ekonomi, dan sosial. Kalangan akademik menyebutnya "keberlanjutan" (sustainability) dengan tiga pilar Ekologi, Ekonomi, dan Sosial. Ada juga yang menyebut 3P (Planet, Prosperity, People).

Akademisi lain menyebutknya cyrcular economy (ekonomi sirkular). Sistem ekonomi yang memaksimalkan pemanfaatan materi dan energi. Atau mempertahankan materi dan energi selama mungkin berada dalam siklus produksi. Akademisi lainnya lagi menyebut zero external input agricultural system.

Masyarakat Kasepuhan Kampung Urug, juga masyarakat kasepuhan lainnya seperti Ciptagelar, Cipta Karsa, dan Sinar Resmi mempunyai cara dan tata kelola yang dengannya mereka telah berhasil membangun masyarakat sejahtera, aman dari bencana kelaparan, berdaulat, dan berkelanjutan. Sementara para akademisi punya wacana dan teori yang tinggi tentang sustainability dan sebagainya.

Wacana itu pun terus digaungkan dari perguruan tinggi (PT) melalui seminar, lokakarya, dan forum ilmiah lainnya sehingga menggema dan membahana di seantero negeri. Lalu, mereka puas dan bangga ketika karya ilmiahnya dibahas para pakar pada forum-forum tadi kemudian diterbitkan dalam jurnal bereputasi. Mereka bangga dan puas, meski miskin kemanfaatan dalam tataran realitas. Sebab, yang mereka tulis dan diskusikan berjarak dengan realitas. Atau hanya mendiskusikan pengamatan atas realitas. Bukan mendiskusikan realitas yang mereka buat.

Saya tidak sedang berpandangan bahwa PT mesti menjadi seperti kasepuhan Kampung Urug. Tapi spirit, nilai, dan komitmennya itu yang mesti ada dan dipraktikkan dalam kampus PT sebagai sebuah model. Kita memiliki semuanya: lahan, sumber daya manusia, dan teknolog. Tidak hanya PT, Kementerian Pertanian pun dapat membuatnya. Bahkan, mungkin lebih hebat sebab memiliki dana lebih besar.

Keberhasilan kita mempraktikkan model itu akan menjadi modal besar untuk mempraktikkannya pada masyarakat. Kita hanya perlu menyiapkan data, konsolidasi sumber daya, dan kelembagaannya agar mereka percaya bahwa kita tidak main-main dan menjadikan mereka sebagai objek penelitian semata. Yang ditinggal pergi sejurus penelitian usai. Urug berasal dari kata guru. Kasepuhan Urug adalah tempat belajar. Maka, saatnya kita berguru ke Kampung Urug.

Dr. Aceng Hidayat dosen Dep ESL IPB (mmu/mmu)

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads