Mencermati laporan pemerintah dan Bank Indonesia terhadap kondisi ekonomi makro dan realisasi APBN Semester 1 2022 kita wajib bersyukur. Ekonomi kita tetap tumbuh, kembali di kisaran 5 persenan, dan mematahkan asumsi segenap ekonom bahwa pemulihan ekonomi kita kurva V-nya sangat dalam sehingga resiko pembalikan ekonomi untuk menuju situasi sebelum pandemi akan berjalan cukup lama. Nyatanya sejak kuartal II 2021 ekonomi kita telah kembali rebound, dengan tumbuh 7,07 persen, dan pada dua kuartal terakhir telah kembali ke pertumbuhan ekonomi 5 persenan
Saat Perang Ukraina dan Rusia, banyak kawasan menghadapi ancaman stagflasi, yakni inflasi tinggi dan menurunnya pertumbuhan ekonomi, sejauh ini negeri kita inflasi cukup terkendali di level 3,55 persen. Padahal sejumlah kawasan diberbagai belahan dunia dihantam inflasi tinggi. Pada Mei 2022, inflasi Inggris mencapai 9,1 persen, tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Hal serupa dialami Jerman dengan inflasi mencapai 7,9 persen, tertinggi sejak 50 tahun terakhir, dan Amerika Serikat inflasinya dilevel 8,6 persen, tertinggi sejak 1981.
Zona Eropa mengalami inflasi 8,1 persen, dari sebelumnya 7,4 persen. Inflasi tinggi diatas 7 persen juga melanda beberapa negara Asia, seperti; India, Thailand, Kamboja, Laos, Pakistan, Myanmar, Uzbekistan, Azerbaijan. Bahkan inflasi di Sri Lanka mencapai 39 persen, Iran 39 persen, Turki, Syiria 139 persen dan Lebanon 211 persen. Inflasi tinggi juga melanda sebagian besar negara di Benua Afrika, dan Amerika Tengah dan Selatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski inflasi kita cukup rendah, namun efek kenaikan komoditas terutama di sektor pangan dan energi terlihat penyumbang terbesar dari inflasi domestik kita. Kelompok makanan dan minuman inflasinya cenderung naik, pada Mei 2022 di level 5,62 persen dan sektor transportasi di level 4,77 persen. Sinyal ini harus kita mitigasi dengan serius, selain berpotensi akan memberatkan APBN, lebih serius lagi mengganggu pemulihan ekonomi yang dalam dua tahun terakhir harus kita bayar dengan harga yang sangat mahal.
Selain menghadapi inflasi tinggi, sejumlah negara, bahkan raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat ekonominya mengalami kontraksi. Resep The Fed melakukan pengetatan kebijakan moneter di Amerika Serikat tampaknya tidak cukup ampuh menolong ekonomi Amerika Serikat. Sebab sumber masalah ekonomi dunia saat ini ada pada sektor riil, yakni membumbungnya harga komoditas dunia. Laporan terbaru, ekonomi Amerika Serikat pada kuartal I 2022 mengalami kontraksi 1,6 persen.
Situasi ekonomi yang memburuk disejumlah negara bukan sama sekali tidak ada dampak ke ekonomi domestik kita. Kita harus menaruh kewaspadaan tinggi dan mitigasi resiko dengan cermat, khususnya dalam melihat pergerakan nilai tukar rupiah terhadap sejumlah mata uang utama seperti Dolar Amerika Serikat. Sejak The Fed menaikkan suku bunga acuan hingga 150 basis poin sepanjang semester 1 2022, rupiah terbayangi tekanan terhadap Dolar Amerika Serikat.
Dampak Moneter Dunia
Dampak lain dari pengetatan moneter dunia, yield SBN kita ikut terkerek naik, dari semula dikisaran 6 persen, kini naik di kisaran 7 persen. Resikonya biaya dana yang kita tanggung tentu akan semakin mahal. Padahal kita saat ini sedang menanggung beban besar subsidi dan kompensasi energi. Pada 19 Mei 2022 lalu Banggar DPR menyetujui tambahan alokasi subsidi energi sebesar Rp74,9 triliun dari plafon awal sebesar Rp. 134 triliun (Rp. 77,5 triliun LPG dan BBM serta listrik Rp. 56,5 triliun), dan tambahan alokasi pembayaran kompensasi BBM dan Listrik sebesar Rp. 275,0 triliun dari semula hanya Rp. 18,5 triliun, Tambahan kompensasi itu diperuntukkan kompensasi BBM sebesar Rp. 234,0 triliun serta kompensasi listrik sebesar Rp. 41,0 triliun. Selain itu Banggar DPR juga menyetujui Banggar DPR menyetujui tambahan alokasi anggaran untuk penebalan perlinsos sebesar Rp. 18,6 triliun untuk menjaga daya beli masyarakat pada APBN Perubahan 2022.
Kita juga perlu mencermati rontoknya wall street, penurunan wall street ini terjadi karena aksi jual besar besaran oleh investor dipicu tren inflasi yang makin naik. Terlihat saham saham perusahaan sektor konsumen bertumbangan. Meskipun sejauh ini Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih di level baik dikisaran 6.800-7.000 namun bayang bayang tekanan jual oleh investor mulai meningkat. Pemerintah, Bank Indonesia dan OJK harus mewaspadai hal ini.
Menghadapi beban besar yang harus ditanggung oleh APBN pada sisi belanja, khususnya pada belanja non K/L yakni pembayaran beban bunga dan pokok utang serta kompensasi dan subsidi energi, kita harapkan kinerja pendapatan negara, khususnya perpajakan, cukai dan PNBP kita menunjukkan kinerja yang cemerlang. Meskipun kita memperoleh windfall profit di sejumlah komoditas seperti; CPO, batubara, nikel karena tingginya harga komoditas tersebut di pasar dunia, namun kerja keras seluruh lini perpajakan, cukai, dan bagi hasil sumber daya alam perlu di tingkatkan.
Bila kinerja pendapatan negara membaik, bahkan bisa melampaui target APBN seperti pada tahun lalu, kita yakin defisit APBN yang telah kita patok dari 4,8 persen PDB lalu kita koreksi turun menjadi 4,5 persen PDB, sangat mungkin realisasi nya bisa turun ke menjadi 3,92 persen PDB pada tahun 2022 ini. Bila defisit APBN tahun ini bisa kita turunkan lebih rendah dari target APBN, hal ini akan membuka jalan lebih ringan pada target defisit APBN pada tahun depan, sekaligus menurunkan tingkat beban dan resiko utang kita.
MH Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR.
Simak juga 'Jokowi Tak Mau Lagi APBN-APBD Dipakai untuk Beli Produk Impor!':