Dalam rapat dengar pendapat antara Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy O.S. Hiariej dengan Komisi III DPR pada 25 Mei 2022, terdapat isu yang cukup menarik untuk disoroti. Isu yang diangkat mengenai pasal penghinaan presiden yang saat ini dimuat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Adapun bunyi pasal tersebut (Pasal 218 Ayat 1 RKUH) sebagai berikut: Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Adapun bunyi pasal tersebut (Pasal 218 Ayat 1 RKUH) sebagai berikut: Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Sebagai informasi, pada tahun 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) pernah membatalkan mengenai pasal penghinaan presiden. Hal ini dapat dilihat dalam putusan Nomor 031-022/PUU-IV/2006. Setidaknya, dalam beberapa poin pertimbangan hukumnya (ratio decidendi), MK menyatakan bahwa pasal penghinaan presiden ini sedikit banyaknya dapat menghambat kritik terhadap kebijakan pemerintah, sehingga oleh MK dinyatakan inkonstitusional.
Namun demikian, dewasa ini pasal penghinaan presiden justru dimuat kembali dalam RKUHP dengan konsep yang sedikit berbeda. Perbedaan itu terlihat dari delik pasal tersebut. Dahulu, pasal penghinaan presiden dikategorikan sebagai delik biasa, sedangkan saat ini pasal itu dikategorikan sebagai delik aduan, dan dikecualikan terhadap kepentingan umum serta pembelaan diri.
Terlepas dari adanya perubahan delik terhadap pasal penghinaan presiden, tulisan ini secara reflektif mencoba untuk melihat kesesuaian norma pasal penghinaan presiden yang saat ini dimuat dalam RKUHP dengan prinsip-prinsip demokrasi. Lebih lanjut, tulisan ini sedikit banyaknya juga akan mengkritisi pasal tersebut berdasarkan logika yuridis-normatif dengan menjadikan Putusan MK Nomor 031-022/PUU-IV/2006 sebagai dasar analisis.
Sejarah
Pada mulanya, pasal penghinaan presiden ini berasal dari Wetboek van Strafrecht Voor Nederland-Indie (WvS) yang merupakan kitab Undang-Undang Hukum Pidana peraturan zaman penjajahan Belanda. Dalam WvS tersebut, pasal ini ditujukan untuk melindungi kehormatan dan harkat martabat seorang Ratu atau Gubernur Jenderal dan penguasa Belanda yang ketika itu berada atau tinggal di tanah jajahan yakni Indonesia.
Oleh karenanya, pasal-pasal tersebut pada hakikatnya adalah pasal-pasal yang digunakan untuk mempidanakan rakyat jajahan (rakyat Indonesia) dengan cara yang amat sangat keji, yaitu dengan tuduhan telah melakukan penghinaan terhadap penguasa (penjajah) Belanda. Dengan begitu, maka para penjajah Belanda dapat dengan mudah menundukkan dan mempertakut rakyat Indonesia, agar tidak melawan dan harus patuh terhadap apa yang diperintahkan kepadanya.
Namun demikian, dewasa ini pasal penghinaan presiden justru dimuat kembali dalam RKUHP dengan konsep yang sedikit berbeda. Perbedaan itu terlihat dari delik pasal tersebut. Dahulu, pasal penghinaan presiden dikategorikan sebagai delik biasa, sedangkan saat ini pasal itu dikategorikan sebagai delik aduan, dan dikecualikan terhadap kepentingan umum serta pembelaan diri.
Terlepas dari adanya perubahan delik terhadap pasal penghinaan presiden, tulisan ini secara reflektif mencoba untuk melihat kesesuaian norma pasal penghinaan presiden yang saat ini dimuat dalam RKUHP dengan prinsip-prinsip demokrasi. Lebih lanjut, tulisan ini sedikit banyaknya juga akan mengkritisi pasal tersebut berdasarkan logika yuridis-normatif dengan menjadikan Putusan MK Nomor 031-022/PUU-IV/2006 sebagai dasar analisis.
Sejarah
Pada mulanya, pasal penghinaan presiden ini berasal dari Wetboek van Strafrecht Voor Nederland-Indie (WvS) yang merupakan kitab Undang-Undang Hukum Pidana peraturan zaman penjajahan Belanda. Dalam WvS tersebut, pasal ini ditujukan untuk melindungi kehormatan dan harkat martabat seorang Ratu atau Gubernur Jenderal dan penguasa Belanda yang ketika itu berada atau tinggal di tanah jajahan yakni Indonesia.
Oleh karenanya, pasal-pasal tersebut pada hakikatnya adalah pasal-pasal yang digunakan untuk mempidanakan rakyat jajahan (rakyat Indonesia) dengan cara yang amat sangat keji, yaitu dengan tuduhan telah melakukan penghinaan terhadap penguasa (penjajah) Belanda. Dengan begitu, maka para penjajah Belanda dapat dengan mudah menundukkan dan mempertakut rakyat Indonesia, agar tidak melawan dan harus patuh terhadap apa yang diperintahkan kepadanya.
Mari kita mengingat kembali kasus yang menimpa Bapak Proklamator Sukarno yang dijerat pidana pasal penghinaan ini oleh penjajah Belanda akibat membuat eksepsi atau pledoi Indonesia Menggugat. Kemudian juga 20 orang aktivis mahasiswa yang didakwa dengan pasal yang sama dan mendapatkan hukuman antara 6 - 14 bulan penjara. Tentu sejarah kelam ini tidak boleh kita ciptakan kembali karena akan membungkam bahkan "menjajah" kemerdekaan berpendapat yang secara langsung dapat membunuh cita demokrasi yang secara berdarah-darah diperjuangkan pada masa reformasi.
Tidak Layak Diberlakukan
Ratio decidendi putusan MK Nomor 031-022/PUU-IV/2006 menjelaskan asbab delik penghinaan presiden di dalam KUHP dijadikan sebagai delik umum bukan delik aduan ialah karena pada saat itu seorang raja merasa tidak layak untuk mengadu mengingat posisinya yang dianggap sangat tinggi. Memang di sisi lain terdapat juga pertimbangan MK yang mengatakan kalaupun sekiranya ingin menerapkan pasal penghinaan presiden, maka pasal tersebut harus merupakan delik aduan.
Namun, postulat demikian kiranya jauh berbeda dengan keadaan Indonesia saat ini yang menganut social welfare state dengan demokrasi yang luas dan kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Kebebasan individu untuk dapat mengkritik dan berpendapat merupakan sebuah prinsip dasar dan substansi utama bagi negara yang menganut paham demokratis. Sehingga, pasal penghinaan presiden baik itu delik aduan ataupun delik biasa sedikit banyaknya akan menghambat kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah.
Mestinya jika kedaulatan telah dipindahalihkan menjadi kedaulatan rakyat, maka antara pemerintah (presiden) dan rakyat tidak boleh dipandang berbeda, melainkan berkedudukan yang sama. Namun, hadirnya kembali pasal penghinaan presiden ini seakan merenggut ulang kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan pemerintah.
Dibatalkannya pasal penghinaan presiden oleh MK ialah sebuah kemajuan dalam berdemokrasi dan tentu bukan hal yang buruk. Sebab, seorang presiden mestinya tidak perlu khawatir dengan hinaan, justru melalui hinaan secara tidak langsung menjadi pukulan keras bagi seorang presiden untuk dapat bekerja dan mengabdi kepada rakyatnya dengan semaksimal mungkin.
Secara sederhana dapat disampaikan, jika seorang presiden baik, maka rakyat akan memujinya. Pun sebaliknya, jika kinerjanya buruk, maka ketika terdapat suatu hinaan, hal tersebut mestinya dianggap sebagai kritik dan masukan. Sehingga hal ini akan lebih fair, baik untuk rakyat maupun bagi pemerintah.
Lebih lanjut, dalam pemikiran yang lebih jernih, presiden sebagai instansi tidaklah layak memiliki pasal khusus terkait penghinaan. Sebuah instansi tentu tidak memiliki rasa/emosi, sehingga presiden (sebagai instansi) tidak dapat dikatakan merasa terhina, karena ia adalah lembaga, bukan manusia. Namun ketika berbicara tentang presiden sebagai seorang pribadi, ketika ia dihina, diturunkan harkat dan martabatnya, dicemarkan nama baiknya, maka pasal yang berlaku adalah beberapa pasal di KUHP di antaranya Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317, dan Pasal 318. Pasal-pasal tersebut merupakan ketentuan yang berlaku kepada semua pihak tanpa memandang status dan jabatannya.
Pendapat di atas diperkuat dengan beberapa pandangan ahli hukum pidana di antaranya Andi Hamzah yang pada prinsipnya menyatakan ketika pasal penghinaan presiden tidak berlaku, maka pasal pencemaran nama baik masih dapat diterapkan untuk melindungi nama pribadinya. Kemudian dilanjut oleh Mardjono Reksodiputro dengan mengatakan bahwa tidak diperlukan delik penghinaan khusus presiden maupun wakil presiden, dan tidak boleh lagi digunakan untuk menghambat kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah maupun pejabat-pejabatnya.
Ditutup dengan pendapat J.E Sahetapy bahwa pasal-pasal mengenai penghinaan presiden dalam era demokrasi tidak lagi relevan dan hilang "raison d'etre-nya", jelaslah kiranya bahwa pasal penghinaan presiden tidak layak untuk diberlakukan. Baik sebagai delik aduan maupun delik biasa. Karena permasalahannya bukanlah terkait delik apa, tetapi lebih fokus kepada untuk menghilangkan secara keseluruhan pasal penghinaan presiden.
Anjas Rinaldi Siregar junior lawyer Integrity Law Firm dan Alif Fachrul Rachman junior lawyer intern Integrity Law Firm
Simak Video 'Ketua Komisi III Berharap RKUHP Disahkan Pada Masa Sidang Ini':
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini