Saat ini media sosial menjadi ruang interaksi dan partisipasi publik yang populer di dunia maya. Karena hal tersebut, media sosial sering digunakan oleh pemasar sebagai media promosi. Salah satunya digunakan untuk membangun viral marketing (pemasaran viral) melalui konsep electronic-word of mouth.
Meskipun dapat dirancang, sering kali pemasaran viral yang berhasil justru yang terjadi tanpa direncanakan oleh pemasar. Keberhasilan pemasaran viral yang dirancang hampir tidak pernah menandingi keviralan yang tercipta secara organik.
Karena sifatnya yang cenderung menyebar secara organik, keviralan dapat menjadi "bola liar" yang tidak terkontrol. Hal tersebut menyebabkan pemasaran viral memiliki potensi untuk menimbulkan berbagai masalah, misalnya dalam aspek cakupan penyebaran informasinya hingga sentimen yang terbentuk di dalamnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam konteks pemasaran pariwisata, media sosial sering menjadi rujukan atau referensi bagi seseorang untuk mencari destinasi wisata yang dituju. Merek sebuah destinasi wisata cenderung terbentuk dari aktivitas orang-orang yang berbagi pengalaman dan cerita melalui media sosial.
Dari beberapa kasus yang terjadi, sebuah destinasi yang sebelumnya tidak diketahui oleh publik mendadak booming setelah viral di media sosial. Masalahnya, terkadang hal tersebut justru memberikan dampak buruk bagi keberlangsungan destinasi itu sendiri.
Misalnya kasus Ranu Manduro di Mojokerto, Jawa Timur. Sebuah lokasi bekas tambang pasir yang sebenarnya bukan destinasi wisata mendadak viral di media sosial karena keindahan alamnya yang dianggap menyerupai New Zealand. Tempat tersebut akhirnya ditutup pengelola setelah pengunjung yang datang melebihi kapasitas, sehingga menimbulkan kemacetan serta sampah yang berserakan.
Sebelumnya juga ada kasus Taman Bunga Amaryllis di Gunungkidul, Yogyakarta. Taman tersebut sempat viral di media sosial karena keindahan bunganya yang mekar dalam jumlah banyak. Namun, pada akhirnya taman tersebut juga menjadi rusak setelah pengunjung yang datang membludak hingga menginjak-injak tanaman.
Kasus yang terkini adalah destinasi wisata Taman Tebet di Jakarta yang baru saja diresmikan pemerintah sebagai taman kota berkonsep ecopark. Setelah viral di media sosial, taman tersebut didatangi banyak pengunjung yang akhirnya menyebabkan munculnya banyak sampah dan kemacetan di sekitar lokasi.
Kontra Produktif
Selain menyebabkan destinasi menjadi rusak hingga ditutup, kasus-kasus tersebut juga menyebabkan pemberitaan selanjutnya cenderung kontra produktif. Arus informasi yang cepat dalam media sosial terbukti dapat menimbulkan kerugian dalam aspek keberlangsungan sebuah destinasi wisata, bahkan terhadap lingkungan. Sebuah lokasi yang tadinya asri dan bersih tiba-tiba dapat menjadi rusak, kotor, dan macet setelah viral di media sosial.
Laju penyebaran informasi dalam pemasaran viral cenderung tidak terkontrol bahkan terlampau cepat dan tidak dapat dipetakan. Hal tersebut menyebabkan pihak pengelola cenderung gagal untuk mengantisipasinya. Tentu pihak pengelola tidak dapat serta merta disalahkan mengingat pemasaran viral memang cenderung terbentuk secara simultan dan tidak terduga.
Kita harus memahami bahwa di era teknologi digital, ketika informasi terdistribusi dengan cepat, diperlukan antisipasi yang presisi agar laju informasi yang berkembang dapat tetap terkontrol. Misalnya dengan cara memberikan informasi tambahan secara masif dan intens sehingga audiens dapat memperoleh pengetahuan yang lengkap dan aktual terkait destinasi yang sedang viral.
Kasus Ranu Manduro mungkin tidak akan berdampak parah jika pengelola mengantisipasi keviralan yang terjadi dengan cermat. Misalnya dengan memberikan informasi kepada publik terkait kondisi akses yang belum representatif, hingga melakukan pembatasan jumlah pengunjung ketika diprediksi jumlahnya terus meningkat.
Seperti halnya dalam kasus taman bunga Amaryllis. Keasrian dan lingkungan taman tersebut mungkin juga akan tetap terjaga jika pengelola secara cepat menginformasikan kepada audiens terkait aturan berwisata di taman tersebut. Pengelola dapat mengedukasi audiens agar tidak merusak tanaman ketika berkunjung, khususnya ketika melakukan aktivitas berfoto.
Begitu juga untuk kasus Taman Tebet. Taman yang baru diresmikan tersebut mungkin juga akan tetap bersih dan asri jika aturan berkunjung disosialisasikan secara masif dan preventif. Pengunjung perlu diingatkan terlebih dahulu agar selalu menjaga kebersihan serta menghindari penggunaan kendaraan pribadi guna mencegah timbulnya kemacetan di sekitar lokasi.
Antisipasi
Pemasaran viral harus di-lead agar tidak memberikan informasi sesat atau menghadirkan efek buruk, baik dalam aspek citra destinasi atau lingkungan secara umum. Melakukan tracking dan analisis terhadap perkembangan isu di media sosial juga perlu dilakukan pemasar agar antisipasi yang dilakukan dapat lebih optimal.
Ketika membangun komunikasi pemasaran secara digital, pemasar mulai perlu menyampaikan informasi secara lebih komprehensif kepada audiens, termasuk informasi terkait aspek nonteknis di luar produk yang dipromosikan. Dalam konteks pemasaran pariwisata, seharusnya pemasar tidak lagi hanya fokus mempromosikan destinasi wisata guna menarik minat audiens untuk berkunjung.
Pemasar juga perlu memberi insight lain di luar produk wisata yang dipromosikan, misalnya terkait konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan. Pemasar perlu terus memberikan edukasi kepada audiens agar selalu menjaga kebersihan ketika mengunjungi destinasi wisata, mengurangi kemacetan dan pencemaran udara dengan menghindari penggunaan kendaraan pribadi atau kendaraan bermotor, hingga menjaga dan menghormati kearifan lokal dari destinasi wisata yang dikunjungi.
Pemasar harus mulai paham bahwa generasi digital natives, khususnya Gen-Z, sudah cukup paham terkait isu lingkungan. Hal yang diperlukan selanjutnya adalah edukasi dan pemberian informasi yang lebih intens agar kesadaran untuk menjaga lingkungan yang telah terbangun dapat terus terjaga bahkan menular dan cenderung meningkat.
Proses edukasi dan pemberian informasi dapat dilakukan dengan berbagai cara yang dianggap relevan terhadap target audiens. Misalnya untuk Gen-Z yang memiliki karakter hipertekstual, pemberian informasi dapat dilakukan melalui media sosial mengingat platform tersebut telah menjadi "kebutuhan pokok" sehari-hari.
Edukasi dapat dilakukan dengan konsep gamifikasi melalui penyediaan aplikasi destinasi wisata. Gamifikasi terbukti mampu dijadikan alat untuk mengubah perilaku, khususnya yang berkaitan dengan aspek lingkungan. Aplikasi yang menggunakan elemen gamifikasi, seperti memberikan umpan balik atau mendapatkan poin untuk tantangan tertentu, dinilai lebih positif oleh pengguna alih-alih hanya sekadar himbauan tertulis.
Selain itu, gamifikasi dalam aplikasi tersebut juga dapat diintegrasikan dengan media sosial sehingga aktivitas yang dilakukan dapat dijadikan konten oleh penggunanya. Hal tersebut tentu dapat memotivasi serta menginspirasi individu lain untuk ikut berkompetisi dalam menjaga kelestarian lingkungan sekaligus berkunjung ke destinasi wisata yang ditampilkan.
Dengan hal tersebut, diharapkan perkembangan teknologi digital yang semakin partisipatif dalam hal pendistribusian informasi tidak malah menjadi bumerang yang justru membuat destinasi dan lingkungan menjadi rusak. Teknologi digital seharusnya dapat digunakan secara positif, termasuk dimanfaatkan sebagai alat untuk mendorong terciptanya pariwisata yang berkelanjutan.
Karakter pengguna media digital di era web 2.0 tidak hanya menjadi consumer namun juga producer (prosumer) melalui konten yang diproduksi dan diunggah. Peran prosumer tersebut harus dapat dimanfaatkan pemasar untuk mempromosikan produk sekaligus menggaungkan konsep kelestarian lingkungan.