Hari-hari ini kita dihadapkan pada persoalan krusial perihal menurunnya kualitas kepekaan sosial dan lingkungan. Pemanasan global, perubahan iklim menjadi tidak normal, cuaca yang ekstrem, hujan yang tidak menentu, angin kencang, dan banjir menandakan bumi, rumah bersama ini, semakin rapuh oleh karena berbagai aktivitas dan kebijakan pembangunan yang tidak seimbang.
Paradigma pembangunan dewasa ini sangat mengkhawatirkan karena melahirkan perilaku mekanistik, militeristik, eksploitatif, dan destruktif terhadap alam. Persoalan orientasi hidup manusia modern yang cenderung materialistik dan hedonistik semakin memperburuk cara pandang terhadap lingkungan hidup dan segala isinya. Alam dilihat sebagai sebuah entitas yang terpisah dari manusia, sementara di saat bersamaan manusia melegitimasi dirinya sebagai pusat dari sistem alam.
Karena itu, jika hari-hari ini, dunia terus-menerus dilanda krisis lingkungan hidup (krisis ekologis) hal itu dapat dipahami karena paham antroposentris yang terlampau kelewat batas. Alam dipahami sebagai sesuatu yang tidak punyai nilai intrinsik kecuali semata-mata nilai yang dilekatkan oleh manusia terhadapnya. Alam dilihat secara mekanistik seperti sebuah mesin raksasa yang terus berproduksi, sehingga manusia bebas menjarah alam tanpa batas.
Paradigma pembangunan dewasa ini sangat mengkhawatirkan karena melahirkan perilaku mekanistik, militeristik, eksploitatif, dan destruktif terhadap alam. Persoalan orientasi hidup manusia modern yang cenderung materialistik dan hedonistik semakin memperburuk cara pandang terhadap lingkungan hidup dan segala isinya. Alam dilihat sebagai sebuah entitas yang terpisah dari manusia, sementara di saat bersamaan manusia melegitimasi dirinya sebagai pusat dari sistem alam.
Karena itu, jika hari-hari ini, dunia terus-menerus dilanda krisis lingkungan hidup (krisis ekologis) hal itu dapat dipahami karena paham antroposentris yang terlampau kelewat batas. Alam dipahami sebagai sesuatu yang tidak punyai nilai intrinsik kecuali semata-mata nilai yang dilekatkan oleh manusia terhadapnya. Alam dilihat secara mekanistik seperti sebuah mesin raksasa yang terus berproduksi, sehingga manusia bebas menjarah alam tanpa batas.
Melalui Menyapa Bumi, Menyembah Hyang (2008), Raymundus Sudhiarsa menegaskan bahwa krisis ekologis berhubungan erat dengan kualitas kemanusiaan kita. Kerakusan, keserakahan, dan kesembronoan manusia yang ingin mendapatkan keuntungan banyak dalam jangka pendek, bersumber pada pola relasi manusia dengan alam sebagai relasi subjek-objek.
Kita semua diajak untuk merenungkan, menyemai, dan menumbuhkan kesadaran baru hidup ekologis, yang sebetulnya telah berakar dalam hakikat kita sebagai manusia terutama kodrat kita sebagai pancaran, citra, dan rupa Allah sendiri. Sifat-sifat tersebut sebenarnya telah melekat sebagai bagian dari kesejatian kemanusiaan kita namun karena kehendak bebas yang kemudian melahirkan sikap egoistik, kita kehilangan kesadaran pada hal-hal baik yang ada dalam diri.
Arne Naess, seorang ekologist asal Norwegia, mengafirmasi bahwa krisis lingkungan hidup dewasa ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal. Itu berarti, jika sebelumnya, gaya hidup eksploitatif yang dijalankan, kini saatnya mulai rekonstruksi pola hidup, cara pandang, cara bersikap terhadap alam. Kita harus segera beranjak dan memulai cara hidup baru yang berkesadaran ekologis.
Pertama, berkualitas. Manusia harus kembali kepada martabatnya sebagai makhluk berkualitas. Berkualitas berarti bersikap sesuai kodrat sebagai citra Tuhan. Dalam arti, seluruh niat dan tujuan hidup harus diarahkan pada kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Di hadapan alam, manusia perlu memandangnya sebagai kebaikan Sang Pencipta, hadiah yang indah, sehingga cara pandang terhadap alam menjadi lebih bersahabat sehingga pada akhirnya, selalu mengalami bahwa alam adalah bagian dari hidup. Alam yang menyokong hidup. Bahwa pertumbuhan biologis, perkembangan ekonomi, sosial, politik, dan budaya dapat terjadi karena dimungkinkan oleh alam.
Kedua, sederhana. Hidup sederhana bermakna tidak berlebihan dalam makan, belanja, dan kepemilikan. Sikap hidup sederhana tentu menjadi unsur penting demi menghindari kecenderungan konsumeristik dan hedonistik, yang pada dasarnya, menjadi bagian tak terpisahkan dari timbulnya krisis lingkungan dan kemanusiaan. Kita harus ingat ungkapan Satish Kumar, ekologist India. Melalui bukunya Soil, Soul, Society (2015) ia mengatakan bahwa alam menyediakan cukup untuk kebutuhan semua orang tetapi tidak cukup untuk keserakahan satu orang.
Ketiga, hemat. Sikap hemat dalam hidup selalu bermakna keadilan sosial. Perilaku hemat akan sangat berdampak signifikan bagi pelestarian lingkungan dan manusia. Tidak membuang-buang makanan, mematikan lampu yang tidak perlu, menghemat air, mengurangi sampah merupakan suatu kreativitas hidup yang murah hati dan mengandung solidaritas sosial. Paus Fransiskus di dalam Laudato Si mengatakan bahwa satu miliar penduduk di bumi menderita kelaparan, tapi 1/3 makanan di bumi dibuang percuma.
Baginya, membuang-buang makanan sama dengan merampok jatah orang miskin. Hemat dalam konteks ekologis akan berpangkal pada keselamatan bersama. Karena setiap kali kita menghemat sumber daya alam yang yang digunakan bukan hanya kita yang selamat tetapi orang lain juga. Hemat yang ekosentris, pada satu titik, akan menumbuhkan kepedulian.
Keempat, kepedulian. Kepedulian dalam konteks ekologis adalah kepedulian yang dibangun mulai dari diri sendiri. Merawat diri menjadi pribadi yang sehat akan berdampak pada kebiasaan memperhatikan kesehatan lingkungan. Kepedulian terhadap diri, yang dilakukan dengan cara menjalankan hidup yang positif, akan berdampak baik kepada lingkungan dan sesama. Misalnya tidak merokok, mengurangi sampah, dan tidak membuang-buang makanan. Sikap peduli yang telah tertanam dengan baik dalam diri akan membuahkan semangat untuk berbagi kepada sesama.
Kelima, berbagi. Kepedulian akan menumbuhkan keikhlasan untuk berbagi baik itu ilmu, waktu, atau materi. Semangat berbagi akan meneguhkan keberadaan kita sebagai manusia dan secara mendalam akan membahagiakan. Dengan berbagai hal-hal yang baik, kita secara tidak langsung, mengajak orang lain untuk mau peduli pada hidup bersama. Dengan berbagai kita sadar sekaligus mengajak orang lain bahwa seluruh hidup kita adalah pemberian Sang Pencipta, melalui sumber daya kehidupan yang Ia letakkan di alam, bumi kita.
Keenam, bermakna dan menjadi harapan. Keikhlasan berbagi akan meneguhkan kebermaknaan kita sebagai manusia. Kebermaknaan itu akan membahagiakan bahkan melalui hal-hal kecil (yang positif) yang kita lakukan dalam hidup. Kebermaknaan hanya dapat dilahirkan dari upaya menjadi manusia yang sejati, bersahabat dengan semua orang dan peduli pada lingkungan tempat bernaung. Pada akhirnya, ketika mampu menemukan makna sesungguhnya menjadi manusia, kita dapat menjadi harapan bagi kelangsungan hidup bersama. Kita dapat membawa harapan kebaikan bagi semua orang dan lingkungan.
Cara-cara sederhana ini dapat dipraksiskan oleh setiap kita. Secara pribadi saya melihat cara hidup baru berkesadaran ekologis adalah langkah yang sangat praktis tetapi berdaya mengubah kebiasaan hidup, mentransformasikan ke arah yang lebih berbudaya. Semoga cara-cara ini menjadi refleksi dan praksis di tengah peringatan hari lingkungan hidup sedunia.
Betul bahwa perbaikan dan pemulihan lingkungan yang semakin rusak memerlukan strategi yang holistik-integral baik secara praktik maupun sistem. Membutuhkan gandengan tangan semua pihak. Membutuhkan kerja sama dan motivasi yang kuat serta dedikasi yang nyata. Namun tidak kalah penting, berangkat dari praktik hidup sederhana secara individual, keenam gaya hidup baru di atas dapat dimulai. Tujuannya adalah kebaikan bersama.
Andreas Maurenis lulusan Filsafat-Teologi Unika Parahyangan; anggota Khasatria Shambala, Yayasan Sahabat Lingkungan Hidup (Eco Camp), Bandung
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini