Jagat maya kita gaduh lagi. Alih-alih kecerdasan dijadikan simpul kebajikan, seorang mantan pejabat justru berulah. Dalih kebebasan berekspresi dijadikan jalan melepas hasrat. Mengemas sindiran dengan meme stupa candi Borobudur. Publik yang geram sontak menyerang balik. Ia diadukan ke pihak berwajib karena dianggap menghina Presiden Jokowi dan menistakan agama Budha.
Begitulah atmosfir berdemokrasi kita yang tak pernah kehilangan dinamika. Selalu dipenuhi letupan energi dari aneka peristiwa yang membesut keriuhan. Spektrumnya lebar dari isu politik hingga urusan perut. Kadang menggelikan. Tak jarang pula membuat mual karena menabrak simpul akal sehat dan kewarasan. Bisa jadi sebagian dari kita menggelengkan kepala seraya berkata: Anda sehat?
Kasus stupa Borobudur itu disayangkan. Namun itu bukan satu-satunya. Belum lama ini viral polemik rendang babi. Gaduh dengan alur logika terpuntir. Seakan belum cukup, terjadi sengkarut pandangan yang lain. Meributkan label status ikan mujair. Membuat kita terbiasa dengan perang sindiran di media. Seolah pamali mengumbar aib sesama telah pupus dari kamus kesadaran berujar kita.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya bertanya-tanya, apakah itu semua merupakan cacat distorsi dalam konstruksi berpikir publik? Belenggu logika yang cenderung merendahkan orang lain disertai nalar ketidaksukaan membutakan hati. Mirisnya, bahkan presiden pun tak luput menjadi sasaran perilaku menurutkan nalar semacam itu. Menafikan kerja keras dan semua persembahan tulusnya. Menjadi ironi karena semua terjadi saat sebagian saudara kita yang tidak dirundung rasa cinta itu justru sedang ikut menikmati manfaat kerja keras Sang Presiden. Adab merunduknya padi berisi seolah telah raib tak lagi mengejawantah. Sesat logika menghempas bening kalbu laksana angin lalu menyapu debu di atas batu. Jika fenomena itu merupakan anomali, lantas apa pemicunya?
Buruk Muka Cermin Disiasati
Apakah sekolah dan semua madrasah patut dipersalahkan karena para pelaku dalam kisah di depan merupakan orang berpendidikan? Tentu tidak demikian. Saya mencari tahu dengan menengok ke cermin adab dalam simpul kearifan adat.
Insan berpendidikan pasti mengenal pepatah lama. Buruk muka cermin dibelah. Nun kecerdasan mereka melarang untuk melakukan itu. Jika pun terpaksa mengapa harus menempuh cara kuno dengan merusak cermin? Era digital memberi ruang berulah untuk tampak beradab dengan lebih leluasa. Kemudahan akses informasi dalam atmosfir demokrasi nyaris tanpa batas adalah gerbangnya. Merekayasa citra di cermin virtual dalam ruang diskursif. Mengadu kebenaran versus persepsi kebenaran seperti dimaksud Jurgen Habermas. Mengandalkan daya bersiasat otak sebagai panglima.
Kala cermin sejati menampilkan bayangan diri yang tak sebaik orang lain, maka otak merekayasa pesan bahwa kebaikan orang lain itu tidak sejati. Memodulasikan pesan itu ke cermin virtual media sosial untuk dicitrakan sebagai kebaikan bekepalsuan. Termasuk merekayasa bukti yang seolah tertelusur nyata. Begitu pula ketika cermin kebenaran mempertontonkan diri yang miskin prestasi. Otak pun tak kehabisan solusi. Berkreasi dengan modulasi pesan yang mempersepsikan prestasi orang lain sebagai keniscayaan pencapaian setiap kerja bersama. Sesuatu yang tidak istimewa.
Sikap yang sangat tak patut diteladani. Sadar kelemahan bayang diri bertaut dengan hati yang terbelenggu hasrat. Menjadi dorongan merajut siasat mengemas kesan kearifan maya. Menyerupai tingkah kucing di depan cermin yang berharap menampak singa di balik kaca. Bagaikan katak dalam kardus yang berhalusinasi perkasa layaknya Hulk semata karena merasa warna kulit mereka sama.
Semuanya jelas bukan cerminan kualitas kecerdasan paripurna. Realitas yang elok menggugah kesadaran kita sebagai bangsa. Betapa penting memperkokoh konstruksi tradisi berpikir positif dan produktif. Memperbesar gentong pengetahuan sebagai penopang tumbuhnya kearifan dan daya kritis. Hal penting yang kita perlukan demi elok masa depan Indonesia. Menjadi perisai terhadap derau luapan informasi dalam kehidupan moderen yang terbuka. Menahan paparan virus sesat berlogika yang dapat menjangkiti siapa saja. Merapuhkan batang nalar lalu menguras energi poritif kita dengan keriuhan tak berguna. Seperti digambarkan Virilio dalam dromologi.
Sisi baiknya, terdapat banyak pintu untuk mengenal kebenaran. Banyak jalan menuju Roma. Fisikawan memiliki cara bekerja yang disebut dengan metode bayangan. Dikembangkan untuk perhitungan tepat nilai medan. Dengan merekonstruksi sebuah bidang imajiner lalu menarik garis tegak lurus terhadap sumber medan maka seolah sumber virtual muncul tepat di posisi bayangan sumber aslinya. Sebaliknya fisikawan dapat pula melakukan inversi. Artinya, dengan mengukur medan di titik tertentu yang lalu disandingkan dengan keadaan sumber sejatinya, maka nilai dan koordinat sumber virtual dapat dihitung secara eksak.
Struktur logika yang sama berlaku untuk mengupas pertarungan kebenaran versus persepsi kebenaran di ruang diskursif. Semesta selalu memberi ruang singkapan kesejatian. Begitu pun publik senantiasa tak mungkin berlepas dari naluri kebenaran. Maka barang siapa bersengaja merekonstruksi kebenaran dengan persepsi palsu hendaklah ia bersiap menuai pilu. Sandaran kuasa nalar dan otak yang disangkanya mumpuni kelak dikuliti waktu dengan ketajaman pisau kecerdasan esensial. Tak ada jalan inkar karena setiap kebodohan akan tersingkap tuntas.
Tom Edwards dan Cosimo Chiera menulis buku berjudul The Freedom of Virtue yang diterbitkan Australian Academic Press (2019). Di dalamnya disebutkan bahwa godaan kehidupan yang berkencederungan kepada perolehan hasil bersifat instan dapat menjadi sebab tercerabutnya akar akal budi seseorang dari sendi kebajikan. Saya menjadi terkesiap. Teringat soal lunturnya adab. Inikah pangkal anomali dan cacad berlogika yang sedang terjadi? Wallahualam.
Hidup berkebajikan tak dapat diuntai dengan hanya mengandalkan kecerdasan otak. Konstruksinya terbangun dari fundamen kejujuran, nyali, ketekunan, kearifan, rasa hormat, keadilan dan kebaikan yang bertaut dalam simpul keselarasan asa dan langkah. Saya percaya bahwa kecerdasan itu dapat menjadi pembuka rahmat. Sejuk bagai risalah cinta nan mencerahkan. Maujud dalam karya yang menginspirasi. Lalu dalam teduh menjadi solusi yang memutus belenggu. Seperti tersirat dalam kiprah Sang Presiden. Terima kasih Pak Jokowi. Selamat Ulang Tahun.
Iwan Yahya. Dosen dan peneliti. The Iwany Acoustics Research Group (iARG) Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Simak juga 'Roy Suryo yang Lagi-lagi Dilaporkan Gegara Meme Candi Borobudur':