Dalam praktik sehari-hari, acap ditemui permasalahan utang-piutang yang dibuat tanpa adanya perjanjian tertulis sebelumnya. Biasanya, untuk mengatasi hal tersebut, pihak kreditur meminta atau bahkan membuatkan surat pernyataan kepada debitur untuk mengakui utangnya.
Di kemudian hari, bermodalkan surat pernyataan tersebut, pihak kreditur sering 'mengancam' akan menyeret pihak debitur ke ranah hukum, baik secara perdata maupun pidana apabila pihak debitur tidak menyelesaikan kewajibannya kepada kreditur. Tepatkah langkah demikian?
Dalam Ranah Perdata
Salah satu alat bukti dalam hukum acara perdata adalah alat bukti tertulis atau surat, yang terbagi menjadi dua, yakni akta dan tulisan-tulisan lainnya. Akta sendiri terbagi menjadi dua, yakni akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik atau akta resmi, berdasar Pasal 1868 KUH Perdata adalah suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tersebut.
Di kemudian hari, bermodalkan surat pernyataan tersebut, pihak kreditur sering 'mengancam' akan menyeret pihak debitur ke ranah hukum, baik secara perdata maupun pidana apabila pihak debitur tidak menyelesaikan kewajibannya kepada kreditur. Tepatkah langkah demikian?
Dalam Ranah Perdata
Salah satu alat bukti dalam hukum acara perdata adalah alat bukti tertulis atau surat, yang terbagi menjadi dua, yakni akta dan tulisan-tulisan lainnya. Akta sendiri terbagi menjadi dua, yakni akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik atau akta resmi, berdasar Pasal 1868 KUH Perdata adalah suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tersebut.
Sebaliknya, akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat oleh para pihak tanpa melalui atau di hadapan pejabat umum. Surat pernyataan sering dianggap sebagai akta di bawah tangan, dan karenanya pihak kreditur merasa keberadaan surat pernyataan 'cukup' untuk mempermasalahkan debiturnya di hadapan pengadilan. Dalam ranah hukum acara perdata, saya setuju dengan beberapa alasan berikut.
Pertama, dalam pembuktiannya hukum acara perdata menggunakan teori pembuktian positief wettelijk bewijstheorie; hakim terikat secara positif kepada alat bukti menurut undang-undang. Artinya, jika dalam pertimbangan, hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat buti yang disebut dalam undang-undang tanpa diperlukan keyakinan, hakim dapat menjatuhkan putusan (Eddy OS Hiariej, 2012).
Kedua, dalam ranah hukum acara perdata, terdapat hierarki alat bukti; alat bukti tertulis menduduki hierarki tertinggi di antara alat-alat bukti lainnya. Konsekuensi lebih lanjut dari adanya hierarki alat bukti tersebut adalah hakim dapat mengesampingkan alat-alat bukti yang secara hierarki lebih rendah dari alat bukti tertulis.
Ketiga, Pasal 1875 KUH Perdata pada intinya menyatakan bahwa suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh pembuatnya, maka surat pernyataan tersebut memiliki kekuatan pembuktian sebagaimana akta otentik dan mengikat bagi pihak yang menandatangani, ahli waris serta pihak lain yang mendapatkan hak dari mereka.
Dalam Ranah Pidana
Berbeda halnya dengan hukum acara perdata, dalam ranah hukum acara pidana surat pernyataan tidak bisa secara serta merta menjadi alat bukti. Paling tidak ada empat hal yang menjadi argumen.
Pertama, hukum acara pidana menggunakan negatief wettelijk bewijstheorie yang pada dasarnya hakim hanya dapat memutus perkara pidana berdasar bukti-bukti yang ada dan diperoleh secara sah, dan juga harus terdapat keyakinan hakim di dalamnya bahwa terdakwa memang bersalah atas tindak pidana yang terjadi.
Kedua, meskipun surat pernyataan dapat dikatakan sebagai bentuk pengakuan tertulis dari pihak debitur kepada pihak kreditur, hukum acara pidana kita mengatur bahwa pengakuan terdakwa sekalipun tetap harus disertai dengan alat bukti yang lain. Dengan kata lain, meskipun terdakwa mengakui perbuatannya, apabila tidak ada alat bukti lainnya yang dapat memperkuat keterangan terdakwa tersebut, maka hakim tetap tidak diperkenankan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa.
Ketiga, pada praktiknya, penyidik biasanya meminta bukti-bukti mengenai transaksi keuangan yang terjadi antara kreditur dan debitur. Apabila kreditur memiliki bukti-bukti transaksi yang dibutuhkan oleh penyidik, maka akan ada kemungkinan bagi debitur untuk menjadi tersangka atau bahkan terdakwa. Ini adalah salah satu bentuk kehati-hatian penyidik dalam menetapkan status tersangka terhadap seseorang.
Keempat, surat pernyataan bersifat sepihak, sehingga apabila pembuat pernyataan menarik kembali pernyataannya, maka surat pernyataan yang telah dibuat sebelumnya menjadi tidak berlaku.
Pada dasarnya, perjanjian tertulis dapat menjadi salah satu cara untuk menghindari potensi-potensi yang dapat merugikan salah satu maupun seluruh pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Celakanya, tidak jarang permasalahan utang-piutang disebabkan karena rasa percaya di antara para pihak, sehingga mengakibatkan tidak adanya perjanjian tertulis dan tidak adanya catatan transaksi antara pihak kreditur dan debitur.
Ketika pihak kreditur mulai merasa pihak debitur bermasalah dalam melaksanakan kewajiban, pihak kreditur hanya memiliki bukti yang minim, atau bahkan tidak memiliki bukti sama sekali untuk mempermasalahkan pihak debitur ke ranah hukum.
Mahendra Wirasakti praktisi hukum
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini