Usaha rintisan (start-up) di berbagai belahan dunia dibayang-bayangi spiral kematian. Pemulihan ekonomi pascapendemi masih buram. Dalam ketidakpastian, sejumlah dinamika eksternal membuat keadaan kian runyam.
Bank Sentral Amerika Serikat menarik tali kekang. The Fed mengatrol suku bunga acuan. Menembus rekor angka tertinggi dalam 22 tahun terakhir. Akibatnya, terjadi arus balik dana segar.
Dolar pulang kampung. Guyuran modal yang diharapkan sebagai pelumas kala pasar seret, justru menghilang. Valuasi perusahaan teknologi rontok di banyak bursa saham. Kejayaan yang sempat disandang kini dipertaruhkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada saat yang sama, umat manusia yang jenuh terjebak pada siklus daring selama pandemi mulai mencari pelampiasan. Termasuk kembali mengaktivasi kegiatan pertemuan langsung. Keluar dari perangkap kehilangan pengalaman (lack of experience) dan terputus koneksi sosialnya selama lebih dari dua tahun. Selain itu, alasan-alasan teknis penyesuaian dengan digitalisasi juga jadi kendala.
Dalam beberapa survei ditemukan bahwa banyak pekerja merasa dirugikan oleh trend remote working atau work from home yang diterapkan selama pandemi. Urusan kantor mengintrusi wilayah dan kehidupan peribadi. Studi Biro Riset Ekonomi Nasional (NBER) di Amerika Serikat menemukan, rata-rata jam kerja bertambah 48,5 menit karena flexi working. Work life balance dikeluhkan. Kerja dari mana saja merusak produktivitas alih-alih berharap pekerja menikmati banyak waktu senggang.
Senada, di lingkungan pendidikan, trend tele education juga dinilai kurang efektif. Baik oleh siswa maupun tenaga pendidik. Berbagai perangkat aplikasi yang menopang pendidikan jarak jauh, tidak mampu menyamai efektivitas pertemuan tatap muka. Dalam mode daring, siswa menghadapi banyak gangguan yang merusak konsentrasi. Belum lagi kendala infrastruktur yang dihadapi.
Problematis
Perubahan yang serba dadakan memang problematis. Faktor teknis kebijakan yang mempengaruhi aliran pendanaan, fundamental sosiologi pasar yang tidak siap, serta pemulihan yang tidak pasti merupakan tiga tantangan anyar ekonomi digital yang membentuk spiral kematian. Terutama usaha rintisan yang masih terus melakukan penetrasi pasar dan butuh dana besar untuk menjaga konsistensi.
Kutukan ekonomi digital bahkan merambah ke unicorn dan decacorn. Sejumlah perusahaan teknologi berubah jadi zombiecorn atau zombie unicorn. Istilah itu merujuk pada perusahaan bervaluasi jumbo yang mengalami keterpurukan. Mereka mencoba tetap berdiri meski tertatih. Kocek telah kering, namun belum juga mendapat tambahan injeksi investasi.
Unicorn dan decacorn terpaksa menempuh penyesuaian. Mengencangkan ikat pinggang jadi kuda-kuda andalan. Para pimpinannya terus merapal mantra efisiensi untuk menghindari spiral kematian. Konsekuensi pada layanan yang didera deklinasi harus dihadapi. Pengguna menyusut, pendapatan anjlok, karyawan jadi tumbal pemutusan hubungan kerja.
Geger digitalisasi selama dua tahun pendemi,memang menciptakan lonjakan pertumbuhan instan. Peralihan dari offline ke online yang menjanjikan peluang telah memicu respons perusahaan teknologi dengan belanja besar-besaran. Gebyar promo digelar untuk mengerek transaksi. Diskon, cashback, gratis ongkir, dan sederet lema bermakna subsidi jadi magnet menarik atensi.
Gemuruh perlombaan ekspansi ambisius membentuk industri digital setengah matang. Kita lupa bahwa sesuatu yang instan kerap menyisakan persoalan di ujung tikungan. Deru ekonomi digital dalam beberapa tahun terakhir, dan mencapai puncak grafik di kala pandemi covid, diadang jalan terjal keberlanjutan (sustainability). Aksi jor-joran bakar uang demi pertumbuhan mengesankan rupanya menjadi beban.
Pelajaran Pahit
Ambisi mengejar pertumbuhan tentu sah-sah saja. Namun harus dibangun di atas fondasi nilai dan substansi. Pertumbuhan disulap dari mengepul aksi bakar uang pemodal bukan pencapaian impresif. Penggemukan instan memberikan pelajaran pahit. Sulit melahirkan bisnis yang punya usia panjang.
Loyalitas konsumen yang masih bertumpu pada royalitas industri mengobral diskon mengindikasikan start-up terjebak status quo. Gagal menawarkan nilai tambah. Hanya mengandalkan promo.
Struktur harga berlapis yang perlahan diterapkan untuk menuju jalur profitabilitas dinilai pasar kurang promotif. Harga yang ditebus tinggi, secara substansi mengembalikan esensi bisnis ke era konvensional. Kurang efisien. Hanya mediumnya saja yang berubah. Transaksi dan interaksi jual beli melalui perantaraan gawai.
Cash burn atau bakar uang merupakan penyebab yang berada di urutan kedua kegagalan start-up setelah masalah market fit. Semakin besar skala bisnis yang digarap, maka kebutuhan bakar uang semakin tinggi. Dengan kondisi yang belum profitabel, usaha rintisan harus terus bertualang mengetuk dari pintu ke pintu menunggu uluran modal para investor.
Hal lain yang juga harus kita apresiasi dari ancaman spiral kematian ini, ada banyak dampak tidak langsung (side impact) era bakar uang. Jika dihitung-hitung, subsidi perusahaan teknologi telah membuka banyak peluang. Berhasil menarik gerbong ekonomi yang panjang.
Akses ke sektor-sektor pariwisata baru terbuka karena agresivitas agen perjalanan online menggelontorkan promo. Jutaan usaha rumahan lahir karena jasa pesan makanan online. UMKM menembus pasar global dijembatani lokapasar. Lusinan jenama lokal dibanggakan anak bangsa. Bakar uang start-up juga melahirkan ribuan pengusaha muda. Membuka tabir keberanian anak-anak muda terjun ke dunia bisnis.
Tak ayal, mengakhiri era bakar uang kini jadi mimpi semua start-up. Namun hal itu sulit dicapai selagi pasar belum menemukan nilai tambah yang lebih menarik. Ruang ini sebetulnya menyisakan celah bisnis baru untuk menekan operasi. Termasuk mengelaborasi dengan momentum konsumsi yang menjadi primadona ekonomi Indonesia.
Mencapai efisiensi lebih landai ditempuh oleh perusahaan teknologi yang ditopang ekosistem beragam. Berkaca pada laporan keuangan GoTo yang baru saja dipublikasikan, sinergi berbagai lini bisnis Gojek dan Tokopedia terbukti mampu memangkas berbagai biaya yang mungkin timbul dalam operasional perusahaan. Jangkauan ekosistem yang luas, mengakselerasi GoTo menuju orbit profitabilitas.
Data laporan keuangan pada Kuartal 1 - 2022 menunjukkan angka kerugian turun menjadi Rp 5,4 triliun dibandingkan dengan Kuartal 4 sebesar Rp 6,2 triliun. Tren penurunan kerugian quarter over quarter setelah konsolidasi berbagai layanan di dalam ekosistem mengindikasikan biaya pengeluaran berhasil dipangkas.
Benefit ini tentu saja sulit dicapai oleh usaha rintisan yang hanya menggarap satu atau dua sektor layanan. Karena itu, tren akuisisi dan merger masih akan terus mewarnai industri digital ke depan untuk keluar dari spiral kematian.
Jusman Dalle Direktur Eksekutif Tali Foundation, praktisi ekonomi digital