Berbagai fenomena yang terjadi belakangan ini, mulai dari informasi meregangnya hubungan antara Presiden Jokowi dengan Ketua Umum PDIP Megawati hingga manuver sejumlah pejabat publik untuk mendapatkan atensi Presiden menjadikan suasana politik yang tidak menentu. Maka, segala sesuatunya sangat mungkin terjadi. Terlebih, setiap kekuatan politik sudah mulai menghitung dan mencari peluang menatap pemilu serentak pada 2024 mendatang.
Maka tidak heran jika semua kekuatan politik di negeri ini memiliki kepentingan --sekalipun mengingatkan kembali kita pada sajak Rendra, "Kepentingan itu milik siapa?"
Reshuffle kabinet dari sudut hukum tata negara sepenuhnya adalah kewenangan presiden, sehingga disebut hak prerogatif presiden. Kewenangan ini melekat pada jabatan presiden, sehingga sepenuhnya sangat bergantung pada political will dari presiden. Namun demikian, memperhatikan perkembangan aktual ketatanegaraan, reshuffle tampaknya adalah pilihan paling konkret dan bijak untuk menyelamatkan pemerintahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Reshuffle sejatinya bukan sekadar mengakomodasi kepentingan partai koalisi atau reward nyata bagi kekuatan politik pendukung presiden semata; reshuffle sangat erat kaitannya dengan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Bagi pemerintahan yang sudah tidak efektif baik karena kehilangan kepercayaan masyarakat, kekuatan politik yang mulai melemah, atau alasan lainnya, maka reshuffle adalah salah satu obat ampuh mengembalikan kepercayaan dan efektifitas itu.
Terlebih, mendapatkan pemerintahan efektif yang bermuara pula pada pelayanan publik yang profesional adalah hak seluruh masyarakat.
Urgensi Reshuffle Kabinet
Sebagai warga masyarakat, saya mencoba menuangkan beberapa alasan reshuffle yang diperoleh dari analisis sederhana dan obrolan-obrolan kecil di warung kopi. Pertama, menurunnya angka Covid-19 mengharuskan pemerintah untuk mengubah strategi pembangunan.
Jika selama ini fokus utama adalah pengendalian penyebaran dan penanganan Covid-19, sehingga mengharuskan adanya kebijakan refocusing anggaran di hampir semua bidang, yang berdampak pada "carut-marutnya" kondisi ekonomi masyarakat, maka sudah saatnya refocusing penuh itu kita akhiri, lalu kembali pada penataan ekonomi masyarakat, utamanya kecil dan menengah.
Perubahan strategi ini sejatinya berdampak pula pada perubahan aktor-aktor kunci yang duduk di pemerintahan, termasuk yang terwakili pada masing-masing Kementerian.
Kedua, melihat apa yang terjadi belakangan ini, kenaikan harga minyak goreng yang tak terkendali, melambungnya harga bahan pokok dan bahan bakar minyak, hingga gagalnya pemerintah mengendalikan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang menyerang sapi-sapi dalam negeri. Ini memang masalah yang kompleks, tapi tentu ada aspek kegagalan pihak-pihak terkait hingga berdampak demikian besar sampai hari ini.
PMK misalnya, kita sangat yakin masalah ini tidak datang secara tiba-tiba ke Indonesia yang sudah dinyatakan bebas sejak 1990-an; ada skema kebijakan besar yang tersistematis mengapa virus itu bisa kembali menyerang Indonesia. Tanggung jawab tentu harus diletakkan pada tempat yang proporsional; mereka yang belum mampu menangani masalah serius ini dengan baik, tidak ada salahnya jika digantikan oleh orang lain yang jauh lebih berkompeten.
Ketiga, barangkali ini adalah bagian terpenting yaitu sebagian menteri kabinet Presiden Jokowi sudah melakukan manuver politik menjelang pemilihan presiden pada 2024 mendatang. Ini melibatkan nama-nama besar dalam kabinet, sebut saja Prabowo Subianto, Erick Thohir, Sandiaga Uno, dan Airlangga Hartanto. Termasuk juga manuver partai politik dalam koalisi pemerintahan Jokowi semisal PPP, Nasdem, dan PKB.
Tidak ada yang salah memang, dalam artian tidak ada satu pasal pun aturan yang dilanggar; tidak ada larangan di negara kita kepada pejabat menteri untuk berpolitik untuk kepentingannya sendiri, bahkan saat ia tengah menjabat dengan menggunakan anggaran negara. Tapi, sikap itu selain tidak etis juga memunculkan banyak persoalan. Pertama, dari aspek etika sangatlah bermasalah misalnya, seorang menteri yang bekerja sebagai pembantu presiden menggunakan uang rakyat, namun malah memantaafkan kesempatan itu untuk kepentingan mendulang elektabilitas pribadi dan kelompoknya.
Kedua, kondisi ini memunculkan potensi yang kuat terjadinya penyalahgunaan wewenang, karena masing-masing menteri ini memiliki akses yang besar terhadap uang rakyat melalui anggaran masing-masing kementerian. Aroma busuk gelagat ini sudah sejak lama tercium, misalnya saat foto salah satu menteri terpampang pada iklan BUMN.
Ketiga, kondisi ini memunculkan persaingan yang tidak sehat antarsesama menteri dalam satu kabinet pemerintahan. Seluruh menteri sejatinya satu suara di bawah komando presiden, tidak ada agenda pribadi, terlebih saling "sikut" antarsesama kementerian.
Keempat, secara langsung ataupun tidak, ini berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Presiden Jokowi. Apalagi, pembelahan masyarakat terhadap dukungan politik saat ini menjadi sangat tidak rasional, bisa saja persaingan tidak sehat itu ikut merambat pada kepercayaan terhadap kabinet pemerintahan.
Berangkat dari latar belakang tersebut, maka reshuffle kabinet pemerintahan saat ini adalah pilihan bijak Presiden Jokowi. Sekalipun masih membutuhkan, namun pemerintahan tidak lagi bergantung pada jumlah kursi koalisi yang saat ini sudah sangat "gemuk". Artinya, presiden tidak perlu takut stabilitas kabinet presidensilnya akan terganggu.
Langkah ini tidak saja untuk menyelamatkan pemerintahan, namun juga mempersilakan agar kandidat penggantinya pada 2024 kelak bersaing secara sehat dan profesional.
Despan Heryansyah peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta
Simak Video 'Teka-teki Isu Reshuffle yang Seret 'Nama Besar'':