Dalam State of Global Islamic Economy (SGIE) 2022 Indonesia berhasil mempertahankan posisi keempat, tertinggal oleh Malaysia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Laporan tersebut dirilis DinarStandar Dubai untuk menilai ekonomi syariah internasional yang terbagi menjadi keuangan syariah, traveling atau perjalanan, media dan rekreasi, farmasi dan kosmetik, serta makanan.
Pada sektor makanan halal, ranking Indonesia naik secara signifikan ke posisi dua. Salah satu penyebabnya adalah ekspor makanan halal ke negara-negara OKI meningkat sebesar 16% pada 2021. Perlu diketahui bahwa pada 2019 Indonesia bahkan tidak masuk 10 besar untuk jumlah ekspor makanan halal, namun kini dapat menduduki peringkat ketujuh dunia. Dukungan pemerintah dinilai oleh SGIE sebagai faktor penting perkembangan ini, salah satunya pada keseriusan pemerintah dalam meningkatkan performa sertifikasi halal.
Pada sertifikasi produk halal, pemerintah telah melakukan penyempurnaan regulasi dan mendirikan badan yang fokus menangani sertifikasi. Kini setidaknya ada tiga lembaga yang bertanggung jawab untuk menangani pengujian produk halal, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI), Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH), dan laboratorium penguji. Produsen dapat melakukan permintaan pengujian kepada BPJPH, lalu akan diarahkan oleh BPJPH ke laboratorium pengujian yang ditentukan. Hasil pengujiannya akan disidang oleh Komisi Fatwa MUI yang kemudian menjadi dasar bagi BPJPH untuk memberikan sertifikat halal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tata kelola baru ini setidaknya dapat memberi tiga keunggulan. Pertama, dengan terbukanya kesempatan bagi organisasi masyarakat dan universitas untuk membuka laboratorium penguji, dapat mendorong inovasi dan rasa kepemilikan oleh masyarakat dengan gerakan halal. Kedua, meningkatnya jumlah laboratorium penguji diharapkan dapat mempermudah sertifikasi produk halal. Ketiga, karena proses sertifikasi di bawah kendali negara, pendanaan bisa lebih transparan dan ditekan sehingga relatif lebih terjangkau bahkan dapat mencapai bebas biaya bagi UMKM.
Ketiga institusi ini didorong berdasarkan fungsinya masing-masing agar mampu saling melengkapi dalam proses sinergi. Meski demikian, ekosistem halal baru ini juga memiliki eksposur terhadap berbagai macam risiko yang perlu dimitigasi bersama.
Risiko merupakan kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated) dan berdampak negatif terhadap performa suatu institusi. Setidaknya ada tiga risiko yang teridentifikasi berdampak besar terhadap ekosistem halal yang baru ini, yaitu risiko syariah, risiko operasional, dan risiko persepsi publik.
Risiko syariah adalah risiko yang berkaitan dengan kehalalan suatu produk. Memastikan kandungan halal suatu produk adalah hal yang tidak bisa ditawar. Pada 1988, kegagalan memitigasi risiko ini terjadi ketika penelitian dari Universitas Brawijaya menemukan beberapa produk makanan dan minuman yang beredar di masyarakat terindikasi mengandung babi. Temuan ini menimbulkan kepanikan di masyarakat hingga daya beli konsumen terhadap banyak produk di pasar turun drastis.
Dengan diperbolehkannya pendirian laboratorium penguji oleh berbagai pihak, pengujian yang detail dan akurat harus menjadi prioritas. Disparitas infrastruktur pada laboratorium antar organisasi atau daerah perlu diminimalisir sekecil mungkin. auditor halal di masing-masing laboratorium harus dipastikan memiliki kompetensi yang sesuai dan tersertifikasi dengan baik.
Kedua adalah risiko operasional yang diakibatkan tidak berjalannya sistem internal. Hal ini mencakup infrastruktur teknologi informasi, pengujian, sumber daya manusia, dan lainnya. Misalnya, pada proses self-declare yang memfasilitasi UMKM untuk memproses sertifikasi halal secara non-audit atau tidak ada pemeriksaan oleh laboratorium. Karena pelaku UMKM cukup melakukan pernyataan mandiri mengenai kehalalan kandungan produk mereka, pendampingan yang baik dan sistematis perlu diimplementasikan untuk memitigasi adanya penyalahgunaan.
Ketiga adalah risiko persepsi publik. Simbol label halal hanya dapat berfungsi jika masyarakat percaya dengan mekanisme dan fatwa yang dihasilkan oleh pihak sertifikasi. Pemilihan logo baru halal, salah satu contohnya, mendapatkan kritik yang luas. Logo halal yang menyerupai wayang dinilai terlalu Jawa sentris sehingga tidak mewakili semangat gerakan halal yang terjadi di seluruh daerah di Indonesia.
Logo ini juga berbeda dengan logo halal yang secara global umumnya digunakan sehingga ditakutkan akan sulit dikenal untuk mendapatkan pengakuan dari konsumen halal internasional. Polemik seperti ini menunjukkan urgensi research-based policy dalam pembuatan keputusan berkenaan dengan relasi publik.
Di sisi lain, sertifikasi logo halal pada kulkas dan kaos kaki harus menjadi evaluasi. Karena ini menegasikan bahwa kulkas dan kaos kaki lain yang tidak memiliki logo halal adalah haram untuk dikonsumsi. Meski ada justifikasi oleh MUI, diharapkan literasi dan persepsi publik menjadi pertimbangan mengenai urgensi keputusan tersebut. Perlu diketahui, pada laporan SGIE 2022, kesadaran publik di Indonesia mengenai halal masih rendah. Jika keputusan sertifikasi tidak dikelola secara bijaksana, besar kemungkinan persepsi yang kontraproduktif terhadap gerakan halal akan semakin membesar.
Untuk memastikan gerakan halal dapat berjalan dengan lebih baik, pemangku kebijakan dituntut mampu mengelola risiko-risiko pada gerakan sertifikasi halal. Diharapkan kehadiran ekosistem halal baru dengan manajemen risiko yang baik dapat memperkuat gerakan halal Indonesia sebagai pusat halal dunia yang inspiratif dalam melayani penduduk muslimnya.
Ali Chamani Al Anshory Research Fellow di Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) Universitas Indonesia, Anggota Masyarakat Ekonomi Syariah
Simak juga 'Hasil Survei MSI, Mayoritas Responden Dukung Putusan MA terkait Vaksin Halal':