Menuju Persaingan Sehat PTN dan PTS
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menuju Persaingan Sehat PTN dan PTS

Selasa, 14 Jun 2022 14:10 WIB
Yohanes Nugroho Widiyanto
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Menuju Persaingan Sehat PTN dan PTS
Yohanes Nugroho Widiyanto (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Apakah Anda pernah melihat ada dua SPBU berdempetan dalam satu jalan; yang satu (Pertamina) pengemudi yang ingin mengisi bahan bakar sampai mengantre, sedangkan satunya (non Pertamina) sepi dari pelanggan? Apakah SPBU yang kedua ini tidak memberi pelayanan baik? Ataukah takarannya tidak dipercaya? Ataukah kualitas bahan bakarnya lebih buruk? Atau kondisinya tidak bersih dan rapi?

Masalahnya bukan demikian, tetapi hal itu terjadi karena bahan bakar dari SPBU Pertamina disubsidi negara sehingga harganya bisa hampir setengah dari SPBU non Pertamina. Kondisi seperti inilah yang terjadi dalam persaingan antara Perguruan Tinggi Negri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Ada yang tidak sehat dalam persaingan ini sehingga PTN lebih diminati para lulusan SMA dan orangtua mereka.

Kehadiran Negara

Seperti terjadi pada seluruh negara di dunia, Konstitusi kita juga mengamanatkan kehadiran pemerintah dalam pendidikan. Pemerintah tidak cukup hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai operator sehingga sekolah-sekolah negeri (public schools) bertebaran di seluruh negeri demi menjalankan kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya ini memang tepat dilakukan karena semakin cerdas rakyatnya, mereka akan menjadi agen-agen pembangunan yang akan memajukan negara dalam persaingan global.

Kehadiran sekolah-sekolah swasta, termasuk di dalamnya pendidikan pesantren, membantu tugas pemerintah dalam menjalankan amanat konstitusi ini. Tetapi hal yang dilupakan pemerintah adalah perbedaan pendidikan yang merupakan wajib belajar (yaitu 12 tahun masa sekolah, biasa disebut K-12) dan pendidikan yang di luar masa wajib belajar itu, baik yang sifatnya akademik (universitas atau institut) maupun vokasi (akademi, politeknik, dan kursus keterampilan).

Secara umum teori rate of return yang menghubungkan antara pendidikan dan ekonomi (Tuti Harahap, 2022) menyatakan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan, manfaat yang didapat negara semakin besar; sebaliknya semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin besar manfaat yang didapat oleh individu/mahasiswa.

Karena itulah, dalam tingkat pendidikan yang semakin rendah (SD), dana dari pemerintah seharusnya semakin besar bahkan gratis, termasuk untuk sekolah yang dikelola swasta. Sementara itu, di tingkat pendidikan yang semakin tinggi (PT), dana pemerintah harusnya semakin berkurang.

Celakanya, seperti yang pernah diungkap oleh mantan Dirjen Dikti Satrio Sumantri Brojonegoro, politik anggaran kita salah besar; dana APBN untuk PTN justru berkali-kali lihat dibandingkan untuk pendidikan dasar dan menengah. Karena politik anggaran yang tidak tepat inilah, PTN menikmati keunggulan yang begitu besar dalam bersaing dengan PTS.

Kebutuhan terbesar sebuah lembaga pendidikan adalah pengeluaran rutin yaitu gaji dosen dan karyawan. Untuk PTN, semuanya ini dibayar oleh negara sehingga sumbangan dari para mahasiswa (SPP/tuition fee) bisa digunakan untuk pengembangan institusi. Artinya, semua mahasiswa yang membayarkan biaya pendidikan di PTN sebenarnya mendapatkan subsidi yang luar biasa besar dari negara, walaupun setelah mereka lulus, mereka mendapatkan keuntungan pribadi yang lebih besar.

Analogi SPBU Pertamina dan non-Pertamina yang saya ungkapkan di atas menggambarkan persaingan yang tidak sehat ini. Sebaik apapun para dosen memberikan pelayanan dalam pengajaran, penelitian maupun pengabdian masyarakat, sebersih dan serapi apapun kampus PTS, seramah apapun tenaga pendidikan dalam melayani mahasiswa dan orangtua, akan bersaing dengan harga sumbangan pendidikan di PTN yang hanya setengah harga dibanding yang mereka tawarkan.

Kondisi ini semakin diperparah ketika Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga mendirikan PTS sehingga menggerus potensi 'pasar' calon mahasiswa untuk PTS. PTS konvensional juga menghadapi persaingan baru; perusahaan-perusahaan swasta besar milik para konglomerat juga mendirikan PTS sehingga endowment (sumbangan atau wakaf dari alumni dan berbagai perusahaan) yang merupakan sumber utama di luar biaya kuliah (tuition fee) juga berkurang drastis.

Persaingan Sehat

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam dunia yang semakin kompleks ini, daya saing setiap organisasi haruslah dijaga dan diperjuangkan. Persaingan yang sehat bisa terjadi apabila akses diberikan secara adil dan bermartabat. Upaya pemerintah pada masa Reformasi untuk membuka akses dalam pengelolaan Perguruan Tinggi patut kita apresiasi.

Akses terhadap dana penelitian berdasarkan kemampuan (merit system) yang sudah dilakukan Kementerian sungguh sebuah langkah yang sangat baik dalam membangun persaingan yang sehat antara PTS dan PTN. Tetapi, upaya baik pemerintah ini harus dilanjutkan dengan membuat persaingan yang lebih sehat lagi antara PTN dan PTS.

Apabila politik anggaran pemerintah bisa lebih fokus ke pendidikan dasar dan menengah, PTN akan menjadi lebih mandiri dan berani bersaing secara sehat dengan PTS. Apakah Pak Nadiem sebagai seorang swasta berani melakukan disrupsi?

Yohanes Nugroho Widiyanto dosen Universitas Katholik Widya Mandala Surabaya

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads