Beberapa hari terakhir ini media dihiasi dengan pemberitaan mengenai saling sindir antara Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dengan Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar. Bagi banyak kalangan, saling sindir ini mengindikasikan adanya ketegangan yang serius di antara dua lembaga yang mewadahi kaum nahdliyin tersebut.
Bibit-bibit ketegangan antara Kiai Yahya Cholil Staquf dan Muhaimin Iskandar sebenarnya sudah bisa dilihat sejak sebelum dan sesudah Muktamar NU di Lampung akhir 2021 silam. Dalam setiap kesempatan Kiai Yahya Cholil Staquf menyatakan bahwa NU harus dipisahkan dengan politik praktis. Ini tentu tidak sama dengan ekspektasi Muhaimin Iskandar dan apa yang telah diupayakannya selama ini yang berusaha untuk membangun relasi simbiosis mutualisme antara NU dan PKB.
Ketika Kiai Yahya Cholil Staquf menjadi Ketua Umum PBNU, pesan dan/atau gagasan memisahkan NU dengan politik praktis tentu sangat memukul atau menghambat upaya PKB yang selama ini memang selalu menjaga konsolidasi politik antara NU dan PKB. Ini tidak mengherankan, sebab hingga saat ini pemilih PKB pada umumnya adalah kaum nahdliyin atau warga NU yang secara jam'iyyah tidak bisa dilepaskan dengan PBNU.
Dalam konteks menjelang Pilpres 2024, ketika Muhaimin Iskandar terlihat berhasrat untuk bisa mencalonkan diri sebagai presiden, pernyataan Kiai Yahya Cholil Staquf tentu menjadi semacam batu sandungan. Dalam tingkatan tertentu, ketegangan ini juga dimaknai oleh banyak orang sebagai kelanjutan dari ketegangan atau perseteruan di internal PKB pada sekitar 2008 antara Gus Dur dan Cak Imin. Hal ini tentu menyegarkan kembali memori publik, khususnya warga nahdliyin yang mempersepsikan Muhaimin Iskandar sebagai kader yang durhaka dan lancang pada Gus Dur pada saat itu.
Jalan Kebaikan
Ketegangan antara Kiai Yahya Cholil Staquf dan Muhaimin Iskandar sangat cepat memanas seiring pemberitaan media. Hal ini juga ditambah dengan suatu image dan gagasan Kiai Yahya yang selalu dinyatakan dalam banyak pernyataannya di media bahwa dia akan melanjutkan visi dan misi Gus Dur. Kondisi ini rupanya membuat Muhaimin Iskandar panik dan menyatakan bahwa Kyai Yahya Cholil Staquf tidak memiliki efek apa-apa terhadap suara PKB.
Sebenarnya ketegangan ini jika dimaknai sebagai kelanjutan ketegangan antara Muhaimin Iskandar dan Gus Dur pada sekitar 2008 memiliki sisi-sisi strategis dan jalan menuju kebaikan bagi PBNU dan PKB. Sejak Cak Imin dan Gus Dur berkonflik di internal PKB dulu, isu yang dicuatkan khususnya oleh Muhaimin cs pada saat itu adalah bagaimana menjadikan PKB sebagai lembaga saluran politik yang inklusif bagi siapapun yang berprestasi di parpol.
Demikian juga PKB digagas sebagai parpol dengan sistem meritokrasi dan tidak tergantung pada bayang-bayang figur kharismatik, melainkan lebih pada visi dan misi yang baik, universal, dan bisa mengayomi semua lapisan masyarakat di Indonesia. Begitu juga sistem pengkaderan di dalamnya tidak berdasarkan pada feodalisme melainkan pada profesionalitas, prestasi, dan militansi kader. Sehingga, proses kaderisasi dalam PKB berjalan dengan baik dan menjadikan PKB sebagai partai politik yang profesional, memiliki visi dan misi yang mengayomi masyarakat lebih luas, dan juga melepaskan PKB dari kesan bahwa PKB adalah partai politik keluarga atau partai politik dari golongan tertentu. Sudah saatnya PKB menjadi parpol inklusif.
Visi itu sebenarnya sangat sesuai dengan visi atau gagasan yang sering disampaikan oleh Kiai Yahya bahwa tidak boleh ada partai politik yang menggunakan strategi politik identitas baik agama maupun ideologi-ideologi tertentu termasuk identitas NU. Titik strategis ini mempertemukan jalan pikiran antara Kiai Yahya Cholil Staquf dengan gagasan Muhaimin Iskandar sejak ketika berkonflik dengan Gus Dur beberapa waktu silam.
Ketegangan ini bisa dilihat sebagai momentum untuk memberikan kesempatan kepada PKB untuk menjadi partai yang inklusif, menganut sistem meritokrasi, serta terlepas dari bayang-bayang primordialisme golongan. Dengan seperti itu, hubungan NU-PKB adalah independensi, tidak ada hubungan apa-apa kecuali hubungan historis, yang mana PKB dideklarasikan oleh lima tokoh NU, yaitu Kiai Ilyas Ruchiyat, Kiai Mustofa Bisri, Kiai Andurrahman Wahid, Kiai Moenasir Ali, dan Kiai Muchith Muzadi.
Momentum ketegangan PKB-NU juga bisa dieksplorasi aspek-aspek strategisnya bagi perbaikan PBNU ke depan. Inilah momentum bagi PBNU untuk bisa benar-benar istikamah di jalan khitah. Jalan ini meneguhkan bahwa NU tidak lagi menjadi ormas yang tercebur dalam kubangan politik praktis. NU dengan demikian berposisi netral dan memiliki hubungan yang sama dengan kader-kader NU yang tersebar di banyak partai politik. Demikian juga NU eksis di atas semua golongan, sehingga menjadi rumah besar bagi mayoritas umat Islam di Indonesia.
Dengan begitu, NU akan lebih leluasa mengusung dan memperjuangkan ide-ide yang lebih universal dan strategis. Energi yang dimiliki NU juga akan dapat dikelola secara lebih efektif dan efisien dalam kerja-kerja keumatan, kebangsaan, dan kerakyatan. Upaya inilah sebenarnya yang akan menjadikan NU sebagai ormas yang memiliki sumbangsih yang besar tidak hanya di Indonesia, tapi juga pada dunia internasional.
Namun demikian, momentum ini tentu harus disikapi secara hati-hati oleh segenap tokoh NU dan PKB di ruang publik, karena pola komunikasi yang tidak hati-hati akan memberikan ini image pada publik bahwa ini hanya konflik kepentingan sesaat dalam rangka menghadapi Pilpres 2024. Anggapan ini tentu tidak menguntungkan bagi baik NU maupun PKB.
Bagi PKB ketegangan antara NU dan PKB yang diiringi dengan perseteruan terbuka dan vulgar akan sangat merugikan PKB karena pemilih PKB pada umumnya adalah warga NU. Bagi NU apalagi sering diberitakan oleh media, perseteruan PBNU-PKB ini tentu sangat merugikan pada PBNU seakan-akan PBNU setara dengan PKB padahal PBNU adalah lembaga yang besar yang menjadi rumah bersama bagi warga NU bahkan bagi bangsa Indonesia.
Jika ketegangan ini dimaknai sebagai perseteruan, maka akan memberikan kesan bahwa NU itu kecil, sama dengan PKB. Ini sangat merugikan NU. NU adalah ormas besar yang tidak bisa dibandingkan dengan PKB. Pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan bersama adalah mengelola dengan baik kader-kader NU yang politisi, baik yang ada di PKB maupun di parpol lain.
Fathor Rahman Jm dosen Fakultas Syariah UIN KHAS Jember, penulis buku 'Mengembalikan NU ke Ranah Politik Praktis'
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Simak Video 'Gus Yahya: Jangan Gunakan NU Sebagai Senjata Politik!':