Mental illness atau penyakit mental seperti halnya penyakit fisik bukan sesuatu yang dicirikan negatif dan tidak perlu diglorifikasi. Sebelum maraknya kampanye kesehatan mental melalui berbagai kanal, seseorang yang mengunjungi psikiater atau psikolog seringkali dicap sebagai "gila", umumnya mendapat stigma buruk, dan tak jarang dikucilkan. Belum lagi jika dikaitkan dengan isu agama, seperti rendahnya keimanan, hingga adanya gangguan setan.
Wajar, jika dulu tidak banyak orang yang punya nyali untuk mencari pertolongan pertama ketika merasakan gejala penyakit mental tertentu. Kini, setelah isu kesehatan mental memenuhi ruang-ruang publik, masyarakat mulai sadar betapa pentingnya menjaga kesejahteraan psikologis dan dampaknya bagi produktivitas.
Sayangnya, kesadaran tentang kesehatan mental ini justru mengarah pada persepsi yang berlebihan sehingga terjadi glorifikasi terhadap penyakit mental. Dalam jurnal Lee dan Vidamaly (2021) berjudul Young Adults' Mental Illness Aesthetics on Social Media disebutkan beberapa penyebab glorifikasi penyakit mental, salah satunya pengaruh media seperti karya tulis, film, dan berbagai konsumsi hiburan yang seringkali membuat deskripsi yang berlebihan.
Wajar, jika dulu tidak banyak orang yang punya nyali untuk mencari pertolongan pertama ketika merasakan gejala penyakit mental tertentu. Kini, setelah isu kesehatan mental memenuhi ruang-ruang publik, masyarakat mulai sadar betapa pentingnya menjaga kesejahteraan psikologis dan dampaknya bagi produktivitas.
Sayangnya, kesadaran tentang kesehatan mental ini justru mengarah pada persepsi yang berlebihan sehingga terjadi glorifikasi terhadap penyakit mental. Dalam jurnal Lee dan Vidamaly (2021) berjudul Young Adults' Mental Illness Aesthetics on Social Media disebutkan beberapa penyebab glorifikasi penyakit mental, salah satunya pengaruh media seperti karya tulis, film, dan berbagai konsumsi hiburan yang seringkali membuat deskripsi yang berlebihan.
Istilah Mental Illness
Seiring dengan munculnya fenomena tersebut, penggunaan istilah-istilah mental illness atau penyakit mental turut mengalami perluasan makna yang tak lazim, bahkan tak jarang dicomot begitu saja hingga menyimpang dari makna sebenarnya. Padahal, mental illness sejatinya bukan sesuatu yang bisa dilabeli terhadap individu tanpa adanya asesmen dan diagnosis oleh ahli.
Fenomena penggunaan istilah-istilah mental illness ini distimulasi oleh banyak hal, seperti maraknya film-film yang mengangkat isu kesehatan mental, baik dari si tokoh yang mengalami gangguan kejiwaan tertentu, maupun penggambaran peristiwa traumatis yang bisa saja menjadi realitas dalam kehidupan banyak orang, seperti kekerasan dalam rumah tangga, korban pelecehan seksual, bullying, dan beragam kondisi yang menjadi pemicu penyakit mental tertentu.
Sayangnya, baik film maupun karya seni lain tidak turut mengampanyekan tentang cara mengatasi atau langkah penanganan yang tepat, bahkan justru menjadi trigger bagi para penyintas. Seperti serial Netflix 13 Reasons Why yang seolah-olah mendukung tindakan bunuh diri dan menjadi film yang dilarang bagi remaja.
Selain itu, ramainya public figure yang mulai terbuka dengan kondisi mentalnya turut menjadikan istilah-istilah mental illness masif digunakan, meskipun serampangan. Beberapa istilah seperti OCD (Obsessive Compulsive Disorder) sering dilabeli pada orang yang suka kebersihan dan perfeksionis. Lalu bipolar dan depresi diasosiasikan dengan perasaan murung yang sebenarnya hanya butuh liburan. Anoreksia digunakan untuk menyebut mereka yang melakukan diet.
Tentu saja penggunaan istilah gangguan mental tersebut dipakai secara keliru. Padahal, dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), ada banyak poin yang harus terpenuhi untuk menegakkan satu diagnosis penyakit mental.
Bahaya Diagnosis Mandiri
Dengan masifnya penggunaan istilah-istilah penyakit mental dalam kehidupan sehari-hari, individu rentan melakukan diagnosis mandiri hanya berdasar pada beberapa gejala yang dirasa mirip dengan deskripsi tertentu. Jika tokoh utama dalam sebuah film mengalami gangguan bipolar, berikut dengan peristiwa pemicu dan penggambaran gejala yang rinci, penonton yang merasakan gejala dan respons tubuh yang sama bisa saja berasumsi mengidap penyakit yang sama tanpa konsultasi pada profesional.
Belum lagi dengan adanya kemudahan informasi dalam mesin pencarian. Proses asesmen dan intervensi yang harusnya dilakukan ahli justru bisa menjadi langkah tepat yang dianggap ganjil dan berlebihan. Padahal, meskipun gejala sebuah penyakit mental dapat dibaca dan dipahami secara mandiri, serangkaian proses asesmen tetap harus ditempuh. Mulai dari observasi mendalam, pemberian alat-alat tes fisik dan psikologis, hingga wawancara.
Self-diganose atau diagnosis mandiri juga bisa berakibat pada berbagai hal negatif seperti rendahnya daya juang, terutama karena adanya asumsi pribadi tentang kondisi mental yang membutuhkan pengecualian. Selain itu, individu akan melakukan sugesti bahwa ia tidak mampu, sehingga mengabaikan pilihan-pilihan yang sulit, cenderung mudah menyerah dan tidak memiliki resiliensi yang baik.
Yang lebih parah adalah munculnya tindakan self-harm atau menyakiti diri sendiri. Fenomena ini bahkan menjadi tren di kalangan remaja. Mereka berselancar di internet, menemukan informasi yang bersifat dangkal, melabeli diri bipolar, mengekspos sayatan di lengan dengan latar lagu bernada minor. Gambaran tersebut mengonfirmasi betapa bahaya diagnosis mandiri yang berakibat pada asumsi, sugesti, emosi, bahkan perilaku yang anomali.
Edukasi Kesehatan Mental, Tugas Siapa?
Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) sebagai wadah yang menghimpun profesi psikologi di Indonesia telah ada sejak 1959. Organisasi ini terdiri dari profesional Psikologi (Sarjana Psikologi, Magister Psikologi, Doktor Psikologi dan Psikolog). Dengan latar belakang keilmuan tersebut, tanggung jawab untuk tersosialisasinya pemahaman masyarakat tentang kesehatan mental dan penyakit mental selayaknya menjadi langkah yang ditempuh untuk tercapainya visi HIMPSI yaitu berperan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Saat ini, organisasi HIMPSI telah tersebar di 34 wilayah provinsi di seluruh Indonesia dengan jumlah anggota lebih dari 16.400 orang. Belum lagi jika ditambah dengan jumlah mahasiswa Psikologi yang tersebar di berbagai universitas negeri maupun swasta, dalam skala fakultas dan program studi. Sehingga, sosialisasi tentang isu kesehatan mental dan penyakit mental harusnya dapat dilakukan secara masif.
Meski sejauh ini, sepak terjang HIMPSI telah banyak berimplikasi dalam berbagai kondisi. Seperti terbitnya Panduan Layanan Psikologi Dalam Masa Tanggap Darurat Covid-19 Bagi Psikolog, Sarjana Psikologi, Asisten Psikolog dan Praktisi Psikologi; salah satunya terkait aturan layanan telepsikologi yaitu penyediaan layanan psikologi (termasuk konseling dan psikoterapi) melalui teknologi komunikasi langsung dan daring, berupa teks, audio, dan video yang telah dibuatkan aturan secara terperinci.
Hal itu menjadi langkah yang cukup efektif untuk menjangkau banyak pihak. Tak bisa dipungkiri bahwa mendapat atensi masyarakat di tengah ruang yang riuh oleh lautan informasi bukanlah hal yang mudah. Perlu sebuah gebrakan yang dapat dianalogikan seperti teriakan di tengah kerumunan. Oleh karena itu, untuk memperbaiki persepsi masyarakat, diperlukan gerakan edukasi serupa, bila perlu menggunakan berbagai kanal yang lebih kontemporer.
Sriwiyanti mahasiswa Master of Educational Psychology, UniSZA, Malaysia; anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Wilayah Kalimantan Barat
Simak juga 'Merasa Punya Gangguan Mental? Jangan Asal Self-Diagnosis Yaa':
(mmu/mmu)