Hening Menikmati Waktu: Ojo Kesusu!
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Hening Menikmati Waktu: Ojo Kesusu!

Senin, 13 Jun 2022 11:21 WIB
Iwan Yahya
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Kolomnis Iwan Yahya
Foto: Iwan Yahya (dok. iARG)
Jakarta -

Belakangan ini media sering memberitakan tentang amanat Presiden Joko Widodo kepada masyarakat untuk tidak terburu-buru melangkah terkait hajat pilpres 2024. Mengingatkan saya pada karya Meggie Berg dan Barbara K Seeber yang berjudul The Slow Professor: Challenging the Culture of Speed in the Academy. Buku itu diterbitkan oleh University of Toronto Press tahun 2016. Edisi Bahasa Spanyolnya muncul tahun 2022 diterbitkan oleh Universidad de Granada.

Buku itu memuat pemikiran luar biasa yang mengajak untuk menggeser sudut pandang. Memikirkan kembali arah budaya akademik terutama jika dikaitkan dengan tekanan pertumbuhan universitas di Kanada yang seolah harus berjalan cepat demi memenuhi tekanan eksternalnya.

Saya melihat bahwa uraian di buku itu memiliki kecukupan relevansi dengan keadaan di negeri kita. Universitas di tanah air juga menghadapi masalah serupa. Megatrend global, terpaan budaya digital yang serba cepat serta ancaman gelombang disrupsi pendidikan. Peristiwa tidak terduga seperti pandemi Covid-19 menantang daya kreasi dan kemampuan menghadirkan solusi secara luar biasa. Kekuatan berinovasi, kompatibilitas solusi cerdas yang efektif dan efisien serta ketepatan dalam penyajian layanan menjadi faktor kunci. Celakanya, sebagian besar universitas tertinggal dalam kecepatan dibanding inovator di sektor niaga.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keadaan itu bagai usikan yang memicu hasrat mengubah cara bertindak. Seolah universitas akan menjadi lebih baik jika dikelola dengan jurus dan paradigma berpikir industri. Kita memang mengenal idiom entrepreneurial university yang memposisikan kekuatan inovasi universitas sebagai simpul penting dalam ekosistem ekonomi berbasis ilmu pengetahuan. Tapi apakah semua sendi kehidupan universitas memang harus demikian?

Waktu tidak mendisrupsi dirinya sendiri.

ADVERTISEMENT

Kritik Meggie Berg dan Barbara K Seeber bukan untuk melawan konsep itu. Tidak juga menentang cara universitas kita mematut diri dalam ragam aktivitas yang menakar makna dan kekuatan budaya akademik dengan angka. Universitas seolah terjebak dalam taktik dan kebijakan putaran pendek. Berpacu mengejar indikator yang dipandang sebagai penanda keberhasilan pencapaian yang melesat cepat.

Konsep slow professor adalah tawaran berpikir lebih dalam. Bukan ajakan untuk bekerja lambat. Penulis buku itu menyadari bahwa gagasan para professor di universitas bukan sesuatu yang bersifat selalu dapat diperbaharui secara cepat. Hal-hal baru yang berdampak signifikan tidak mungkin dihasilkan tanpa memberi waktu untuk regenerasi gagasan. Karena itu mereka mengajak untuk berfokus pada subyek utama. Pilhan tindakan berlepas diri dari segala urusan dan subyek tidak esensial sembari mendedikasikan waktu untuk meraih pencapaian gemilang. Itulah yang saya sebut sebagai tindakan menikmatkan waktu.

Tekanan untuk selalu berada pada keadaan produktif secara tidak alami justru kontraproduktif. Alih-alih menumbuhkan atmosfir penuh gairah justru menyebabkan kelelahan dalam sistem inovasi. Dikotomi antara kreativitas dan tuntutan produktivitas berlebihan dapat memicu disonansi. Sebuah kerugian karena kesan seolah universitas miskin gagasan akibat tidak bertautnya persoalan dengan pemikiran dan ragam solusi yang ditawarkan.

Menautkan prilaku berkarya seseorang dengan tuntutan eksternal institusi jelas tidak semudah mencampur unsur kimia menjadi senyawa. Selalu memerlukan waktu dan proses perlakuan untuk membiasakan diri. Meggie Berg dan Barbara K. Seeber berusaha menyadarkan semua pihak untuk berlaku arif dengan idiom keberhasilan pencapaian. Pandangan mereka bukan semata menyasar kalangan akademik di universitas melainkan berlaku relevan untuk realitas kehidupan masyarakat.

Jika kita berkenan belajar dari hukum alam. Mengambil hikmah dari pemahaman perambatan gelombang pada material. Mudah dimengerti bahwa kecepatan itu bukan merupakan parameter esensial. Nilainya justru bergantung kepada dua besaran karakteristik lain yang melekat sebagai penciri. Penciri dimaksud adalah permeabilitas yang berhubungan dengan respon magnetik serta permitivitas yang mencirikan sifat kelistrikan material.

Disamping itu, gabungan kedua penciri itu dapat menjadi jalan masuk bagi campur tangan ilmuwan untuk menera frekuensi resonansi. Semacam cara mengatur tambahan daya berselaras material untuk meneruskan rambatan energi melalui frekuensi berbeda. Bersifat memperkaya ciri dasarnya yang alami.

Saya menggunakan analogi itu untuk menautkan perspektif kedua penulis dengan realitas dalam keseharian kita. Berhidmad dengan kecepatan demi mencapai tujuan dengan mengeksploitasi sifat alami publik merupakan tindakan beresiko. Kerugian dapat terjadi karena hilangnya kesempatan beranjak tumbuh ke tingkat pemahaman lebih tinggi. Jika itu terjadi maka dampaknya setara dengan perbuatan pembiaran kedangkalan pemaknaan pada sistem berpikir secara sengaja. Ujung dari keadaan itu adalah diskripansi pengetahuan dengan kemampuan memahami persoalan yang menghambat siapa pun untuk mengenal kebenaran.

Maka saya memaknai gagasan slow professor, slow media, slow society dan beragam slow yang lainnya bukan merujuk kepada kelambanan atau ketidakcekatan. Proses alam dalam pembentukan intan menunjukkan bahwa bumi berhidmat dengan waktu. Mengambil masa yang panjang agar temperatur dan tekanan di perut bumi berada dalam keadaan yang tepat untuk terbentuknya kristal kemilau.

Begitu pun isyarat yang dipertontonkan oleh lamban dan senyapnya seekor keong. Publikasi Geerat J. Vermeij di Biological Journal of the Linnean Society (2010) dan Abraham S. H. Breure di Journal of Molluscan Studies (2014) menunjukkan bahwa prilaku keong itu berkaitan dengan fungsi pertahanan diri. Alam bahkan membentuk struktur internal cangkangnya agar mampu mereduksi rambatan gelombang bunyi.

Dengan cara itu keong terhindar dari predator dan tenteram memproduksi lendirnya dalam hening. Ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa lendir itu memberi beragam keutamaan. Seperti ditulis oleh Kim et al di Journal of Functional Foods (2022), lendir keong merupakan nutrisi fungsional bagi kulit. Riset lain oleh Joshua et al yang terbit di Plos One (2021) menunjukkan adanya kepemilikan sifat yang memperkuat respon imun terhadap Hepatitis B. Tidakkah fakta itu elok untuk membuat kita bersepakat bahwa puncak gemuruh adalah senyap?

Ayat semesta di atas menyiratkan bahwa waktu tidak mendisrupsi dirinya sendiri. Alam selalu memberi ruang untuk hadirnya peran yang menghebatkan. Mengambil masa yang tepat untuk membuka sandi melampaui Enigma. Segala hal yang bersifat palsu dan tidak esensial pasti terlibas oleh keutamaan yang bersifat hakiki. Begitulah alam bekerja. Semacam ritual pembersihan diri dalam cara yang selalu luar biasa dengan kongsi waktu.

Gagasan Meggie Berg dan Barbara K. Seeber selaras dengan amanat Presiden Joko Widodo. Bersikap tidak terburu-buru adalah ekspresi kearifan. Membuka ruang bagi siapa saja untuk memiliki ketepatan pemahaman kebenaran. Menjauhkan hati dari hasrat untuk ternilai lebih baik secara cepat. Berfokus hanya pada persoalan utama. Berselaras menjalin kekuatan akal budi dalam nikmat waktu. Menjadikannya sebagai persembahan. Sudahkah Anda menikmati waktu hari ini?

Iwan Yahya. Dosen dan Peneliti. The Iwany Acoustics Research Group (iARG) Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.

(rdp/rdp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads