Rencana kenaikan tarif listrik PLN membuat resah pelanggan listrik daya 3000 VA ke atas. Sebagian menjadi khawatir dan ragu untuk membeli kompor listrik. Bisa-bisa tagihan listrik membengkak, pengeluaran semakin besar. Kebijakan ini dianggap kontra produktif dengan promosi konversi kompor gas LPG (elpiji) dengan kompor listrik.
Untuk menjawab keraguan ini, saya akan menguraikan perbandingan biaya kompor elpiji dan kompor listrik (kompor induksi) secara gamblang.
Biaya Elpiji
Gas elpiji tabung 12 kg non subsidi di tingkat pengecer dijual seharga Rp 180.000 per tabung. Artinya keekonomian gas elpiji setara Rp 15.000 per kg. Umumnya, hitung-hitungan yang banyak dibicarakan di media berhenti di sini. Padahal ini kurang tepat, karena gas yang digunakan masyarakat bukan gas pipa. Jadi harga itu baru mencerminkan harga elpiji di penjual. Belum mencerminkan berapa uang yang sesungguhnya dikeluarkan dari dompet pembeli. Ada biaya yang luput dari hitungan.
Untuk membandingkan biaya gas elpiji dengan biaya listrik kompor induksi, gas dan listrik harus pada posisi siap digunakan. Gas elpiji siap mengalir ke tungku kompor gas. Arus listrik siap menyalakan kompor induksi. Dengan posisi sama-sama siap nyala, barulah perhitungannya menjadi apple to apple.
Misalnya tabung elpiji tadi diantarkan si penjual ke rumah, dengan tambahan ongkos Rp 10.000. Atau dibeli sendiri, dengan mengendarai mobil atau motor, habis bensin satu liter pulang-pergi. Anggap biaya bensin juga Rp 10.000. Tambahan biaya yang keluar untuk membawa gas elpiji sampai ke rumah dan siap digunakan memasak harus masuk dalam hitungan biaya elpiji.
Perbandingan
Untuk membandingkan gas elpiji dengan listrik perlu diambil kesetaraan kandungan energinya. Setiap 1 kg elpiji setara dengan listrik 7 kWh. Biaya membeli elpiji 12 kg sebesar Rp 190.000, dengan memperhitungkan ongkos membawanya Rp 10.000. Listrik yang sepadan dengan satu tabung elpiji 12 kg yaitu sejumlah 84 kWh. Biaya listrik sebesar Rp 123.000, dihitung dengan tarif saat ini Rp 1.467/kWh.
Selisih biaya yaitu Rp 190.000 - Rp 123.000 = Rp 67.000. Dengan kata lain, biaya membayar listrik lebih hemat 35% daripada membayar gas elpiji. Anggaplah tarif listrik akan naik sekitar 10%. Biaya listrik naik menjadi Rp 135.000. Memasak dengan kompor induksi masih lebih hemat 30%. Ini perhitungan penghematan minimal. Yaitu pada asumsi harga elpiji saat ini. Seandainya harga elpiji juga akan naik, penggunaan kompor induksi tetap menguntungkan karena lebih irit biaya.
Ramah Lingkungan?
Kompor induksi memang memiliki beberapa keunggulan. Misalnya kepraktisan tidak perlu gonta ganti tabung ketika elpiji habis. Kompor induksi lebih efisien sehingga waktu memasak bisa lebih singkat. Penggunaan kompor induksi akan mengurangi belanja impor elpiji dan memperbaiki neraca perdagangan. Kompor listrik lebih aman karena tidak ada api dan asap. Tidak ada asap, maka tidak ada emisi.
Saya harus mengkritik pernyataan terakhir ini. Ini kurang tepat. Emisi di rumah memang tidak ada, tetapi bagaimana emisi di pembangkit listrik? Pada sistem kelistrikan Jawa-Bali emisi karbon per kWh listrik sebesar 940 gram. Angka emisinya cukup tinggi karena Jawa-Bali masih didominasi pembangkit PLTU batu bara. Emisi listrik 7 kWh (setara 1 kg gas elpiji) yaitu sebesar 6580 gram.
Bagaimana dengan emisi gas elpiji? Merujuk pada hasil penelitian di Bali (Wiratama, et al., 2016), setiap 1 kg elpiji menghasilkan rata-rata emisi karbon sebesar 840 gram. Saat berkendara membeli elpiji, timbul emisi karbon sebesar 2000 gram per 1 liter bensin. Artinya ada tambahan 160 gram per kg gas elpiji (2000/12). Jika ditotal menjadi 1000 gram per kg. Emisi karbon 1 kg elpiji 1000 gram berbanding emisi 7 kWh listrik yang besarnya 6.580 gram.
Jadi dari sisi emisi karbon, penggunaan kompor induksi tidak lebih ramah lingkungan. Melihat fakta ini, tentunya tidak tepat tujuan mengurangi emisi. Ini kelemahan sekaligus peluang bagi PLN untuk segera mempercepat transisi ke pembangkit energi terbarukan. Berbeda halnya jika listrik untuk kompor induksi berasal dari energi terbarukan, entah dari air, angin, atau surya yang tidak menghasilkan emisi dalam proses pembangkitannya, emisi kompor listrik bisa mendekati nol dan benar jika disebut ramah lingkungan.
Solusi
Saya meyakini sebagian besar pelanggan daya 3000 VA ke atas adalah kelompok ekonomi menengah ke atas. Rasanya tidak terlalu diberatkan dengan kenaikan tarif listrik.
Penjelasan gamblang di atas mestinya memberi keyakinan bahwa kompor induksi lebih hemat biayanya ketimbang menggunakan elpiji. Jika belum mantap, maka PLTS atap bisa menjadi solusi. Misalnya restoran atau rumah makan yang aktivitas memasak lebih banyak dilakukan siang hari. Asumsinya antara jam 10 hingga jam 14, maka memasang PLTS atap akan sangat tepat.
Listrik dari panel surya atap dapat langsung memasok listrik untuk kegiatan pada jam-jam tersebut. Cara ini mempertegas bahwa kompor induksi lebih ramah lingkungan dan lebih hemat biaya.
David Firnando Silalahi, ST, M.Eng kandidat Doktor pada School of Engineering, Australian National University, dengan topik penelitian "100% Renewable Energy Integration for Indonesia"
David Firnando Silalahi, ST, M.Eng kandidat Doktor pada School of Engineering, Australian National University, dengan topik penelitian "100% Renewable Energy Integration for Indonesia"
Baca artikel detiknews, "Krisis Energi dan Ambisi "Net Zero Emissions"" selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-5823639/krisis-energi-dan-ambisi-net-zero-emissions.
Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/
David Firnando Silalahi, ST, M.Eng kandidat Doktor pada School of Engineering, Australian National University, dengan topik penelitian "100% Renewable Energy Integration for Indonesia"
Baca artikel detiknews, "Krisis Energi dan Ambisi "Net Zero Emissions"" selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-5823639/krisis-energi-dan-ambisi-net-zero-emissions.
Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/
(mmu/mmu)