Fase lanjut usia menjadi salah satu siklus hidup yang sangat krusial karena pada periode ini seseorang mengalami peningkatan risiko kemiskinan seiring dengan turunnya kapasitas meng-generate penghasilan. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia saat ini tengah bersiap menghadapi peningkatan jumlah lansia sebagai dampak dari transisi demografi menuju ageing population.
PBB dalam laporan World Population Prospects 2019 memperkirakan rasio old-age dependency di Indonesia akan secara gradual meningkat dari 12,3 persen di 2020 menuju 24,4 persen pada 2040 dan mencapai 34,5 persen pada 2060 seiring dengan tren penurunan fertility rate dan meningkatnya angka harapan hidup. Sebagai catatan, mengacu pada publikasi ILO, suatu negara diklasifikasikan sebagai aged country bila rasio old-age dependency mencapai lebih dari 14 persen.
Program pensiun merupakan salah satu upaya untuk menjaga kesejahteraan masyarakat lansia pada hari tua. Dengan karakter consumption smoothing, program ini memiliki tujuan utama sebagai perlindungan hari tua dan menjaga agar daya beli seseorang tidak signifikan berbeda antara saat bekerja dengan saat pensiun. Sistem pensiun yang baik juga akan mampu memobilisasi simpanan jangka panjang dalam jumlah besar yang diperlukan untuk menciptakan sektor keuangan suatu negara menjadi lebih dalam, inklusif, dan stabil.
Apabila dilihat ke belakang, implementasi program pensiun di Indonesia telah berjalan dalam periode yang cukup panjang. Diawali oleh implementasi program pensiun untuk anggota angkatan darat pada 1950, dikembangkan juga program pensiun PNS pada 1952 dan program pensiun wajib bagi pekerja formal swasta yaitu program Jaminan Hari Tua (JHT) 1992.
Upaya untuk memperkuat perlindungan pensiun bagi pekerja terus berlanjut dengan diimplementasikannya program Jaminan Pensiun (JP) SJSN mulai 1 Juli 2015 yang merupakan amanat dari UU 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Untuk program sukarela, UU 11 Tahun 1992 menjadi payung hukum penyelenggaraan program pensiun oleh sektor privat, meskipun sebenarnya industri program pensiun sukarela telah ada jauh sebelum 1992.
Namun demikian, cakupan perlindungan pensiun bagi masyarakat dan pekerja masih sangat rendah meskipun berbagai program pensiun telah exist dalam waktu yang cukup lama. Terdapat empat masalah utama yang menyebabkan hal tersebut, yaitu: (i) rendahnya kepesertaan, (ii) iuran yang rendah, (iii) tata kelola dan kebijakan investasi yang belum optimal, dan (iv) mudahnya menarik dana sejak dini (early withdrawal).
Meski memiliki program wajib, kepesertaan program pensiun di Indonesia masih sangat rendah. Seluruh PNS serta personel TNI dan Polri memang telah menjadi peserta program pensiun, namun jumlah pegawai swasta yang menjadi peserta program pensiun masih sangat rendah. Sebagai ilustrasi, pada akhir 2018, dari 54 juta pekerja formal, hanya sebanyak 20 juta (37%) yang telah menjadi peserta program wajib. Di sisi lain, hampir semua pekerja informal yang berjumlah 70 juta belum menjadi peserta program pensiun. Tanpa adanya peningkatan signifikan pada kepesertaan informal, sistem pensiun dipastikan tidak akan pernah berperan optimal.
Rendahnya perlindungan pensiun terlihat juga dari rendahnya iuran saat ini. Dalam suatu program pensiun yang bersifat pendanaan penuh (fully funded), dengan asumsi masa kerja 32 tahun dan selisih kenaikan investasi dengan kenaikan upah selama bekerja adalah 1%, diperlukan iuran setidaknya 15% setiap bulan dari upah. Saat ini, iuran wajib program pensiun adalah 8,7% pada program SJSN (5,7% JHT dan 3% JP), dan 8% pada program pensiun penyelenggara negara (3,25% THT dan 4,75% JP). Perlu menjadi catatan bahwa iuran 8% pada penyelenggara negara dihitung berdasarkan gaji pokok bukan berbasis take home pay.
Tata Kelola dan Kebijakan
Berbicara sistem pensiun yang baik tidak akan pernah lepas dari tata kelola dan kebijakan investasi yang baik. Tata kelola yang baik akan menghasilkan penyelenggaraan program pensiun yang efisien, efektif, dan dapat dipercaya. Kebijakan investasi yang baik akan meningkatkan ketahanan dana program pensiun dan/atau meningkatkan manfaat kepada peserta secara signifikan.
Selain itu, desain pensiun yang baik semestinya bisa memastikan sebagian besar manfaat pensiun dapat diakses oleh peserta setelah mencapai usia pensiun (retirement age). Saat ini, peserta pada program pensiun wajib maupun pada program pensiun sukarela secara umum relatif mudah untuk menarik dana jauh sebelum mereka mencapai usia pensiun. Hal ini mengakibatkan dana yang tersisa pada saat mereka pensiun menjadi sangat kecil dan tidak bisa melindungi mereka di hari tua secara memadai.
Konsekuensi dari akumulasi permasalahan tersebut menyebabkan rasio akumulasi aset seluruh program pensiun di Indonesia sangat rendah. Hingga Desember 2020, nilai akumulasi aset program pensiun sebesar Rp 1.060 triliun atau 6,92% terhadap PDB. Angka ini jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia (65%), Singapura (85.1%), dan Australia (137.5%). Dengan struktur demografi yang semakin mendekati ageing population, diperlukan reformasi atas sistem pensiun di Indonesia.
Dalam menyusun desain reformasi sistem pensiun, konsep sistem pensiun multipilar yang selama ini direkomendasikan oleh World Bank maupun ILO dapat menjadi basis dalam mengarahkan reformasi. Berbagai upaya perbaikan atas permasalahan program-program existing seperti tata kelola investasi, penyesuaian besaran iuran dan meminimalisir penarikan dini dapat menjadi prioritas untuk ditempuh oleh Pemerintah dan otoritas terkait.
Tahapan selanjutnya adalah bagaimana memenuhi pilar yang belum ada dalam sistem pensiun Indonesia, misalnya Pilar 1 Universal Pension dan Pilar 2 yaitu program wajib untuk pekerja informal/mikro. Untuk Pilar 1, terdapat opsi misalnya program pensiun universal bersifat bantuan sosial yang diberikan kepada kelompok lansia dengan batas usia tertentu sebagaimana diterapkan di negara-negara maju seperti Kanada dan Australia, tentunya sesuai dengan kemampuan fiskal pemerintah.
Untuk program Pilar 2 bagi pekerja informal/mikro yang berpenghasilan rendah, pemerintah untuk mencari inovasi program pensiun yang menarik dan meng-encourage willingness kelompok ini untuk berpartisipasi pada program pensiun, terutama pekerja dengan penghasilan rendah. Berdasarkan best practices internasional serta berbagai literatur, program matching contributions, di mana pemerintah ikut membayar porsi iuran peserta program pensiun, dianggap sebagai skema program pensiun yang mampu meningkatkan serta memperluas kepesertaan dari pekerja informal.
Sebagai penutup, arah reformasi sistem pensiun Indonesia harus diletakkan dalam koridor yang mempertimbangkan struktur demografi terkini dan masa depan, kondisi sosial ekonomi, serta kapasitas fiskal pemerintah. Lebih lanjut, desain tersebut diharapkan dapat menghasilkan titik keseimbangan yang optimal perlindungan pensiun yang memadai (adequate), terjangkau (affordable), dan berkesinambungan (sustainable).
Pipin Prasetyono Analis Kebijakan pada Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan; tulisan ini pandangan pribadi
(mmu/mmu)