Menimbang Kemesraan Turki dengan Israel
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menimbang Kemesraan Turki dengan Israel

Jumat, 10 Jun 2022 10:45 WIB
Mulawarman Hannase
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta -

Jagat media khususnya di Timur Tengah dihebohkan dengan kematian jurnalis senior al-Jazeera Shireen Akleh yang ditembak oleh tentara Israel di wilayah al-Quds Jerusalem. Berikutnya, kita kembali disuguhkan dengan pemberitaan yang tidak kalah menghebohkan, yaitu kunjungan Menteri Luar Negeri Turki ke Israel. Bagi masyarakat Indonesia, peristiwa itu bisa menjadi sesuatu yang kontroversial di mata publik karena kita tahu bahwa Turki merupakan negara yang sangat konsen membela kepentingan Palestina khususnya Hamas di Jalur Gaza.

Di Tanah Air sendiri, banyak kalangan yang mengagung-agungkan dan mengidolakan Erdogan sebagai tokoh muslim dunia yang sangat pro terhadap kepentingan umat Islam khususnya rakyat Palestina. Bahkan, Erdogan kerap dijadikan simbol pemimpin Islam yang paling ideal saat ini sehingga. Nah, upaya Turki untuk membangun hubungan baik dengan Israel tentu sesuatu yang mengherankan. Kenapa rezim Erdogan yang dikenal islamis justru menjalin hubungan mesra dengan Israel? Apa motif Erdogan menerima kunjungan pemimpin Israel pada Maret lalu, dan mengutus Menteri luar negerinya ke Israel?

Seperti yang diberitakan berbagai media internasional, secara resmi Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu melakukan kunjungan dua hari ke Israel dan bertemu dengan para pejabat di Tel Aviv. Ini merupakan kunjungan balasan pihak Turki yang telah menerima kunjungan Presiden Israel ke Ankara Maret lalu. Mengenai kunjungan tersebut, Kementerian Luar Negeri Israel mengumumkan sebelumnya bahwa Menteri Luar Negeri Turki akan mengunjungi Israel selama dua hari.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam kunjungan tersebut, Davutoglu bertemu Menteri luar negeri Israel Yair Lapid dan melakukan konferensi pers bersama setelah pertemuan keduanya. Cavusoglu mengakhiri kunjungannya setelah melakukan pertemuan dengan para pemimpin bisnis di Tel Aviv dan pertemuan dengan organisasi-organisasi di bawah payung Yahudi-Turki di Israel. Menurut laporan media, Menteri luar negeri Turki seharusnya berkunjung pada April, tetapi jadwal itu ditunda karena Israel ingin menghindari situasi buruk yang bisa mempengaruhi ketegangan di Yerusalem selama bulan Ramadhan.

Kunjungan Cavusoglu merupakan yang pertama dilakukan oleh seorang pejabat tinggi Turki ke negara Yahudi itu selama bertahun-tahun karena hubungan kedua negara dua dekade terus memburuk. Hubungan tersebut baru beberapa bulan ini mulai membaik. Bahkan sejak dimulainya pemerintahan Erdogan hubungan antara Israel dan Turki terus menegang. Salah satu penyebabnya karena Israel tidak senang dengan dukungan Erdogan terhadap Hamas yang menguasai Jalur Gaza.

Akhirnya, kedua negara menarik duta besar mereka masing-masing pada 2010, setelah peristiwa kapal Mavi Marmara, yaitu kapal laut Turki menuju Gaza yang membawa bantuan ke Palestina khususnya jalur Gaza. Kapal yang membawa bantuan kemanusiaan itu diserang oleh tentara Israel yang mengakibatkan 10 orang penumpang kapal tewas. Karena ingin mengakhiri hubungan yang memburuk itu, Menteri luar negeri Turki Cavusoglu mengatakan bahwa tujuan dari kunjungan tersebut untuk membangun "hubungan yang berkelanjutan" dengan Israel setelah terjadinya ketegangan selama beberapa tahun sebelumnya.

ADVERTISEMENT

Beberapa pengamat melihat bahwa upaya normalisasi Turki dengan Israel motifnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Uni Emirat Arab tahun lalu, yaitu motif ekonomi dan posisi politik di kawasan. Diplomasi Turki ini merupakan bagian dari upaya menyelamatkan kondisi ekonomi yang melemah yang bisa mempengaruhi stabilitas politik Ankara.

Para pengamat di Timur Tengah melihat bahwa kerja sama Turki-Israel ini salah satunya akan bergerak di bidang energi Gas dalam rangka memperkuat posisi Turki sebagai pusat energi alternatif di Eropa. Hal ini kemudian ditanggapi oleh kelompok-kelompok internal di Turki bahwa Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berkuasa akhirnya meninggalkan platform ideologisnya dalam menjalankan politik luar negeri negerinya.

Turki dengan kebijakan barunya ini diduga sedang mengambil pilihan politik rasional. Mau tidak mau --walaupun sadar akan mendapatkan kecaman dan penolakan dari dunia Islam-- langkah seperti ini harus ia ambil. Apalagi, semua pemain dan aktor-aktor politik internasional saat ini kembali meninjau ulang pilihan dan kebijakan mereka karena terjadinya perubahan tatanan regional dan global.

Turki, yang kondisi ekonomi sedang tidak baik-baik saja, tentu tidak mau menjauhi pemain utama dalam tatanan politik global. Apalagi, pandemi virus corona sedikitnya telah mengubah peta persaingan antara kekuatan-kekuatan besar yang ada, mengubah alur mata rantai bisnis, dan mendorong semua negara untuk menyesuaikan kembali aliansi dan kepentingannya.

Sebagaimana kita saksikan bersama, saat ini persaingan antara Amerika Serikat dan China semakin intensif. Kebijakan Presiden AS Joe Biden terhadap Timur Tengah masih terus berpihak pada kepentingan Israel. Perang Rusia dan Ukrania menimbulkan ketidakpastian dan risiko ekonomi. Faktor-faktor inilah yang memaksa Turki untuk berpikir rasional, bukan bertindak atas landasan ideologis semata. Oleh karena itu, sebagai awam, kita tidak boleh menilai perilaku politik seorang tokoh atau rezim berdasarkan pandangan ideologis kita, karena tokoh dan rezim itu sendiri tidak selalu berperilaku sesuai dengan norma dan pandangan ideologisnya.

Mulawarman Hannase dosen Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia

Simak juga 'PM Israel Temui Sheikh Mohamed bin Zayed, Bahas Apa?':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads