Pembahasan superkilat revisi Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), menggambarkan sikap sigap DPR untuk segera memberi dasar hukum bagi pemberlakuan UU Cipta Kerja. Revisi UU a quo dapat dimaknai sebagai manuver untuk mengakhiri status penangguhan UU Cipta Kerja.
Selain itu, kekhawatiran yang paling mendasar atas revisi UU a quo, sebagai sinyal elemen keengganan DPR dan pemerintah untuk membahas perbaikan UU Cipta Kerja sebagaimana diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Hipotesa di atas sejalan dengan politik hukum revisi UU PPP yang diarahkan sekadar memberi legitimasi pembentukan UU dengan metode omnibus. Setidaknya, dari 15 poin krusial yang termaktub dalam revisi, dirumuskan secara eksklusif untuk mengakomodasi keberadaan metode omnibus law.
Ironi Partisipasi Bermakna
Revisi UU a quo juga mengatur partisipasi bermakna, tetapi dalam prosesnya justru tidak mencerminkan partisipasi yang bermakna dari publik. Nir-partisipasi dapat ditelisik dari proses penyusunan RUU hingga disetujui sebagai RUU usul inisiatif DPR yang hanya memakan waktu lima hari. Begitu pula, dalam persetujuan tingkat I pada 13 April 2022 yang disetujui oleh 8 fraksi di DPR --kecuali fraksi PKS yang menolak. Hingga persetujuan tingkat II, partisipasi publik tidak dilakukan secara luas dan transparan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keterbukaan informasi hanya mengandalkan siaran langsung kanal TV parlemen dan Youtube DPR. Publik hanya bisa menyaksikan dan menonton tanpa ruang dialog interaktif. Jika mengacu pada tafsir Mahkamah Konstitusi dalam putusan 92/PUU-XVIII/2020, partisipasi publik harusnya dilakukan dalam hal ketersediaan ruang dan kesempatan bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat, dipertimbangkan pendapatnya serta ditanggapi pendapatnya.
Melalui putusan in casu, MK telah membuat rambu-rambu yang jelas menyangkut partisipasi publik dalam proses legislasi. Keabsahan formil pembentukan undang-undang mestilah mengakomodasi partisipasi masyarakat yang lebih bermakna.
Setidaknya terdapat tiga anasir penting dari interpretasi MK menyangkut partisipasi yang bermakna. Pertama, hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); ketiga, hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang telah diberikan (right to be explained).
Ketiga anasir di atas sebagai prasyarat penting keabsahan formil suatu perundang-undangan. Sebaliknya, apabila pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) mengabaikan substansi partisipasi bermakna, maka UU a quo dapat dinyatakan cacat formil pembentukannya. Demikian pula, in casu pembahasan revisi UU PPP yang telah mengabaikan partisipasi masyarakat sebagai cerminan dari sikap pembangkangan terhadap konstitusi (constitutional disobedience).
Menguji Konsistensi MK
Revisi UU PPP sebagai usul inisiatif DPR telah memasuki fase akhir pasca persetujuan tingkat II dalam rapat paripurna DPR (24/5/22). Berakhirnya tugas legislasi DPR sampai tahap persetujuan, menyerahkan tombol kendali penuh pada presiden --wewenang pengesahan dan pengundangan. Sekalipun presiden menolak mengesahkan, secara hukum, UU a quo akan tetap berlaku sah dan mengikat.
Tombol kendali yang dipegang oleh presiden hanya mempercepat pengesahan dan pengundangannya, atau membiarkan UU a quo berlaku dengan sendirinya (30 hari sejak disetujui bersama) tanpa membubuhkan tanda tangan sebagai simbol pengesahan?. Hal ini menjadi krusial karena menyangkut dengan objek pengujian oleh Mahkamah Konstitusi. Penolakan terhadap UU a quo hanya bisa dimanifestasikan dalam pengujian di Mahkamah Konstitusi.
Demikian pula, mendesak Presiden untuk tidak mengesahkan, bak kata percuma yang bertemu sia-sia. Tuntutan yang paling rasional justru mendesak untuk segera disahkan dan diundangkan. Dengan begitu, perjuangan warga negara menjadi jauh lebih konkret melalui uji formil dan materiil ke Mahkamah Konstitusi. Kendati Mahkamah Konstitusi kerap dianggap mengabaikan aspirasi dan tuntutan publik. Namun, optimisme perjuangan harus tetap diletakkan di jalan yang konstitusional.
Pengujian UU a quo akan menjadi momentum uji kredibilitas dan akuntabilitas hakim-hakim Mahkamah atas konsistensi putusannya perihal penjunjungan terhadap prosedur formil dalam proses legislasi. Termasuk yang paling anyar dan monumental ialah putusan 91/PUU-XVIII/2020 yang menegaskan prinsip 'partisipasi bermakna'.
Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan dan amar putusan tersebut, tidak memerintahkan kepada DPR dan pemerintah untuk merevisi UU PPP guna memberi justifikasi hukum terhadap UU Cipta Kerja. Justru yang diperintahkan untuk diperbaiki ialah UU Cipta Kerja an sich.
Rekomendasi revisi UU PPP memang pernah disinggung pada dissenting opinion. Namun, dissenting opinion bukanlah bagian dari ratio decidendi putusan, sehingga pertimbangan tersebut tidak berakibat secara hukum. Jika argumentasinya ialah perintah dari putusan Mahkamah Konstitusi, lantas mengapa bukan UU Cipta Kerja saja yang diperbaiki?. Karena hanya itu yang diperintahkan secara tegas oleh Mahkamah Konstitusi.
Dengan pelbagai kejanggalan tersebut, Mahkamah Konstitusi akan dihadapkan pada resistensi uji publik. Jika Mahkamah Konstitusi masih berdiri sebagai the guardian of the constitution dan sebagai the sole interpreter of the constitution --serta konsisten dengan putusannya sendiri, maka UU a quo tentu akan diputuskan cacat secara formil karena telah mengabaikan partisipasi yang bermakna berdasarkan putusan 91/PUU-XVIII/2020.
Selain salah menyasar UU, manuver DPR dan pemerintah mencerminkan ambisi untuk segera memberlakukan UU Cipta Kerja tanpa perbaikan. Maka, selalu menjadi krusial peran yang akan dimainkan oleh Mahkamah Konstitusi. Uji publik ini menjadi momentum penting bagi marwah kelembagaan Mahkamah Konstitusi. Meminjam kritikannya Lawrence Baum, dalam uji ini penting untuk melihat, apakah Mahkamah Konstitusi akan bertindak sebagai institusi yudikatif atau akan menunjukkan dirinya sebagai institusi politik?
Asrizal Nilardin mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia