Pengesahan Revisi UU P3 dan Masa Depan Partisipasi Publik

Kolom

Pengesahan Revisi UU P3 dan Masa Depan Partisipasi Publik

Fahmi Ramadhan Firdaus - detikNews
Kamis, 09 Jun 2022 11:50 WIB
Fahmi Ramadhan Firdaus (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Setelah melewati proses panjang dan kajian di berbagai forum, akhirnya DPR bersama Pemerintah mengesahkan revisi Rancangan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (RUU P3) menjadi undang-undang pada Selasa (24/5/2022).

Salah satu materi menarik dalam revisi tersebut, bahwa pembentuk undang-undang mencoba menerjemahkan pengaturan konsep partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) sebagai salah satu pertimbangan hukum dalam Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang penting untuk ditindaklanjuti.

Sebagaimana diketahui bahwa Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 tidak hanya berdampak pada UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagai objek pengujiannya. Lebih dari itu, Putusan MK tersebut seakan memotret permasalahan mendasar proses pembentukan undang-undang yang perlu diperbaiki.

Meaningful Participation

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beberapa tahun ke belakang para pembentuk undang-undang dirasa abai terhadap partisipasi publik dalam proses pembentukan undang-undang. Permasalahan tersebut setidaknya dapat kita lihat dalam beberapa proses pembentukan undang-undang di antaranya Revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Revisi Undang-Undang tentang Mineral dan Batubara, dan terakhir Undang-Undang tentang Cipta Kerja.

Padahal salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yakni terpenuhinya Asas Keterbukaan yang berarti dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.

ADVERTISEMENT

Sehingga seluruh lapisan masyarakat khususnya yang terdampak memiliki ruang yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dan menuangkan aspirasinya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Proses legislasi tidak hanya dijalankan DPR bersama pemerintah saja, publik sebagai pemegang legitimasi dan kedaulatan tertinggi wajib mengetahui sejauh mana dan bagaimana rancangan undang-undang yang nantinya berdampak secara umum ketika disahkan.

Meskipun undang-undang yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang memiliki tujuan yang baik, hal ini tidak otomatis melemahkan peran partisipasi publik. Masyarakat diperlukan sebagai kekuatan penyeimbang khususnya untuk mengawasi blind spot"dalam proses pembentukan undang-undang, sebab tak bisa dinafikan bahwa akan banyak faktor politik yang akan membelokkan tujuan pembentukan undang-undang yang awalnya ditujukan untuk kepentingan masyarakat.

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menekankan bahwa partisipasi publik yang dilakukan dalam pembentukan undang-undang haruslah partisipasi yang bermakna (meaningful participation). Partisipasi yang bermakna memiliki tiga prasyarat. Pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Dipandang dalam arti filosofis, partisipasi merupakan pelaksanaan dari prinsip demokrasi. Partisipasi bukan hanya sebagai hak, namun juga sebagai kebutuhan yang cukup penting. Publik tidak hanya sebagai user, mereka adalah warga negara yang sudah seharusnya memiliki sense of belonging dalam penyelenggaraan negara.

Partisipasi publik juga sejalan dengan konsep good governance. Partisipasi akan menghasilkan output peningkatan kualitas kebijakan yang dibentuk dan juga memperkaya referensi stakeholder dalam memutuskan kebijakan yang paling tepat.

Revisi UU P3

Secara normatif partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang diatur dalam Pasal 96 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa masyarakat memiliki hak untuk memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Masukan secara lisan dan/atau tertulis dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

Masyarakat yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan, serta setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Namun dalam praktiknya, pembentuk undang-undang tak sepenuhnya menerapkan amanat pasal tersebut.

Partisipasi hanya bersifat formalitas dan hanya dijadikan klaim sepihak bahwa yang penting sudah ada partisipasi, dengan mengesampingkan partisipasi yang bermakna. Kondisi tersebut diamini oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan adanya pelanggaran secara langsung atas proses pembentukan UU Cipta Kerja. Setidaknya pelanggaran terjadi pada tiga hal. Yakni pembahasan yang dilakukan secara tergesa-gesa, tidak transparan, dan minim partisipasi.

Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 kemudian menjadi salah satu latar belakang Revisi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, agar mengatur kembali mekanisme partisipasi publik yang bermakna dan bukan formalitas semata.

Secara spesifik apa yang menjadi koreksi Mahkamah Konstitusi dapat kita lihat dalam Pasal 96 draf Revisi UU 12 Tahun 2011, right to be heard dituliskan dalam Pasal 96 ayat (1) sebagai berikut: Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kemudian di ayat (2) ditambahkan bahwa pemberian masukan masyarakat dilakukan secara daring dan/atau luring.

Apresiasi bagi pembentuk undang-undang yang mencantumkan mekanisme aspirasi dilakukan secara daring, belajar dari pengalaman pembentukan UU Cipta Kerja, advokasi serta penyampaian aspirasi oleh publik begitu masif melalui media sosial. Hal ini tak terlepas karena kondisi pandemi Covid-19 yang membatasi mobilitas dan pertemuan secara fisik.

Hak kedua yakni right to be considered, dapat dilihat dari Pasal 96 ayat (7) yang menyatakan bahwa hasil dari konsultan publik menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan Peraturan Perundang-undangan. Hak untuk dipertimbangkan menjadi sangat penting karena merupakan sebuah bentuk penghormatan terhadap kedaulatan rakyat.

Hak untuk dipertimbangkan diharapkan mampu untuk menghindari adanya autocratic legalism, kondisi di mana aturan hukum dibuat seolah-olah untuk menjalankan demokrasi, namun nyatanya hanya kehendak sepihak dari negara, sehingga untuk mengantisipasinya masukan masyarakat perlu untuk didengar dan dipertimbangkan.

Terakhir, right to be explained dijelaskan dalam Pasal 96 ayat (8) bahwa pembentuk peraturan perundang-undangan dapat menjelaskan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat. Namun saat ini masih belum tersedianya kanal informasi yang jelas mengenai jawaban atau penjelasan terhadap masukan yang diberikan oleh masyarakat, sehingga perlu sistem informasi berbasis teknologi dimana platform tersebut memuat informasi sejauh mana masukan masyarakat diakomodasi dalam pembentukan undang-undang.

Media elektronik saat ini sudah menjadi kebutuhan, yang tidak hanya untuk menginformasikan proses pembentukan undang-undang, sehingga media elektronik dapat dimanfaatkan untuk menjadi media diskusi (e-discussion), petisi (e-petition), pemungutan suara (e-voting), jajak pendapat (e-polls), ataupun konsultasi publik (e-consultation) sebagai bentuk komunikasi dua arah dari pembentuk undang-undang dan publik.

Sebagai catatan, dalam rumusan Pasal 96 ini lebih condong mengatur hak masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, padahal perlu juga diatur kewajiban dari pembentuk peraturan perundang-undangan. Seperti misalnya Pasal 96 ayat (8), frasa "dapat" berpotensi menjadi alasan bagi pembentuk undang-undang untuk tidak selalu memberikan penjelasan atas masukan publik. Idealnya frasa tersebut diganti menjadi "wajib" sebab partisipasi yang bermakna merupakan satu kesatuan yang tak terpisah, hak untuk mendapat penjelasan merupakan konsekuensi wajib dari hak untuk didengar dan hak untuk dipertimbangkan.

Tentunya harapan kita dengan adanya Revisi UU 12 Tahun 2011 dapat membuat partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang lebih substantif, tidak hanya dalam perbaikan UU Cipta Kerja, tapi semua undang-undang yang dibentuk ke depannya. Pembentuk undang-undang tidak boleh hanya mendengar dan mempertimbangkan aspirasi pihak yang pro dalam pembentukan undang-undang, namun juga mengakomodasi pihak yang kontra, sebab mereka yang kontra sejatinya yang benar-benar terdampak dan potensial dirugikan.

Fahmi Ramadhan Firdaus, S.H, M.H dosen Fakultas Hukum Universitas Jember

Simak juga 'Momen Pimpinan Baleg Murka Setneg-Kemenkumham Rebutan Kewenangan RUU P3':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads